• Kampus
  • Kesenian Tradisional Menghadapi Tantangan Berat Karena Arus Globalisasi

Kesenian Tradisional Menghadapi Tantangan Berat Karena Arus Globalisasi

Ada banyak kesenian yang memerlukan upaya pelestarian, mulai dari seni Barong Landong Bengkulu hingga tarling dari Cirebon, Jawa Barat.

Tarling merupakan salah satu kesenian yang tumbuh di kawasan Pantura seperti Cirebon, Jawa Barat. (Foto: Universitas Indonesia)*

Penulis Iman Herdiana8 Oktober 2024


BandungBergerak.idSejumlah kesenian tradisional menghadapi tantangan berat di erat digital dan globalisasi sekarang ini. Upaya revitalisasi dan pelestarian budaya mendesak dilakukan. Perguruan tinggi dan orang-orang muda memiliki peranan sentral.

Upaya revitalisasi kesenian tradisional dilakukan Universitas Indonesia (UI). Salah satu proyek yang digarap UI adalah revitalisasi budaya di Bengkulu, Klaten, dan Banyuwangi oleh para akademisi dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI.

Proyek ini dipaparkan dalam sebuah talkshow bertajuk “Revitalisasi Budaya Melalui Pengabdian Masyarakat” yang diadakan di Perpustakaan, Kampus UI Depok, Kamis, 3 Oktober 2024, sebagai bagian dari Festival Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) UI 2024.

Dua pembicara utama yang terlibat dalam pengmas ini adalah R. Cecep Eka Permana dan Darmoko dengan moderator Dian Sulistyowati yang juga merupakan dosen FIB UI. Kedua akademisi tersebut membagikan pandangan mereka tentang pentingnya upaya pelestarian budaya lokal.

Revitalisasi Kesenian Barong Landong di Bengkulu

Cecep Eka Permana mengungkapkan, salah satu proyek besar yang dijalankan adalah revitalisasi kesenian Barong Landong di Bengkulu. Kesenian yang memadukan seni rupa, tari, dan musik ini sempat terancam punah karena minimnya dokumentasi akademik, terutama di masa pandemi.

“Barong Landong adalah kesenian dengan nilai-nilai seni rupa, tari, dan musik yang kuat. Pada pelaksanaan pengmas, kami melibatkan guru-guru seni dan mahasiswa untuk menyusun notasi musiknya serta melatih murid-murid di sekolah,” ujar Cecep, diakses dari laman resmi, Selasa, 8 Oktober 2024. 

Ia juga menambahkan bahwa meski kesenian ini belum banyak dikenal, pada akhir 2020 Barong Landong Kota Bengkulu telah berhasil ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). “Penyesuaian dengan adat setempat dan keterlibatan masyarakat juga menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam menjaga warisan lokal,” ujarnya lagi.

Pemberdayaan Generasi Muda di Klaten dan Banyuwangi

Darmoko menyoroti tantangan globalisasi yang mengancam eksistensi warisan budaya di berbagai daerah. Ia menjelaskan pentingnya memberdayakan masyarakat, terutama generasi muda, untuk terus melestarikan budaya lokal di Klaten dan Banyuwangi.

“Kami melakukan pemetaan wilayah di Klaten dan Banyuwangi. Seni pertunjukan dan teks naratif adalah bagian dari upaya kami untuk melestarikan budaya tersebut,” kata Darmoko.

Salah satu langkah yang diambil adalah melalui pengajaran aksara Jawa, yang menurutnya tidak hanya sekadar keterampilan membaca, tetapi juga pemahaman lebih dalam tentang nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Ia menegaskan bahwa keberhasilan revitalisasi budaya sangat bergantung pada dukungan semua pihak, termasuk pemangku kepentingan di daerah-daerah tersebut. “Identitas budaya lokal perlu terus diekspos dan diperingati. Teks naratif harus dipentaskan, adat istiadat harus dijaga, dan dengan persebaran titik revitalisasi, diharapkan budaya lokal di seluruh Indonesia dapat terus terjaga,” katanya.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh FIB UI ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya menjadi tugas pemerintah, akademisi, seniman, dan masyarakat secara luas. Dengan kerja sama dan komitmen yang kuat, warisan budaya lokal dapat terus dilestarikan di tengah arus globalisasi.

