• Kolom
  • MEMOAR BUKU #9: Buku Sukarno Pertama yang Dibeli, Mentjapai Indonesia Merdeka

MEMOAR BUKU #9: Buku Sukarno Pertama yang Dibeli, Mentjapai Indonesia Merdeka

Buku Mentjapai Indonesia Merdeka didapat di lapak buku Jalan Dewi Sartika. Buku karya Sukarno yang memaparkan pemikirannya mengenai hakikat kemerdekaan.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Sampul buku Mentjapai Indonesia Merdeka karya Sukarno terbit tahun 1933. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)

9 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Hampir semua tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia merupakan seorang penulis yang mampu menuangkan pikiran dan gagasan tentang masa depan bangsanya ke dalam medium buku, dan salah satu bapak bangsa sekaligus juga proklamator Republik Indonesia yaitu Ir. Sukarno yang bisa membentuk berbagai teori ke dalam tulisan sehingga bisa dinikmati khalayak luas. Entah berapa ratus judul buku yang membahas tentang Sukarno, baik itu yang ditulis oleh dirinya sendiri atau orang lain. Dari berbagai buku yang terbit itu juga sebagian besar rakyat  mengenal sosok presiden pertama Indonesia ini.

Saya pertama mendapatkan buku yang ditulis  Sukarno yaitu buku Mentjapai Indonesia Merdeka saat hunting di lapak buku Dewi Sartika. Dalam rekaman memori saya buku itu dibeli di sekitar tahun 1997 bersama beberapa buku lainnya seperti: 1984 George Orwell terbitan Van Houve, Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi, dan Pemikiran Politik di Negeri Barat  tulisan Deliar Noer dengan diganti uang tebusannya kurang lebih Rp 40.000 untuk ke empat buku bekas tersebut.

Fisik bukunya tampak lusuh dengan cover yang hanya bertuliskan judul buku dan penulis   dengan ukuran buku kecil 12 x 15,5 cm. Tebalnya 118 halaman dan dicetak oleh Drukkerij Economy Bandoeng, sebuah percetakan yang terletak di sekitar Pangeran Soemedangweg atau Jalan. Oto Iskandardinata sekarang. Percetakan ini milik seorang Tionghoa yang banyak mencetak buku ataupun majalah-majalah, satu di antaranya majalah Fikiran Ra’jat yang dinakhodai oleh Sukarno juga. Sedangkan di lembaran cover terdapat kalimat “Hanja ra’jat jang maoe merdeka bisa merdeka”, saya menafsirkan kalimat tersebut sesuai dengan apa yang tertulis dalam kitab suci bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (Q.S. Ar-rad : 11). Artinya apa pun yang kita kehendaki itu akan terwujud apabila kita sendiri ingin mewujudkannya, begitu pun dengan alam kemerdekaan yang dicita-citakan akan tercapai apabila rakyatnya mau merdeka.

Sama seperti Tan Malaka yang lebih dulu menulis Naar de Republiek (Menuju Republik)  pada tahun 1925, atau Muhammad Hatta yang menulis pledoi Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) 1927, di mana kedua buku tersebut terbit pertama kali di luar Indonesia. Berbeda dengan buku Mentjapai Indonesia Merdeka ditulis Sukarno pada 1933 di sebuah daerah yang sejuk dan dingin kawasan Bandung Selatan.  Sebagaimana yang diuraikan Sukarno dalam pendahuluan  buku:  

Selatan dari Bandoeng adalah satoe tempat pegoenoengan jang bernama pengalengan. Di tempat itoe saja, sekombali saja dari saja poenja tournee tempohari ke Djawa Tengah jang membengkitkan ra’jat sedjoemlah 89.000 orang. Bervacantie beberapa hari melepaskan kelelahan badan. Di dalam vacantie itoe saja menoelis ini risalah, ini vlugschrift.

Isinja boeat kaoem ahli politiek tidak baroe, tapi boeat orang jang baroe mendjedjakan kaki digelanggang perdjoeangan ada faedahnja djoega. Oentoek mendjaga djangan sampai risalah ini mendjadi terlaloe tebal - dus djoega djangan sampai terlaloe mahal harganja , maka hanja garis-garis besar sadja jang bisa saja goeratkan . mitsalnja fatsal “Di seberang djembatan emas” koerang djelas . Tetapi insja Allah akan saja bitjarakan nenti spesial didalam risalah lain jang djoega akan bernama “ Diseberang Djembatan emas”. Moga-moga risalah ini banjak dibatja oleh Marhaen”.

Meskipun Sukarno menyebutnya sebagai risalah tetapi bukunya itu terdiri dari 10 sub judul. Diawali dengan uraian Sebab-Sebabnya Indonesia Tidak Merdeka yang bersandar pada tesis atau pernyataan  Prof. Veth yang mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya belum benar-benar merasakan merdeka sejak zaman dulu. Negeri yang senantiasa hidup di alam penjajahan, meskipun dalam bentuk dan objek yang berbeda. Jauh sebelum ada pemikiran tentang sebuah bangsa, Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan yang mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing. 

Lebih lanjut Prof. Veth menyebut bahwa Indonesia merupakan jajahan Hindu sebelum menjadi jajahan Belanda. Hipotesa yang dibaca dari asumsi itu bahwa sebelumnya raja-raja yang menguasai nusantara menganut dan menyebarkan Hindu-isme, tetapi Sukarno dalam tulisan itu membantahnya dengan menyebut bahwa pada zaman Hindu itu bukan berarti pengungkungan oleh kekuasaan Hindu atau sebuah machtsusurpatie/perebutan kekuasaan atas pihak Indonesia. Pada saat itu sebenarnya kita merdeka atas Hindustan, sedangkan sekarang Indonesia masih dijajah Belanda. 

