BANDUNG HARI INI: Lahirnya Harry Roesli, Konser Musik Protesnya Dianggap Kasar dan Tidak Sopan oleh Rezim Orde Baru
Salah satu karya terkenal Harry Roesli adalah opera musik rock berjudul Ken Arok. Menyoroti penyakit-penyakit rezim Orde Baru.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah10 September 2024
BandungBergerak.id - Hari ini, 10 September 2024, bertepatan dengan kelahiran musisi legendaris asal Kota Bandung Djauhar Zaharsjah Fahrudin Roesli atau akrab dikenal Harry Roesli. Seniman bengal ini memilih meninggalkan kuliahnya di Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi ITB demi menekuni seni musik kontemporer.
Cucu sastrawan Marah Roesli mengambil jalan berbeda dengan saudara-saudaranya yang menjadi dokter spesialis. Ayahnya Rushan Roesli merupakan tentara dan ibunya Edyana Roesli Soetama merupakan dokter anak. Ajip Rosidi dalam Apa Siapa Orang Sunda (2018) menjelaskan karier awal bermusik dan berkesenian Harry Roesli dimulai saat membentuk grup musik Gang Of Harry Roesli dan kelompok teater Ken Arok.
“Namun kedua kelompk itu bubar ketika Harry berangkat ke Belanda untuk belajar musik di Konsevatorium Rotterdam,” tulis Ajip Rosidi.
Selama belajar di Belanda, kelakuan nyentrik Harry Roesli tidak pupus. Suatu ketika gurunya di Stichting Rotterdams Conservatorium minta dibelikan kendang. Harry kemudian meminta kawannya di Kota Jembang untuk mengirimkan alat musik tabuh tersebut.
Kisah unik selama belajar di Belanda dijelaskan Tempo dalam “Harry Roesli Bersikat Gigi” (2023). Kendang pesanan tersebut dikirim ke alamat Harry sendiri di Belanda, bukan ke konservatorium atau alamat gurunya.
“Akibatnya Harry setengah mati mengurusnya: dipingpong ke sana ke mari menguber tanda tangan untuk meloloskan barang itu,” tulis Tempo. Selain itu, kulit kendang harus dicopot terlebih dahulu untuk diperiksa dan dikirim ke laboratorium untuk diteliti.
Sepulang dari Belanda, Harry Roesli kemudian memimpin Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang bermarkas di rumah di samping ia aktif mengajar di Departemen Musik LPKJ Jakarta dan Jurusan Musik UPI Bandung.
Ajip Rosidi menceritakan, Harry Roesli saat berkreasi dengan DKSB kerap menyajikan musik yang dianggap ganjil oleh para pengamat. Harry menggunakan instrumen tidak lazim seperti botol, kaleng bekas, pecahan botol, dan lain-lainnya. “Bunyi-bunyi yang dihasilkannya berupa hiruk yang aneh dan menggedor kesadaran pendengarnya,” jelas Ajip
Meskipun begitu, sepanjang karier bermusik Harry meraih penghargaan Utama Komposisi Piano Tunggal di Belgia tahun 1979. Ia juga mendapatkan nominasi Piala Citra untuk musik dan nominasi Anugerah Musik Indonesia.
Harry Roesli menghasilkan 27 album musik dan lima di antaranya opera. Album-album tersebut direkam di Malaysia, Amerika Serikat, dan Singapura.
Selain aktif bermusik, Harry dikenal sebagai penulis yang produktif. Ajip menjelaskan beberapa kolom yang tersebar di berbagai media seperti kolom Asal-Usul terbit setiap hari Minggu di harian Kompas. Pascaruntuhnya rezim Suharto, Harry bersama kawan-kawannya mendirikan tabloid Deru di Bandung, namun tidak bertahan lama.
Harry Roesli di Majalah Aktuil
Harry Roesli dikenal sebagai musisi kontemporer yang berbeda. Majalah Aktuil edisi 225 11 Juli 1977 melaporkan, Harry Roesli bercerita kepada jurnalis musik Bens Leo mengenai keinginan aneh menggabungkan nada diatonis dan pentatonis sejak ia mengenal seni karawitan pada tahun 1974. Harry kemudian belajar pada tokoh karawitan Tatang Kartiwa.
Kepada Bens, Harry menjelaskan juga tantangan pencampuran dalam bermusiknya. Ia mengharapkan para penikmat karya untuk memahami utuh musik yang ia bawa, bukan dalam teknis akan tetapi dalam penyampaian pesan di lirik-lirik lagunya. “Dan orang-orang harus perhatikan baik-baik lirik lagu saya!” kata Harry, dalam “Menginterogasi Harry Roesli: Snobisme itu Perlu!”