Baca Juga: Telkom University dan ISI Surakarta Mendukung Digitalisasi Budaya Tradisional Indonesia
Pasar Gedebage: Pasar Tradisional yang Digandrungi Milenial
Eksistensi Permainan Tradisional Kian Memprihatinkan

Diskusi Revitalisasi Budaya Melalui Pengabdian Masyarakat yang diadakan di Perpustakaan, Kampus UI Depok, Kamis, 3 Oktober 2024. (Foto: Universitas Indonesia)
Diskusi Revitalisasi Budaya Melalui Pengabdian Masyarakat yang diadakan di Perpustakaan, Kampus UI Depok, Kamis, 3 Oktober 2024. (Foto: Universitas Indonesia)

Kesenian Tarling Cirebon

Di Jawa Barat, salah satu kesenian rakyat adalah tarling (seni gitar dan suling). Tarling merupakan bagian dari khasanah seni budaya bangsa yang juga memerlukan peran para penerus. Menurut Ngatawi Al-Zastrouw, Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI), tarling sebagai wujud nyata kreativitas anak bangsa di bidang seni musik.

“Ada spirit inovasi dalam komposisi musik Tarling. Selain itu, juga mencerminkan sikap keterbukaan dan dinamis. Tarling bisa dianggap sebagai cermin kepribadian masyarakat Nusantara, yaitu menerima perubahan tetapi tidak meninggalkan akar tradisi lama. Ini makna penting yang harus dikaji dan didalami dalam seni tarling,” kata Zastrouw, dikutip dari laman resmi

Tarling merupakan kesenian rakyat yang populer di kalangan masyarakat pantai utara (pantura) Jawa Barat, khususnya wilayah Cirebon dan Indramayu. Popularitas tarling yang tinggi di kalangan masyarakat Cirebon, membuatnya dianggap sebagai jati diri kota Cirebon dan Indramayu.

Komposisi musik tarling merupakan perpaduan antara nada pentatonis dan diatonis dengan memadukan unsur tradisional dan modern. Syair-syairnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari dengan bahasa khas Cirebonan.

Dalam catatan Supali Kasim, seorang penulis buku dan pecinta sastra Indramayu, kesenian tarling muncul pertama pada tahun 1931 di desa Kepandean, Indramayu. Saat itu, seorang Komisaris Belanda meminta seorang ahli gamelan bernama Mang Sakim untuk memperbaiki gitar miliknya.

Gitar yang sudah diperbaiki Sakim tidak diambil oleh sang Komisaris. Oleh Sugra, anak Sakim, gitar itu kemudian dipelajari nada-nadanya dan diperbandingkan dengan nada-nada gamelan. Selanjutnya Sugra membuat eksperimen komposisi musik yang memadukan nada diatonis gitar dengan nada pentatonis yang ada di gamelan.

Nada-nada ini kemudian dipadu dengan seruling, maka jadilah komposisi musik yang khas dan unik yang kemudian disebut dengan tarling. Komposisi musik ini menarik perhatian masyarakat. Hampir di setiap hajatan atau perayaan pesta selalu mengundang kesenian tarling pimpinan Sugra.

Banyaknya masyarakat yang ingin mengundang tarling dan meningkatnya popularitas kesenian tersebut, memunculkan nama-nama tokoh seni tarling diantaranya Jayana, Raden Sulam, Carinih, Yayah Kamsiyah, Hj. Hariah dan Dadang Darniyah. Pada dekade 1950-an muncul tokoh tarling ternama dari Cirebon, yakni Uci Sanusi.

*Kawan-kawan yang baik silakan menengok artikel-artikel lainnya tentang seni tradisional dalam tautan ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//