Masyarakat di Kaki Gunung dan Kawasan Hutan Menanti Pemenuhan Hak Atas Tanah
Warga yang tinggal di kawasan hutan secara turun-temurun butuh payung hukum. Menurut warga, hewan saja dilindungi masa manusia tidak.
Penulis Yopi Muharam2 September 2024
BandungBergerak.id - Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) di Jawa Barat masih dalam rentang penantian. Sejak Juni tahun 2023, Wahana Lingkungan (Walhi) Jawa Barat terus mengadvokasi masyarakat kawasan hutan atau warga yang tinggal di kaki gunung di 10 Kabupaten di Jawa Barat untuk mendapatkan hak atas tanah atau PPTPKH.
PPTPKH sendiri sudah mempunyai regulasi yang telah diatur di Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2021, Peraturan Presiden No 88 Tahun 2017, Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No 7 Tahun 2021. Kendati demikian, masyarakat masih digantung ketidakpastian dalam pemberian Surat Keterangan Hak Atas Tanah.
Menanggapi permasalahan tersebut, Walhi Jabar mengundang perwakilan dari 10 kabupaten pada konferensi pers yang diselenggarakan di Sekretariat Walhi, Jalan Turangga, Kota Bandung, Kamis, 29 Agustus 2024. Konferensi tersebut dihadiri oleh tokoh masyarakat, kepala dusun, hingga kepala desa.
Tarbin, 60 tahun, masyarakat asli Talegong, Kabupaten Garut sudah menempati rumahnya di kawasan hutan sejak lahir. Tanah tersebut, menurut Tarbin adalah warisan dari orang tuanya. Sejak kecil, dia sudah bersekolah di dalam hutan. Selama masa kecilnya itu, Tarbin belum menyadari bahwa tanah yang ditinggalinya itu belum memiliki sertifikat tanah atau hak atas tanah.
“Saterang abi, tanah anu dicalikan di tanah leweung teh jadi turun -temurun. Janten anak incu sepuh abi teh teu terang naon-naon. Nu penting mah terang tanah ieu teh tanah urang weh secara turun-temurun, (Sepengetahuan saya, tanah yang saya menempati tanah di hutan sudah turun-temurun. Anak, cucu, orang tua saya tidak tahu apa-apa. Yang penting tahu bahwa tanah ini milik kita sejak turun-temurun),” ucap Tarbin.
Orang tua Tarbin bercerita, sebelum dia lahir, tanah di kawasan hutan Talegong sudah ada sekelompok masyarakat yang bermukim, namun tidak banyak. Seiring bertambahnya tahun, lambat laun hutan di kawasan tersebut sudah dimukim oleh ratusan penduduk. Namun, hingga kini, kawasan tersebut masih di ambang ketidakpastian karena status tanah yang masih belum jelas kegunaanya.
Padatnya penduduk di kawasan hutan, menurut Tarbin mengundang tim buser untuk menertibkan kawasan tersebut. Sebagian warga ada yang pindah ke tanah milik dan ada juga yang masih tetap bertahan hingga sekarang.
“Disingkahkeun kumaha oge da bade uih kamana atuh da teu gaduh (diusir dengan cara apa pun saya mau pulang ke mana karena tidak punya tempat tinggal lagi),” ujar Tarbin, dengan suara kecilnya.
Kendati demikian, Tarbin sempat diberi angin segar dengan adanya program Perhutani tentang penanaman sosial pemerintah. Tarbin merasa kampungnya sudah mulai dilirik dan diperhatikan. Dia mengira adanya pemberdayaan itu akan membawa kabar baik untuk kejelasan tanah yang sudah ditinggali sejak setengah abad itu.
Ternyata, hingga kini, Tarbin masih digantung kepastian oleh pemerintah terkait kejelasan tanah milikinya. “Mung kamari panginten aya penertiban saurna dipariyogikeun KK KTP kanggo penertiban kawasan hutan, (kemarin ada penertiban, katanya untuk keperluan kartu keluarga dan KTP buat penertiban kawasan hutan,)” lanjutnya.
Regulasi Ruwet
Di ujung meja dekat moderator, seorang bapak menyalakan sebatang rokok kreteknya. Berpeci hitam, bapak itu adalah Wawan Sutiana. Dia adalah kepala Desa Panawa di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut. Dia datang mewakili masyarakatnya yang bernasib sama dengan Tarbin.
Desa Panawa adalah salah satu desa di kawasan Gunung Papandayan. Tepat di kaki gunung ada sebuah kampung bernama Stamplat. Di kampung tersebutlah Wawan dilahirkan. Menurut Wawan kampungnya itu tidak dimasukan ke dalam peta. Bahkan akses internet pun baru diluncurkan pada tahun 2023. Sebelumnya kampung Stamplat merupakan kawasan blank spot atau kawasan susah sinyal.
Wawan bercerita sejak adanya Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan warganya sempat menjadi mitra KLHK. Namun lambat laun, kawasan yang dikelola masyarakat sudah berganti tangan jadi langsung dikelola oleh perhutani.
“Kalau kita diam (bermukim) di kawasan perhutani berarti kita harus jadi mitra Perhutani,” ujar Wawan.
Setelah bermitra dengan Perhutani cukup lama, Wawan dikagetkan dengan peraturan gubernur yang mengubah status hutan produksi menjadi hutan lindung. Wawan, selaku perangkat desa tidak tinggal diam. Bahkan sebelum adanya peraturan KLHK yang mengatur tentang fungi hutan, dirinya telah berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah sejak tahun 2009.
