Orang-orang Muda Ngarumat Pusaka Bersama Masyarakat Adat Kabupaten Bandung
Ngarumat Pusaka merupakan upacara pencucian pusaka seperti pedang dan tombak di Bumi Alit Kabuyutan, Desa Batukarut, Kecamatan Arjasari, Bandung Selatan.
Penulis Prima Mulia28 September 2024
BandungBergerak.id - "Saya ngga tahu jenis pohon apa saja yang ada di situ, coba Tanya Abah Ahin," kata Milsa (17 tahun), sambil menunjuk ke arah seorang pria berpakaian pangsi putih di halaman Bumi Alit Kabuyutan.
Siswi SMA Handayani warga Desa Barukarut itu jadi salah satu orang muda pegiat lembaga adat Sasaka Waruga dalam prosesi atau ritual Ngarumat Pusaka di Desa Batukarut, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, 16 September 2024.
Situs budaya berupa rumah adat Bumi Alit Kabuyutan, Bale Panglawungan, dan hutan mungil yang dilindungi ini berada di lahan adat seluas 1.662 meter persegi di bawah naungan pepohonan rimbun di perbatasan Desa Batukarut dan Lebakwangi.
"Itu yang buahnya ada di batang namanya pohon pisitan monyet, lalu ada pohon beringin, kiara, kibuyut, kemuning, eureup. Abah tahu nama-nama pohon itu yang dari orang-orang tua dahulu,” kata Abah Ahin (72), juru pelihara situs Bumi Alit Kabuyutan. Usai menjelaskan nama pohon, Abah Ahin kembali ke Bumi Alit.
Pagi itu bertepatan dengan prosesi Ngarumat Pusaka yaitu upacara pencucian pusaka seperti pedang dan tombak di dalam Bumi Alit Kabuyutan. Saat ini hanya tetua adat yang boleh masuk ke Bumi Alit, selain ruangan sempit, kehadiran wartawan, netizen, content creator, atau video blogger, bisa mengganggu kesakralan ritual.
Setelah prosesi di Bumi Alit selesai, air penuh bunga, jeruk, dan batang tebu bekas pencucian benda pusaka itu dibawa ke halaman samping Bale Panglawungan. Di atas meja bambu seperangkat gamelan terdiri dari saron, bonang, gong, kecrek, rincik, dan beri, menunggu untuk segera dicuci.
Warga sudah menyemut di sekeliling meja, menunggu cipratan air cucian pusaka mengenai tubuh mereka. Di bawah meja, anak-anak berkumpul menunggu cucuran air cucian pusaka. Warga setempat percaya air ini membawa berkah dan keberuntungan.
Warga bersorak saat siraman air pertama diguyur ke perangkat gamelan, anak-anak berteriak kegirangan saat tubuh dan kepala mereka basah oleh cucuran air cuci gamelan.
Setelah itu anggota Sasaka Waruga yang bertugas melakukan prosesi pencucian gamelan mulai menggosok instrumen musik berbahan logam yang dipercaya usianya sudah ratusan tahun itu dengan batang-batang tebu dan irisan jeruk nipis.
Usai pencucian, gamelan dikeringkan lalu dihias dengan taburan kembang setaman dan irisan daun pandan. Para nayaga bersiap, alunan tembang buhun berjudul Ganggong mengalun mistis di antara pepohonan besar yang masih rapat itu. Lagu Ganggong ini bercerita tentang kondisi alam yang masih serba besar, masa pohon-pohon raksasa dan binatang-binatang besar menghuni hutan serba luas, daratan luas, dan sungai-sungai besar di tanah Sunda.
Setelah itu lagu Gonjing Patala dilantunkan. Lagu ini menceritakan saat Gunung Sunda meletus dan menyebabkan gempa hebat. Ada 12 lagu yang dilantunkan, dari lagu pertama sampai ketujuh yang berjudul Bango Cocong bercerita tentang peristiwa geologi yang membentuk wilayah Cekungan Bandung sekarang dan kondisi lingkungan saat itu.
Dari lagu kedelapan Magatruk sampai lagu ke-12 Boyong bercerita tentang upaya manusia mencari ilmu dan budaya. Semua nada dan aransemennya tidak terlalu mirip dengan irama karawitan Sunda saat ini. Tempo yang dimainkan lambat ke sedang menghasilkan alunan nada yang atmosferik, unik.
