UPI Kampus Cibiru Gelar September Tragis, Peringatan Pelanggaran HAM untuk Korban-korban September Hitam
Acara September Tragis di UPI Kampus Cibiru menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menggali lebih dalam tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Fauziansyah Hartadi
Pengajar/guru, memiliki minat pada isu transportasi dan lingkungan kemasyarakatan.
2 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Cibiru menjadi saksi dari rangkaian acara penuh makna yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPI Cibiru. Acara bertajuk "September Tragis: Peringatan Pelanggaran HAM Terhadap Korban-korban September Hitam" ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa dan masyarakat umum tentang pentingnya menuntaskan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih menggelayuti sejarah kelam Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan dengan melibatkan berbagai elemen kampus dan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam kajian diskusi, penampilan seni, hingga kegiatan sosial.
Baca Juga: Menyuarakan September Hitam, Ratusan Orang Mahasiswa Berunjuk Rasa di Bandung
Memperingati September Hitam dengan Konser Musik
Peringatan September Hitam, Catatan Kelam Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Republik Ini
Menggugah Kesadaran dengan Kegiatan Berbasis Sosial dan Kultural
Acara dibuka dengan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk memberikan dampak sosial dan kultural bagi para peserta. Salah satunya adalah donasi buku, di mana mahasiswa dan pengunjung dapat menyumbangkan buku-buku mereka untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Tidak hanya itu, lapak baca buku gratis juga disediakan untuk memfasilitasi peserta yang ingin menambah wawasan melalui literatur yang tersedia. Penampilan musik dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Dapur Seni Biru turut meramaikan suasana dengan alunan lagu yang mengusung tema perjuangan dan kemanusiaan.
Puncak dari acara ini adalah kajian diskusi yang mengambil tema "Pelanggaran HAM Terhadap Korban-korban September Hitam". Diskusi ini berfokus pada berbagai tragedi pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, seperti tragedi pembantaian masal pada 1965, tragedi Tanjung Priok, hingga pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Diskusi ini menyoroti bagaimana penegakan hukum di Indonesia masih lemah dalam menangani kasus-kasus tersebut, serta bagaimana banyaknya pelanggaran HAM yang masih belum terselesaikan. Hal ini menjadi salah satu topik hangat yang diangkat oleh para peserta.
Syahid Musthofa Akhyar, Ketua BEM UPI Cibiru, menjelaskan bahwa kegiatan ini dilatarbelakangi oleh keresahan mahasiswa terhadap isu-isu politik dan sosial di Indonesia. "Kami merasa penting untuk memberikan ruang bagi mahasiswa untuk memahami sejarah dan politik Indonesia, terutama terkait dengan pelanggaran HAM. Bulan September selalu menjadi pengingat akan berbagai tragedi yang terjadi di masa lalu, dan kami ingin menyoroti hal tersebut melalui kegiatan ini," ujar Syahid.
Selain diskusi, rangkaian kegiatan juga diisi dengan aksi lilin dan doa bersama sebagai bentuk penghormatan bagi para korban pelanggaran HAM yang telah terjadi di Indonesia. Suasana haru menyelimuti para peserta saat mereka menyalakan lilin dan memanjatkan doa untuk mereka yang telah menjadi korban ketidakadilan.
Acara ditutup dengan pemutaran film dokumenter “The Act of Killing”, yang mengisahkan tentang para pelaku pembunuhan massal di Indonesia pada tahun 1965-1966. Film ini memberikan gambaran mendalam tentang kekejaman dan trauma yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut, sekaligus membuka mata para penonton tentang betapa mengerikannya dampak dari pelanggaran HAM.
Diskusi Pelanggaran HAM, Menggali Masalah yang Belum Tuntas
Salah satu bagian inti dari acara ini adalah diskusi mengenai pelanggaran HAM di Indonesia, yang dipimpin oleh para ahli dan aktivis HAM. Hasil diskusi ini menyimpulkan bahwa masih banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, baik dari era G30S/PKI, tragedi Tanjung Priok, hingga pembunuhan Munir yang hingga kini masih meninggalkan tanda tanya besar. Lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu poin utama yang disoroti, terutama dalam menangani kasus-kasus besar yang melibatkan aparat negara.
