• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Meninggalnya The Phenomenon si Kabogoh Jauh Darso

BANDUNG HARI INI: Meninggalnya The Phenomenon si Kabogoh Jauh Darso

Unpad menggelar konser tunggal bertajuk “Darso The Phenomenon”. Darso membuka aksi panggung dengan naik kuda.

Poster konser Darso The Phenomenon di kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jalan Dipati Ukur, Bandung, 29 Desember 2009. (Sumber: Dokumen Unpad)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah12 September 2024


BandungBergerak.id - “Boga kabogoh jauh, meuntas laut leuweung gunung. Tapi apél teu bingung, cukup hallo na telepon,” demikian sepenggal lagu sepanjang zaman yang dinyanyikan Darso, penyanyi pop Sunda berjuluk The Phenomenon. Darso meninggal dunia 12 September 2011, tepat hari ini.

Pelantun Kabogoh Jauh yang lekat dengan penampilan eksentrik ini meninggal di usia 66 tahun di Soreang, Kabupaten Bandung. Masyarakat Jawa Barat khususnya pecinta musik angklung dan pop Sunda, berduka. Tak berlebihan jika pria pemilik nama lengkap Hendrasono dijuluki The Phenomenon.

Ya, julukan sang fenomenal bukan hanya milik Ronaldo, pemain Brazil yang membawa Negeri Samba Piala Dunia 1994 dan 2002. Jika Ronaldo mampu meliuk-liuk seperti ular sambil membawa bola di lapangan hijau, Darso terampil menukik diiringi musik angklung di atas panggung. Sejumlah lagu Darso sampai sekarang masih dilantunkan banyak orang. Mencari lagu-lagu hitsnya mudah sekali di pemutar-pemutar musik digital. Sebut saja Dina Amparan, Halangan Diri, Ulah Ceurik, Maribaya, Panganten Anyar, Duriat, Mawar Bodas, atau Kabogoh Jauh yang penggalan liriknya dikutip di atas.

Julukan sang fenomenal sendiri melekat pada Darso setelah ia menggelar konser tunggal bertajuk “Darso The Phenomenon” di kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jalan Dipati Ukur, Bandung, 29 Desember 2009, dua tahun sebelum ia tiada.

Menurut laporan Humas Unpad yang ditulis Ratih Anbarini disebutkan, seniman calung, alat musik dari bambu yang mirip angklung, tampil dengan gaya khasnya. Darso pun mengaku bangga dapat tampil dalam gelaran konser “Darso The Phenomenon” yang memposisikannya bagai raja dan ditonton oleh ratusan penggemar yang memadati Grha Sanusi Hardjadinata.

“Saya seperti raja saat tampil di Unpad,” ujarnya, di hadapan wartawan usai pergelaran, diakses dari laporan Humas Unpad.

Darso mengaku baru pertama kali manggung di kawasan pendidikan, seperti Unpad malam itu. Menjelaskan dalam bahasa Indonesia yang terkadang dikombinasikan dengan bahasa Sunda, menurutnya begitu banyak perbedaan antara saat tampil memenuhi panggilan hajatan warga dengan permintaan di lingkungan pendidikan.

“Konsep pergelaran ini diciptakan langsung oleh Unpad. Bagus! Saya dianggap seperti raja. Sementara saat hajatan, saya yang harus turun bersama-sama dengan penonton,” ungkap Darso, yang mengawali kariernya sebagai seniman musik bersama grup band Nada Karya pada 1962.

Darso Fenomenal, Aneh tapi Nyata

Saat ratusan penonton masih tertegun usai mendengarkan narasi perjalanan hidup Darso yang dibacakan pembawa acara, Darso tiba-tiba muncul dari samping Grha Sanusi Hardjadinata dengan menunggangi kuda putih. Saat itu ia tampil menggunakan kostum hitam-hitam dengan ikat kepala dan sarung yang diselempangkan di tubuhnya. 

Tepuk tangan penonton pun membahana ke seluruh ruangan saat Darso menyanyikan lagu berjudul Maripi yang diiringi irama calung yang dimainkan Grup Calung Asep Darso.

Tak lupa, lagu Kembang Tanjung Panineungan yang sempat menjadi tembang andalan Darso setiap manggung, dinyanyikan guna memanjakan telinga pendengar. Ia juga tampil duet bersama Neneng Yeti Saripah saat menyanyikan lagu Randa Geulis yang disertai dengan goyangan khasnya, termasuk juluran lidah yang biasa ia lakukan saat menyanyi. Gaya yang terkesan nyentrik tersebut menurut seniman seni Sunda, Nano S. merupakan ciri khas Darso yang tidak dimiliki penyanyi lain.

“Memang seperti itulah Darso, fenomenal. Aneh tapi nyata. Lagu Kembang Tanjung Panineungan yang berkisah tentang seorang ibu yang mengandung anaknya memang lebih pantas dinyanyikan oleh wanita. Tapi karena Darso menyukainya, aturan tersebut pun ia langgar,” jelas Nano.

