• Berita
  • Perubahan Iklim Meningkatkan Beban Keluarga Miskin Kota Bandung

Perubahan Iklim Meningkatkan Beban Keluarga Miskin Kota Bandung

Selain mengancam kelompok miskin kota, perubahan iklim dikhawatirkan memukul warga miskin perdesaan. Diperlukan program pemulihan ataupun antisipasi sejak dini.

Cerobong asap industri di Bandung selatan, Jawa Barat, Jumat (22/3/2019). Industri yang tidak ramah lingkungan akan mencemari tanah, air, dan udara. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana10 Oktober 2024


BandungBergerak.idDisadari atau tidak, dampak perubahan iklim sudah tiba di beranda rumah kita. Mulai dari perubahan suhu yang terasa ekstrem, panas atau dingin, cuaca tidak menentu, dan seterusnya. Perubahan iklim ini berdampak pada seluruh kalangan. Namun ada kelompok-kelompok rentanlah yang diperkirakan mengalami dampak paling parah, yaitu mereka yang yang tergolong warga miskin baik di kota maupun di desa.

Kota Bandung sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Barat turut terdampak perubahan iklim ini. Pada musim kemarau, suhu kota yang dulu dikenal dingin dan sejuk kini telah berubah drastis menjadi lebih panas. Kota Bandung juga memiliki angka kemiskinan yang tidak sedikit. Tercatat, Kota Kembang memiliki 109.333 warga miskin yang terdata sebagai Kelompok Penerima Bantuan (KPM).

Jumlah warga KPM tersebut terdata di Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), sebagai penerima bantuan pangan Cadangan Pangan Pemerintah dari Badan Pangan Nasional (Bappenas) berupa beras 10 kilogram untuk setiap keluarga penerima. Bantuan diberikan di Kantor Kelurahan Cigondewah Kidul, Kota Bandung, Rabu, 9 Oktober 2024.

Penjabat Wali Kota Bandung, A. Koswara menjelaskan, bantuan ini diharapkan bisa membantu masyarakat Kota Bandung yang membutuhkan, terutama yang keluarganya sudah terdata sebagai Kelompok Penerima Manfaat.

"Harus dibantu karena fungsi program ini supaya terjaga tidak meningkat kemiskinan," kata Koswara, dalam keterangan resmi.

Jumlah kemiskinan Kota Bandung yang tercatat di data Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) tampak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kemiskinan yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung per Maret 2024. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Kota Bandung mencapai 101.100 orang (3,87 persen), berkurang jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2023 yang sebanyak 102.800 orang (3,96 persen).

Garis kemiskinan Kota Bandung pada Maret 2024 sebesar 614.707 rupiah per kapita per bulan. Artinya, warga miskin Kota Bandung rata-rata berpenghasilan kurang dari 614.707 rupiah perbulan. Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan UMK Kota Bandung 2024 sebesar 4,2 juta rupiah per bulan.

Baca Juga: Perubahan Iklim Melanda, Bagaimana Tanggapan yang Muda?
Bencana Alam, Perubahan Iklim, dan Jejak Hutan Tropis Bandung
Perubahan Iklim dan Hancurnya Kerajaan Akkadia

Warga tunawisma bersama anaknya di atas gerobak melintasi jalanan di Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/10/2021). Kaum marjinal seperti ini dipastikan luput dari pendataan penerima bantuan sosial pemerintah saat pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Warga tunawisma bersama anaknya di atas gerobak melintasi jalanan di Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/10/2021). Kaum marjinal seperti ini dipastikan luput dari pendataan penerima bantuan sosial pemerintah saat pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Perubahan Iklim Mengancam Warga Miskin di Perkotaan dan Perdesaan

Warga rentan dari kelompok miskin dikhawatirkan menghadapi beban berlipat ganda karena perubahan iklim akibat pemanasan global. Bank Dunia telah menghitung estimasi terbaru dampak perubahan iklim terhadap kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Kisaran jumlah orang yang jatuh miskin karena perubahan iklim adalah antara 32 juta dan 132 juta di sebagian besar skenario. Hasil ini sepadan dengan estimasi yang tersedia untuk peningkatan kemiskinan global karena Covid-19.

Dampak tersebut diperkirakan terjadi karena perubahan iklim mempengaruhi harga pangan, kesehatan, dan bencana alam. Bank Dunia merekomendasikan bahwa tindakan yang dipercepat untuk meningkatkan ketahanan sangat mendesak. Tindakan ini bisa mencontoh paket pemulihan Covid-19. 