Lebih jauh Sukarno menilai bahwa akar masalah kenapa Indonesia belum merdeka, terletak pada watak dan alam pikiran rakyat  Indonesia yang masih terikat dengan feodalisme sebagai mental dan karakter yang diwariskan raja dan kerajaan yang pernah ada di Indonesia. Sistem itulah yang membuat rakyat jelata atau dalam istilah Sukarno sebagai kaum Marhaen tidak bisa memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Kesengsaraan dan kemiskinan itu yang selalu dirasakan kaum Marhaen dari hari ke hari,  sehingga tidak aneh kalau berbagai surat kabar kala itu sering mengabarkan berbagai kisah kemiskinan ironis dan tragis di kalangan kaum Marhaen.

Misalnya dalam koran Pewarta Deli tertanggal 7 Desember 1932 yang menulis : “Di kota sering ditemukan orang yang mendatangi pintu bui , minta dirawat di bui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui masih kenyang makan, sedangkan diluar belum tentu sekali sehari”.

Sama juga dengan Sin-Po edisi 27 Maret 1933 menulis: “Mencuri ayam sebab lapar di hukum juga selama 9 bulan, kejadian itu terjadi di desa Tragong Kebayoran karena wilayah tersebut merupakan daerah yang didera kelaparan, sehingga membuat seseorang warga bernama Punggut nekat mencuri 2 ekor ayam tetangganya. Tak lama berselang ia ditangkap dan diadili pada Landraad di  Mr.Cornelis yang menjatuhi hukuman 9 bulan”.

Setelah menguraikan analisa atas realitas rakyat Indonesia yang masih jauh dari kata baik, Sukarno tidak serta merta berdiam diri. Tetapi ia menulis tentang Machtsvorming, Radicalisme, dan Massa Actie yang menegaskan tentang perlunya penyusunan kekuatan untuk menggelorakan massa aksi terhadap kaum kolonialis. Hanya dengan cara seperti itulah kemerdekaan yang diimpikan semua rakyat dapat direbut dari tangan penjajah. Sebagaimana perkataan Karl Marx : “nooit heeft een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan” (Tidak mungkin suatu kelas mau melepaskan hak-haknya dengan sukarela atau kemauan sendiri). Ucapan itu sering dikutip Sukarno dalam berbagai pidatonya sebagai pembakar massa, karena dalam pandangannya kita tidak mungkin mendapatkan kemerdekaan secara cuma-cuma dari pihak penjajah, tetapi harus ada kekuatan bersama di kalangan rakyat untuk mendapatkannya.

Ir. Sukarno di tahun 1930. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)
Ir. Sukarno di tahun 1930. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)

Baca Juga: MEMOAR BUKU #6: Membaca Sarekat Islam, Di Bawah Lentera Merah Karya Soe Hok Gie
MEMOAR BUKU #7: Memanen Kenangan Cihampelas dalam Sebuah Buku yang Tidak Diperdagangkan
MEMOAR BUKU #8: Sikap Otodidak Serta Konsistensi dalam Buku-buku Ajip Rosidi

Sekelumit Menjelang Kemerdekaan

Sukarno memang ditakdirkan sebagai seorang yang akan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejak terlahir sebagai “putra sang fajar” hingga menjadi seorang proklamator rasa nasionalisme dan kecintaannya terhadap kemerdekaan tak bisa dilepaskan dari setiap jejak langkah dan perjuangannya. 

Dalam sebuah rapat Panitia Persiapan Indonesia Merdeka tanggal 1 Juni 1945, ketua panitia Radjiman Wedyodiningrat pernah mengemukakan pertanyaan mendasar untuk direnungkan bersama, “Apakah yang menjadi dasar kalau Indonesia nanti Merdeka?” Beberapa tokoh seperti Muhammad Yamin, Bung Hatta, Mr. Soepomo, menjawab dan menguraikan pandangan-pandangannya terkait dengan pertanyaan itu, yang pada dasarnya harus ada persiapan terlebih dahulu terutama menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang cakap di berbagai bidang , sebelum masuk menjadi bangsa yang benar-benar merdeka.

Tetapi ketika giliran Sukarno menyampaikan dan merespons pertanyaan tersebut , jawabannya hampir sejalan dengan apa yang pernah dituliskan dalam buku Mentjapai Indonesia Merdeka itu, yang mana hakikat kemerdekaan itu harus diupayakan untuk direbut dari tangan orang lain.  Artinya kita tidak perlu dipusingkan oleh sesuatu yang tidak terlalu penting, karena  jauh lebih penting adalah menjadi sebuah bangsa merdeka. Penguatan sumber daya manusia, struktur pemerintahan  ataupun pembangunan infrastruktur lainnya itu bisa dilakukan dilain waktu, tetapi yang penting kita sebagai bangsa harus merdeka terlebih dahulu. 

Sedangkan dalam perspektif saya juga meyakini apa yang ditulis Sukarno dalam buku Mentjapai Indonesia Merdeka terutama penjelasan pasal “Diseberang Djembatan Emas” yang disebutnya masih kurang jelas. Penjelasannya dapat diartikan sebagai berikut: “Rakyat Indonesia  harus mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu menyeberangi jembatan emas, jangan memikirkan dulu apa yang akan dilakukan setelah melewati jembatan emas.”      

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//