"Selain penegakan hukum yang lemah, kami juga melihat adanya perubahan pandangan di kalangan masyarakat. Banyak yang kini lebih memihak pemerintah ketimbang para aktivis yang memperjuangkan keadilan," ujar salah satu peserta diskusi. Selain itu, dibahas pula dampak psikologis dari pelanggaran HAM terhadap para korban dan keluarganya, yang sering kali mengalami trauma berkepanjangan dan hilangnya kepercayaan terhadap institusi negara.
Rafi, salah satu peserta diskusi yang merupakan mahasiswa PGSD angkatan 2023, menyampaikan pandangannya tentang diskusi tersebut. "Saya datang ke sini karena mendapat broadcast dari grup kelas. Diskusinya menarik, tapi sayangnya tidak semua peserta aktif berbicara. Kebanyakan yang berbicara adalah mereka yang duduk di bagian depan, sehingga diskusi tidak terlalu menyeluruh." ungkapnya.
Rekan satu kelas Rafi, Frisian, juga mengungkapkan hal serupa. "Diskusi tentang HAM ini selalu menarik karena masalah HAM di Indonesia maupun dunia memang masih memprihatinkan. Namun, saya setuju dengan Rafi bahwa yang aktif berdiskusi hanya mereka yang dekat dengan pemantik diskusi, jadi pendapat dari peserta lain kurang terwakili," jelas Frisian.
Pesan dan Harapan dari Para Peserta dan Penyelenggara
Rafi dan Frisian menyampaikan harapan mereka agar acara seperti ini terus diadakan. "Forum seperti ini sangat penting agar mahasiswa bisa lebih sadar tentang HAM yang ada. Kami berharap kegiatan ini bisa lebih besar di masa depan dan melibatkan lebih banyak peserta agar diskusi menjadi lebih luas," kata Rafi.
Frisian menambahkan, "Menurut saya, diskusi seperti ini sangat bagus untuk memberikan refleksi tentang betapa pentingnya HAM bagi manusia. Mahasiswa adalah penggerak perubahan, jadi kami harus lebih vokal dalam menyuarakan isu-isu ini. Saya harap kegiatan seperti ini bisa disebarkan ke luar kampus agar lebih banyak orang yang terlibat dan bisa bertukar pendapat."
Syahid Musthofa Akhyar, selaku Ketua BEM UPI Cibiru, juga menyampaikan pesan dan harapannya. "Kami ingin kegiatan seperti ini bisa menjadi agenda rutin, karena politik dan HAM adalah hal yang sangat penting bagi mahasiswa. Melalui diskusi ini, kami berharap mahasiswa bisa lebih terbuka pemikirannya dan lebih memahami bagaimana menyikapi politik dan pelanggaran HAM di Indonesia," ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa meskipun ada tantangan dalam penyelenggaraan acara ini, seperti sulitnya menyebarkan informasi secara masif, namun pihaknya optimis kegiatan ini akan terus berkembang. "Harapan kami, ke depan semakin banyak mahasiswa yang berpartisipasi dan bisa menyuarakan pendapat mereka tentang isu-isu penting seperti ini," tutup Syahid.
Ikhtisar
Acara September Tragis di UPI Kampus Cibiru berhasil menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menggali lebih dalam tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Dengan rangkaian kegiatan yang mendalam, acara ini berhasil membangkitkan kesadaran kolektif dan memperluas wawasan peserta tentang sejarah kelam bangsa. Semoga kegiatan seperti ini terus diadakan agar generasi muda Indonesia semakin peka terhadap pentingnya menuntaskan pelanggaran HAM dan memperjuangkan keadilan bagi semua pihak.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang September Hitam