Sosok Darso mencerminkan kekuatan rakyat yang apa adanya dan tidak terikat terhadap aturan. Nano mengaku meski secara pribadi ia bertolak belakang dengan Darso (soal pakem kesenian), namun dirinya tetap salut terhadap karya yang diusung ayah empat anak tersebut. Menurut Nano, bagi tokoh-tokoh musik, hal yang dilakukan Darso dianggap merusak, namun Darso tidak peduli dengan anggapan tersebut. “Kata Darso mah, bae weh,” ujar Nano.

Gayanya yang nyeleneh juga muncul di konser “Darso The Phenomenon”, misalnya melalui kostum yang ia kenakan. Darso beberapa kali berganti kostum. Pada penampilannya yang kedua, Darso tampil dengan kostum kuning-biru. Kali ini tanpa ikat kepala namun tetap menyelempangkan sarung di tubuhnya. Dengan berbalut kostum tersebut ia menyanyikan lagu Tanjakan Burangrang dan Sarboah yang masih diiringi dengan alat musik calung.

Sementara pada kostum ketiganya, pria berdarah Jawa-Sunda itu mengenakan busana khas yang kerap ia gunakan saat tampil membawakan lagu-lagu pop Sunda. Setelan khasnya itu dapat dengan mudah ditemukan pada penampilannya di video klip lagu-lagu Darso yang biasa diputar di televisi lokal Jawa Barat. Kacamata hitam, topi ala koboi, kemeja dengan dasi yang dibiarkan menjuntai panjang ke bawah, jas dan celana, serta dilengkapi dengan sepatu kain bergambar kartun.

Saat mengenakan setelan tersebutlah ia menyanyikan tiga lagu Pop Sunda berjudul Dulang Kuring, Amparan Sajadah, dan Kabogoh Jauh yang diiringi musik dari band yang memainkan alat-alat musik modern. Ketiga lagu tersebut dinyanyikan setelah penonton menikmati penampilan Abiel Jatnika yang menyanyikan lagu pop Sunda anak berjudul Ka Sakola. Kemudian Darso menutup penampilannya dengan membawakan tiga lagu yang dinyanyikan secara medley.

Seorang penonton, Rien A. Muslim Rukhsan, mengaku pada awalnya dirinya antitmusik Sunda. Saat mengandung anak sulungnya, Maritsa Khairunnisa, ia lebih banyak mendengarkan lagu-lagu jazz dan klasik. 

“Saat usianya baru tiga bulan, neneknya yang memang penggemar Darso rajin memutarkan lagu-lagu Darso. Hasilnya Ica (panggilan akrab Maritsa) suka dengan lagu-lagu Darso hingga saat ini usianya dua tahun. Makanya sengaja saya bawa dia ke sini,” jelas Rien yang juga merupakan mahasiswa program magister Unpad.

Menurut Rien, Darso membawa pengaruh baik bagi dia dan anaknya. Setiap anaknya menangis, ia langsung menyanyikan lagu Darso dan anaknya terdiam hingga tidur. Rien mengaku malu saat dirinya sempat tidak menyukai kesenian asli tempat kelahirannya sendiri.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Lahirnya Harry Roesli, Konser Musik Protesnya Dianggap Kasar dan Tidak Sopan oleh Rezim Orde Baru
BANDUNG HARI INI: 138 Tahun Stasiun Bandung
BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah

Lagu yang Merakyat

Dekan Fakultas Sastra Unpad (Fakultas Ilmu Budaya) Dadang Suganda berpendapat, dari segi musik Darso merupakan pemain calung yang unggul dan ulung. Darso dianggap mampu mengkolaborasikan jenis musik tradisional dengan sentuhan modern. 

“Gaya Darso yang unik kadang-kadang membuat kita yang melihatnya merasa geli karena tingkahnya yang lucu. Meski lagu-lagu yang dinyanyikan bukan merupakan ciptaan Darso, namun tema-tema yang dihadirkan merupakan catatan kehidupan rakyat keseharian. Liriknya familiar sehingga mudah diingat,” ungkap Dadang.

Sementara dalam segi sosok, Dadang menilai bahwa Darso merupakan kreator, inovator, sekaligus inspirator. Selama beberapa tahun Darso konsisten dengan calung sehingga keberadaan alat musik tradisional tersebut dapat terus eksis. “Darso sangat cocok mendapat gelar ‘Ikon Calung Indonesia’,” tandas Dadang.

Kankan Kasmana dalam Gaya dan Selera Pada Berbusana Darso, dalam Jurnal Visualita Vol 1 Agustus 2009 menyebutkan, identitas yang dibentuk oleh Darso adalah representasi dari latar belakang tatanan sosial yang ia lalui. Dalam hal ini Darso memilih tampil merakyat, menjauhi dari gaya hidup artis, dan menjauhi dari pandangan-pandangan umum tentang penampilan. 

