• Kolom
  • MULUNG TANJUNG: Kebon Kawung dari Masa ke Masa

MULUNG TANJUNG: Kebon Kawung dari Masa ke Masa

Sampai penghujung tahun 1960-an, daerah Kebon Kawung, terutama seputar Jalan Haji Iskat dan Jalan Haji Mesri masih berupa kampung. Listrik belum mengalir.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Ilustrasi. Bandung dahulu masih berupa perkampungan. Kota ini berkembang pesat tetapi tetap memiliki banyak kampung kota. (Foto Ilustrasi: Myninja AI)

30 September 2024


BandungBergerak.idDi tulisan sebelumnya saya menulis tentang Ciguriang, sebuah kampung tersembunyi di daerah Kebon Kawung Bandung. Ternyata banyak cerita yang bisa diungkap tentang kawasan Kebon Kawung ini. Kebon Kawung di masa kolonial sangat erat dengan sejarah dibukanya jalur kereta api di Bandung. 

Di buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto mengatakan, pada tanggal 17 Mei 1884 diresmikan jalur kereta api dari Batavia ke Bandung yang melalui Bogor dan Cianjur. Pembangunan jalur kereta ini tentu saja membawa dampak luar biasa pada perkembangan Bandung sebagai sebuah kota. 

Awal abad ke-20 Bandung makin berkembang, jumlah penduduk semakin banyak, baik penduduk lokal ataupun pendatang. Pembangunan rel kereta api Bogor-Bandung pun menarik kedatangan pendatang di Kota Bandung. Para pendatang banyak yang berasal dari Bogor, mereka bermukim di sekitar wilayah stasiun di bagian utara. Karena banyaknya pendatang dari Bogor yang bermukim di wilayah itu, maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Babakan Bogor. Nantinya, Babakan Bogor itu dikenal dengan sebutan Kebon Kawung. 

Tapi penamaan Babakan Bogor konon ada kaitannya juga dengan kawung atau pohon kawung. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bogor diartikan sebagai enau; aren; Arenga pinnata. Di mana enau atau aren dalam bahasa Sunda disebut sebagai kawung. Selain itu, ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa kata bogor merupakan sebutan untuk pohon aren atau kawung yang sudah tidak lagi menghasilkan nira. Jadi perubahan nama Babakan Bogor menjadi Kebon Kawung ternyata masih memiliki keterkaitan arti yang sangat dekat antara bogor dan kawung.

Dalam buku Basa Bandung Halimunan, Us Tiarsa menyampaikan, pada tahun 1949 keadaan daerah Kebon Kawung masih banyak yang berupa tegalan tanah kosong  yang banyak ditumbuhi ilalang. Selain itu ada pula kebun-kebun luas yang ditanami pohon kelapa. Dan di ujung Jalan H Iskat sekarang ada satu tegalan yang dijadikan pembuangan bangkai pesawat, juga bangkai mobil-mobil bekas. Di dekat situlah dulu saya tinggal. Walaupun tidak satu pun saya temukan bangkai pesawat pada masa itu, tapi dari cerita-cerita yang disampaikan bapak dan abah, serta para uak, saya pun tahu cerita itu.

“Harita mah di Kebonkawung téh acan gegek. Loba pisan tegal jeung kebon kalapa, lalega pisan. Di wétaneun imah totogan Gang Litsonlan (ayeuna mah Jl. H. Iskat), aya kebon kalapa jeung kebon kosong. Tegal nu sakitu legana téh pinuh ku bangkarak kapal udara jeung mobil. Lolobana sésa perang, da témbong tapak pélor boh dina awakna boh dina jangjangna. Malah loba nu kari huluna, buntutna, atawa jangjangna wé balatak. Tapi bangkarak mobil mah réréana mobil sédan, aya Fiat, Buick, Moris, jeung sajabana,” cerita Us Tiarsa.

Uak Us bercerita, banyak bangkai pesawat dan mobil tersebut yang sudah tertutup rumput liar, tapi tidak mengurangi keseruan anak-anak itu bermain “mengendarai” pesawat atau mobilnya masing-masing. Sayang sekali, saya tidak mendapatkan momen keseruan itu.

Masih menurut Us Tiarsa, pada tahun 1950-an Jalan Kebon Kawung sudah mulai ramai, di sana berjajar MTD (bengkel militer), PBYM (bengkel mobil), DKA (Djawatan Kereta Api), juga pool bis DAMRI. Ke sebelah timur ada Gedung Residen, sekarang Gedung Pakuan, juga Balai Besar Kereta Api.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #2: Makna Mendalam dari Sebuah Lagu
MULUNG TANJUNG #3: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (1)
MULUNG TANJUNG #4: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (2)

Sampai penghujung tahun 1960-an, daerah Kebon Kawung, terutama seputar Jalan Haji Iskat dan Jalan Haji Mesri masih berupa kampung, banyak rumpun bambu, kebun kelapa, kolam, dan tanah kosong berupa tegalan. Sebelumnya, Jalan Haji Mesri dikenal dengan nama Rosenlaan, karena hampir setengah ruas sisi jalan Haji Mesri sebelah barat adalah kebun mawar. Walaupun berada di tengah kota, suasana di tempat itu benar-benar seperti perkampungan.

Tahun 1980-an, ketika saya duduk di bangku sekolah dasar, suasana masih seperti itu. Sebagian besar rumah belum teraliri listrik, kami sendiri menggunakan petromak sebagai sumber penerangan. Setiap sore, menjelang maghrib, bapak beserta para tetangga mulai menyalakan petromak, sesekali, saya pun ikut memompa petromak biar kembali menyala terang. Listrik hanya dimiliki mereka yang mampu saja.

Saat itu salah satu uak sudah memiliki pesawat televisi walaupun belum memasang instalasi listrik di rumahnya. Televisi bisa dinyalakan karena menyantol pada tetangga yang sudah menggunakan listrik. Waktu itu setiap sore pukul 17.00, kami mengetuk pintu belakang rumah tetangga buat meminta menyambungkan listrik. Ahh... terbayang, kami yang segar karena baru mandi sore, mengetuk pintu sambil setengah berteriak: 

“Punteeen, kontakkeuuuun...” 

Lalu setelah listrik menyala kami menonton televisi di rumah uak bersama-sama. Setiap hari minggu listrik disambungkan pukul tujuh pagi. Dan kami akan duduk manis, setia menunggu Laura Ingals muncul di layar kaca. Ketika pada akhirnya kami memiliki televisi sendiri, aki adalah sumber energi yang kami gunakan saat itu.

Suasana kampung makin kental di rumah kami karena Abah dan Ma Abah memiliki satu buah hawu di dapur untuk masak sehari-hari. Hawu ini masih kami gunakan sampai awal tahun 1990-an. Kurang lebih sampai tahun 1992, saya masih bisa mirun seuneu, menyalakan api dengan kayu bakar di dalam hawu. Hal yang menyenangkan saat memiliki hawu adalah saat siduru, menghangatkan badan di depan hawu sambil membakar ubi, peuyeum, atau bahkan roti tawar. 

Tapi karena suasana kampung, walaupun berada di tengah kota, di tahun 1980-1990-an itu saya masih menikmati pagi atau sore hari dengan membaca komik atau novel kesayangan dengan duduk di dahan pohon jambu batu ditemani suara domba yang bersahutan. Ya, memanjat pohon adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan untuk kami, cucu-cucu abah Ilim, selain bermain ucing sumput, dan bersembunyi di antara domba-domba di dalam kandang.

Sungguh masa kecil yang menyenangkan.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//