Satyawan Sunito, Mohamad Shohibuddin, dan Endriatmo Soetarto dalam buku Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan (Penerbit Buku Kompas, 2019) membeberkan dampak perubahan iklim pada warga miskin di Indonesia. Buku ini ditulis ketika angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2018 berjumlah 25,95 juta orang (9,82 persen), dengan lebih dari 60 persen penduduk miskin berada di perdesaan.

“Bila angka kemiskinan ini diperinci menurut kategori-kategori “Rentan Miskin Lain”, “Hampir Miskin”, “Miskin” dan “Sangat Miskin”, wilayah perdesaan juga memperlihatkan angka kemiskinan yang lebih tinggi, termasuk pada dua kategori yang terakhir,” tulis Satyawan Sunito dkk, diakses Kamis, 10 Oktober 2024.

Satyawan Sunito dkk juga mencatat, apabila tingkat pendidikan dijadikan sebagai indikator bagi kemampuan warga di dalam membangun penghidupan dan memanfaatkan peluang ekonomi yang terbuka, maka golongan miskin desa mencatat tingkat pendidikan yang jauh lebih rendah. Contoh, pada kategori “tidak dapat membaca dan menulis”, golongan miskin desa mencapai 15,3 persen, sedangkan golongan miskin kota mencapai 8,6 persen.

Rendahnya tingkat pendidikan dari golongan miskin desa tercermin juga di dalam tingginya angka kategori penduduk miskin yang tidak lulus sekolah dasar yaitu 42,9 persen, dibandingkan dengan kategori sama pada penduduk desa yang tidak miskin yaitu 29,2 persen.

Rendahnya atau bahkan nihilnya penguasaan atas aset dan alat-alat produksi di perdesaan, seperti tanah pertanian, alatalat pertanian, mesin untuk berproduksi, kendaraan, akses pada modal; juga merupakan aspek penting dari kemiskinan di perdesaan. Data Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan rumah tangga petani gurem yang jumlahnya mencapai 55,95 persen hanya menguasai 11,94 persen dari total lahan pertanian dengan rata-rata penguasaan sebesar 0,18 ha.

Angka tersebut memburuk dibanding satu dekade sebelumnya (2003) di mana golongan petani gurem yang berjumlah 51,2 persen (lebih sedikit) menguasai 12,8 persen dari total lahan pertanian (lebih luas). Di pihak lain, golongan petani kaya (luas penguasaan lahan >3 ha) yang jumlahnya hanya 6,16 persen menguasai 38,49 persen dari total lahan pertanian.

Penulis juga memaparkan lahan pertanian rakyat mencapai hampir 22,428 juta ha. Sebagian besar (38,49 persen) lahan pertanian rakyat ini dikuasai oleh hanya 6,16 persen golongan petani kaya yang rata-rata menguasai lahan seluas 5,37 ha. Pada posisi berikutnya, sebesar 33,77 persen lahan pertanian rakyat dikuasai golongan petani kecil (31,68 persen) dengan rata-rata penguasaan 0,91 ha. Lalu, 15,8 persen lahan dikuasai oleh golongan petani menengah (6,21 persen) yang rata-rata menguasai 2,18 ha. Akhirnya, golongan petani gurem yang merupakan mayoritas petani (55,95 persen) hanya menguasai 11,94 persen lahan rakyat dengan rata-rata penguasaan lahan 0,18 ha.

“Dari sini terlihat bagaimana lahan pertanian sebagai aset utama petani untuk berproduksi dan membangun penghidupan, terdistribusi secara tidak merata di antara petani. Dengan begitu, terlihat juga persentase dan jumlah rumah tangga petani yang tidak sanggup membangun penghidupan yang wajar dari sudut pandang luas lahan pertanian yang dikuasainya,” papar Satyawan Sunito dkk.

Menghadapi situasi perubahan iklim ini, Satyawan Sunito dkk merekomendasikan bahwa sangat beralasan perhatian lebih banyak diarahkan kepada kemiskinan di perdesaan. Selain karena konsentrasi kemiskinan berada di daerah ini, perhatian semacam itu juga berdasarkan asumsi bahwa perubahan iklim akan lebih banyak berdampak pada daerah dan penduduk perdesaan ketimbang daerah dan penduduk perkotaan.

“Lebih jauh, penduduk miskin adalah golongan yang akan memanggul beban negatif yang paling berat dari dampak perubahan iklim, baik yang berada di perkotaan maupun apalagi yang tinggal di perdesaan,” katanya.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain tentang Perubahan Iklim dalam tautan ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//