“Keluar dari patokan-patokan dalam berkesenian dan berbusana Darso menganggap bahwa modal utama bagi dirinya adalah suaranya,” jelas Kankan.

Rekan sesama musikus, Doel Sumbang menyebut Darso adalah inspirator, humoris, loyal pada kesenian, dan konsisten. 

“Almarhum Darso buat saya adalah inspirator. Tahun 70-an waktu saya SMP dan ikut kesenian, grup calung Darso, namanya Layung Sari jadi panutan. Di lingkungan pertemanan, dia itu pembawa tawa. Itu yang selalu saya tangkap. Dia juga orang yang punya loyalitas pada profesinya, tak terbawa angin,” kenang Doel Sumbang, dikutip dari Harian Tribun Jabar, Minggu, 13 September 2011.

Menurut laporan Tribun Jabar, Darso merupakan musisi Sunda yang setia membawa alunan musik calung dan dipadukan dengan unsur dangdut dan pop. Disebutkan, kiprah awal Darso dimulai pada 1962 sebagai pemain bas pada grup Nada Karya dan Nada Kencana.

Michael Darso – julukan lain dari Daro yang mengacu pada gayanya yang mirip Michael Jackson – juga sempat bergabung dengan band Pusat Persenjataan Kavaleri Bandung. Kariernya di dunia pop sempat terhenti setelah peristiwa 1965. Di grup band ini Darso memainkan lagu-lagu Koes Plus dan kembali memulai bermusik dengan gaya berbeda dengan sang kakak, Uko Hendarto pada tahun 1968. Ia menggunakan calung sebagai pengiring lagu kemudian mengisi siaran RRI Bandung.

Reportase yang ditulis oleh Anwar Siswadi, Pentas SI Raja Pop Sunda,  Koran Tempo, 2 Januari 2009, diceritakan bahwa awalnya Darso belajar calung dari main-main dengan sang kakak, tanpa proses belajar. “Enggak belajar calung sih, cuman main-main,” katanya.

Setelah itu pada 1978, Darso mendirikan grup sendiri bernama Calung Darso yang banyak mengeluarkan album. Ia mengaku tidak mau menggantungkan hidup dari hasil rekaman. Menurutnya, pembuatan album hanya menguntungkan produser.

Akan tetapi, ia masih sering berkeliling ke seluruh Jabar memenuhi undangan warga dan pejabat dengan memasang tarif 10 juta rupiah. “Duitnya nggak dimakan sendiri, dibagi-bagi ke siapa aja,” sebut Darso.

Darso terbiasa memakai baju putih-putih, memakai dasi, dan juga sarung dalam penampilannya. Sejumlah anak-anaknya sedikit banyak mengikuti gaya Darso. Di atas panggung atau dalam klip video, Darso sepintas meniru Michael Jackson. Gayanya sepat dicibir norak dan kampungan.

Terinspirasi Mang Koko

Darso tidak berdiri sendiri. Ia banyak belajar dan tekun menekuni jalan seninya. Ia, misalnya, terinspirasi maestro dan seniman Sunda Mang Koko yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam membangun karier selama 45 tahun. 

“Saya maju juga karena lagu-lagu yang diciptakan Mang Koko,” jelas Darso, dikutip dari Radar Bandung dalam “Mang Koko Jadi Inspirasi Musik Sunda”, Januari 2010.

Darso meminta pada anak muda untuk menjaga kesenian peninggalan nenek moyang mereka. Namun, dalam bergaya ia meminta untuk tidak meniru dirinya. Penampilan yang ia pilih demi bisa tampil maksimal di hadapan pihak yang mengundang.

Sampai akhir hayatnya, The Phenomenon telah menghasilkan sekitar ratusan lagu yang umumnya bertema kehidupan sehari-hari, kritik sosial, dan cinta. Samudera Eka Cipta dan Bondan Kanumoyoso dalam artikel ilmiah berjudul “Dinamika Budaya Musik Pop Sunda 1990-2000” menyebutkan, berkembangnya musik pop Sunda tidak terlepas dari topik-topik yang dibawakan oleh para musikusnya. Sebagai contoh, lagu Ulah Ceurik yang dirilis tahun 2004 sempat menjadi tenar di kalangan para penikmat musik Sunda.

Lagu Mawar Bodasnya juga sempat dimuat di buku teks Bahasa Sunda pada Materi Degung dan Kawih. Tujuannya untuk memperkenalkan lagu pop Sunda. Pada 2005, Darso mendapatkan Anugerah Jabar Musik Award sebagai apresiasi terhadap kiprahnya di dunia musik. 

Seni calung yang dibawakan Darso juga mendapatkan pujian dari dosen dan pemerhati budaya Unpad Elis Suryani. Menurutnya, kolaborasi seni calung yang dilakukan Darso berhasil membawa seni yang dianggap kampungan di masyarakat kelas bawah menjadi kesenian yang mempesona generasi muda.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Musik Kota Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//