Namun usaha Wawan mandeg di tahun 2019 karena tidak adanya regulasi yang mengatur. Setelah disahkannya permen KLHK dirinya kembali berjuang. Akan tetapi, perjuangannya itu masih belum membuahkan hasil.
“Mun ceuk simkuring ayeuna jang naon peraturan dijieun, tapi masih dipersulit kawas kieu. Geus tong dijieun aturan teh, teu ari,” tutur Wawan.
“Mun rek direlokasi, relokasi cing puguh, atau rek dimusnahkeun, dimuskankeun mereun cing puguhnya. Ari sato dilingdungi, ari urang manusa teu boga ketetapan hukum anu jelas, (Buat apa regulasi dibikin tapi masih dipersulit. Ga usah bikin peraturan, percuma. Kalau mau direlokasi, relokasi yang jelas, atau dimusnahkan, musnahkan yang jelas. Hewan dilindungi, tapi manusia tidak dilindungi hukum),” lanjut Wawan, meninggikan intonasi suara.
Di samping Wawan, perwakilan dari Sarekat Hijau Indonesia Tedy Giantara mengeluhkan akan lambatnya pemberian SK hak atas tanah oleh pemerintah. Meski peraturan sudah dibuat oleh pemerintah, namun ruwetnya regulasi membuat hak yang mesti dimiliki masyarakat masih belum jelas.
Sebagai pendamping warga yang sedang berusaha memperoleh SK hak atas tanah, Tedy mengaku sudah memenuhi prosedur. Menurut Tedy dengan adanya peraturan yang mengatur fungsi lahan, seharusnya mempermudah proses pemberian SK. Akan tetapi, hingga kini warga dari 10 kabupaten di Jawa Barat masih digantung.
“Soalnya secara teknis ini sudah dilakukan oleh kementrian dan berbagai pihak, tinggal bagaimana keputusan itu diterbitkan, jangan digantung, jangan di-php,” tuturnya. “Regulasinya lengkap aturannya juga sudah lengkap, semuanya sudah diverifikasi, tapi keputusannya belum jelas,” kata Tedy.
Baca Juga: Walhi di Pulau Jawa Menyerukan Penyelamatan Lingkungan dari Pembangunan dan Krisis Iklim
Kritik Walhi pada Proyek Strategis Nasional di Jawa Barat
Refleksi 43 Tahun Walhi Jabar, Jawa Barat Dikepung Kerusakan Lingkungan
Hak Warga yang Mesti Dipenuhi
“Ini adalah potret di mana pemerintah tidak becus, tidak serius, dan hanya mengumbar janji semu, kebohongan palsu yang kerap sekali dijalankan oleh pemerintah,” ujar Wahyudin alias Iwang, Direktur Walhi Jabar membuka obrolan.
Iwang menjadi pembicara terakhir setelah Tedy dan Wawan. Menurut Iwang kepentingan warga harus diprioritaskan, karena berpacu pada Undang-undang 1945. Di bulan kemerdekaan ini, Iwang mengatakan arti kemerdekaan menjadi semu, sebab pemerintah masih bersikap tak acuh kepada rakyatnya.
Iwang menegaskan, masyarakat yang tengah berjuang untuk mendapat haknya sebagai pejuang kemerdekaan. Menurutnya, relasi manusia dengan lahan tidak bisa dipisahkan. Sebab itulah, pemerintah harusnya memberi kejelasan yang pasti untuk memberi hak atas tanah pada masyarakat yang tinggal di hutan atau kaki gunung.
Terkait peraturan yang dibikin pemerintah tentang fungsi hutan, Iwang mengapresiasinya. Tetapi, dia juga menyayangkan dalam implementasinya tidak sejalan dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Masyarakat masih sulit mendapat keadilan.
Menurutnya, peraturan seperti memberi karpet merah, tetapi hanya disediakan untuk para investor saja. “Untuk apa kepentingan itu, untuk para oligarki, para kapitalis, untuk para pebisnis yang ingin terus mengeruk sumber daya alam dan menjauhkan relasi alam dengan manusia itu sendiri,” sebut Iwang.
Jumlah penduduk di Jawa Barat pada tahun 2024 mencapai 49,86 juta jiwa. Artinya harus memiliki lahan yang dapat menaungi masyarakat, tak terkecuali di kawasan hutan dan kaki gunung. Selain memberi ruang hidup, kejelasan atas hak tanah mesti harus diberikan juga oleh pemerintah agar masyarakat bisa tenang dan terjauh dari penggusuran.
Akan tetapi fakta di lapangan, menurut Iwang, sejak Presiden Jokowi memerintah selama dua periode atau 10 tahun, sudah ada sembilan juta hektare yang digunakan untuk objek reforma agraria. Akan tetapi, dalam distribusinya belum tercapai karena yang menjadi prioritas bukan untuk rakyat melainkan untuk investor.
“Rakyat yang sedang berjuang berpuluh-puluh tahun itu tidak dianggap menjadi suatu hal yang prioritas,” sebut Iwang.
Ketidakseriusan pemerintah dalam mendistribusikan tanah objek reforma agraria dinilai cenderung politis. Masyarakat dikesampingkan. Tidak menutup kemungkinan harapan masyarakat untuk mendapat haknya tercederai oleh kepentingan elite politik.
Melihat kondisi ini, Walhi Jabar berencana akan menggeruduk kantor KLHK pada 10 September mendatang. Walhi Jabar dan warga terdampak akan berdemo meminta kejelasan dan meminta hak masyarakat yang dihidup di hutan dan kaki gunung untuk meminta sertifikat dan memiliki payung hukum yang jelas.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam atau artikel-artikel lain tentang Lingkungan Hidup