Harry menceritakan bagaimana ia menuliskan lirik secara serius agar pesannya sampai dan dimengerti oleh pendengar. “Saya biasa membuat lirik dulu baru lagu. Lagu-lagu saya biasa saja sebab saya selalu mengharapkan agar orang mengerti lirik lagu saya. Banyak pesan yang coba saya sampaikan lewat sana,” beber Harry.
Lagu-lagunya dalam album Ken Arok (1977), Philosophy Gang (1973), Titik Api (1976), dan Gadis Plastik menceritakan apa adanya tentang situasi sosial atau politik di zaman Orde Baru. “Lagu Bratayudha di album Gadis Plastik. Di situ saya mencoba bicara, jangan sampai ada revolusi sosial dari rakyat jelata. Dan saya pun berusaha bicara dengan bahasa yang halus, Bharatayuda!” ungkap Harry.
Harry Roesli merasa bangga karya-karyanya dinikmati audiensnya. Ia tidak akan marah jika orang lain salah saat membawakan lagu-lagunya.
Baca Juga: Maestro Musik Si Bengal Harry Roesli
Batu Karang, Band Anak SMA Asal Bandung Penggoncang Istora Senayan Jakarta 1967
Ketika Harry Roesli Membakar Motor Yamaha 100 LS, Garut 1974
Berpulangnya Harry Roesli
Harry Roesli berpulang di usia 53 tahun. Pria yang gemar memakai pakaian serba hitam ini dikenal gemar usil. Keusilannya melesetkan lagu sakral seperti Garuda Pancasila membuatnya harus berurusan dengan rezim Orde Baru.
Andi Alexander dan Shiddiq Sugiono dalam “Musik Protes di Indonesia pada Era Reformasi: Sebuah Kajian Historis” (Alumni Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dan Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Jurnal Kajian Seni 2021) mengatakan, Harry Roesli adalah salah satu musisi yang memiliki perhatian tersendiri dalam menyuarakan aspirasi politik melalui musik pada masa Orde Baru.
“Salah satu karya yang terkenal dari Harry Roesli adalah opera musik rocknya yang berjudul “Ken Arok” pada tahun 1975. Roesli membuat sebuah pentas opera musik rock yang memiliki tema sosial. Biarpun tidak menyinggung pemerintahan Orde Baru, opera ini menyorot salah satu “penyakit” Orde Baru, yaitu tindak korupsi dari pejabat pemerintahan,” ungkap Andi Alexander dan Shiddiq Sugiono, diakses Selasa, 10 September 2024.
Pentas opera “Ken Arok” ini membuat Harry Roesli menjadi semakin terkenal. Roesli membawakan karya-karyanya di beberapa kota di Indonesia. Meskipun begitu, pementasan karya Roesli sempat mendapat intervensi dari pemerintah. Pada suatu pementasan di Semarang pada tahun 1976, polisi mengintervensi konser Roesli. Alasan penghentian konser ini dari pihak kepolisian karena isi konser ini “kasar dan tidak sopan”.
Andi Alexander dan Shiddiq Sugiono menyebut Harry Roesli sebagai musikus kritis Tanah Air, selain Iwan Fals. Kedua musikus ini adalah contoh pergulatan musik protes di era Orde Baru.
“Karya-karya mereka adalah wujud atas ketidaksukaan maupun ketidaksetujuan terhadap bentuk-bentuk kebijakan rezim yang mengekang kebebasan politik dan melanggengkan penyelewengan kekuasaan. Aparat pun menjadi “garda depan” dalam menghentikan setiap konser yang menurut rezim berpotensi subversif. Meskipun begitu, pada akhirnya perjuangan mereka tidak sia-sia ketika pada tahun 1998 presiden Suharto mengundurkan diri,” kata kedua penulis.
Harry meninggal pada 11 Desember 2004, setelah mendapatkan serangan jantung dan bertahun-tahun hidup bersama diabetes. Ia berpulang beserta nama-nama penting lainnya yang menolak rezim otoriter seperti Mochtar Lubis dan Munir Said Thalib.
Tempo dalam “Mengenang Harry Roesli Musisi Legendaris Indonesia” (2021) menyebutkan, selain pergi meninggalkan istri, Kania, dan dua anak laki-laki kembar Layala Kharisna Patria dan Lahami Khrisna Parana, Harry juga mengasuh sedikitnya 6.000 anak jalanan dan pengamen Kota Bandung yang diasuh di Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB).
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Musik Kota Bandung