Warga Desa Batukarut dan Lebakwangi yang sudah datang berbondong-bondong sejak pagi mulai membuka bekal makanan yang dibawa. Mereka memenuhi area di sekitar hutan adat, menggelar tikar dan karpet di bawah pepohonan tinggi. Warga juga kerap bertukar bekal makanan dengan warga yang lain.
Ngarumat Pusaka yang digelar setahun sekali di hari libur peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini jadi ajang silaturahmi warga Batukarut dan Lebakwangi. Keunikan prosesi adat ini mengundang sejumlah mahasiswa ISBI untuk melakukan riset.
"Yang menarik itu ada Bumi Alit yang nggak boleh sembarang orang bisa masuk lalu ada prosesi pembersihan keris dan gamelan, kita melakukan penelitian kenapa acara budaya ini bisa membuat warga mau datang dan kumpul begitu ramai ,kenapa ada pencucian benda pusaka dan warga rebutan airnya," kata. Nafisa (18), mahasiswi ISBI jurusan Aantropologi Budaya.
Di gapura masuk situs, empat remaja perempuan berseragam putih abu yaitu Najwa, Aulia, Cut Widya, dan Cinthya, terus memperhatikan bentuk rumah adat Bumi Alit. Para remaja berusia 15 tahun pelajar SMAN 1 Banjarang itu juga sedang melakukan riset.
"Jadi kan ada tugas P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) jadi kita disuruh mengobservasi tentang situs sejarah. Kita pilih ke sini karena situs ini dekat dengan Banjaran dan kebetulan dekat rumahnya Najwa, tadinya mau ke rumah adat Cikondang tapi terlalu jauh," kata Aulia mewakili teman-temannya.
Baca Juga: Seberapa Penting, sih, Hak Masyarakat Adat di Mata Negara?
Masyarakat Adat Sunda Mengarungi Arus Budaya Globalisasi
Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri
Saat lagu demi lagu mengalun dimainkan nayaga, Shafira (17) dan Elsa (19) terus memantau jalannya acara agar tak ada jadwal yang terlewat. Elsa adalah mahasiswi Unjani dan Shafira yang siswi SMAN 1 Banjaran adalah potret berjalannya regenerasi di badan adat Sasaka Waruga Batukarut Lebakwangi.
"Budaya turun temurun bisa terus lestari dari generasi tua ke yang muda itu intinya, jangan sampai hilang atau punah. Aku dulu waktu kecil suka ikut-ikutan main air saat nyuci gamelan, sekarang kita belajar untuk mengerti detail semua proses dan makna dari Ngarumat Pusaka di kampung kami," kata Shafira.
Menurut sumber dari Digital Library UIN Sunan Gunung Djati, situs ini diperkirakan sudah ada sebelum masa penulisan Pegon (bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab) berdasarkan penemuan tulisan Sunda buhun pada perangkat pusaka gamelan goong renteng.
Sulit atau bahkan hampir tidak ada mencari sumber sejarah berupa bukti tertulis terkait Bumi Alit Kabuyutan Batukarut Lebakwangi ini, kecuali dari cerita turun temurun warga.
Konon, situs ini erat kaitannya dengan masa awal penyebaran Islam di Bandung Selatan. Konon lagi, situs ini sudah ada sejak surutnya danau purba. Perangkat gamelan goong renteng di sini usianya sangat tua mungkin dari saat manusia pertama kali bisa membuat logam.
Gamelan goong renteng di Batukarut Lebakwangi ini memang unik. Irama dan komposisi musiknya agak berbeda dengan musik gamelan Sunda umum. Ada perangkat beri atau gong beri dalam set gamelannya. Gong beri sendiri adalah jenis instrumen gamelan langka dan sakral dari Desa Renon di Bali.
Belum ada penelitian lebih lanjut tentang berapa usia gamelan goong renteng ini atau sejak kapan rumah adat Bumi Alit didirikan. Yang pasti upacara setahun sekali Ngarumat Pusaka Batukarut Lebakwangi ini tetap terpelihara melalui budaya bertutur masyarakatnya dari generasi ke generasi.
*Kawan-kawan yang baik bisa mengunjungi karya-karya lain Prima Mulia atau artikel-artikel lain tentang Masyarakat Adat