• Buku
  • RESENSI BUKU: Yang Terkubur dan Dikubur, Merawat (Selalu) Ingatan tentang Tragedi 1965 Indonesia

RESENSI BUKU: Yang Terkubur dan Dikubur, Merawat (Selalu) Ingatan tentang Tragedi 1965 Indonesia

John Roosa dalam bukunya, Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis di Indonesia 1965-1966, memaparkan tentang pola penghilangan orang pasca peristiwa 1965.

Sampul buku Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis di Indonesia 1965-1966 karya John Roosa terbitan Marjin Kiri tahun 2024. (Foto: sumber Shoope Indonesia)

Penulis Oky Nugraha Putra13 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Buku ini berjudul asli The Anticommunist Massacres of 1965-66 in Indonesia (2020) terbit pertama kali di Indonesia dan diterjemahkan oleh Hendarto Setiadi menjadi berjudul seperti di atas dalam edisi bahasa persatuan nasional. John Roosa dalam buku terbarunya ini mencoba untuk menggambarkan pola penghilangan nyawa secara nasional di dekade 1960-an ini dengan melakukan penelitian lapangan di beberapa provinsi Indonesia untuk menarik gambaran umum bagaimana orang-orang yang dicap sebagai anggota sampai simpatisan PKI tetiba “hilang” bak ditelan bumi, terkubur.

Jawa Tengah, Bali, Sumatera Selatan, dan Riau menjadi empat provinsi di mana Roosa melakukan penggalian sumber sejarah lisan untuk mencoba menemukan pola atau gambaran umum mengenai proses penghilangan orang pasca peristiwa 30 September 1965 terjadi. Inilah salah satu keunggulan dari buku ini yang saya lihat seperti dinyatakan oleh sejarawan kawakan Robert Cribb bahwa kerja Roosa ini adalah, “….gebrakan besar dalam menggambarkan peristiwa-peristiwa pembunuhan [1965-1966] dalam konteksnya saat itu dan dalam kekayaan data sejarah lisannya,” ucapnya.

Tidak berlebihan memang apa yang dikatakan sejarawan dari ANU tersebut. Tidak kurang dari 41 orang diwawancarai oleh Roosa untuk melihat narasi lain yang tidak terekam dalam sumber-sumber konvensional berupa arsip, koran, maupun dokumen cetak jenis lainnya. Ada yang diwawancarainya sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Ada yang disebutkan nama asli, ada juga yang meminta hanya disebutkan nama samarannya saja.

Penggalian sumber lisan dalam disiplin ilmu sejarah di Indonesia merupakan sesuatu langka yang masih jarang dilakukan apalagi terkait peristiwa sejarah yang memiliki sensitivitas sosial tinggi di masyarakat. Selain itu, upaya diversifikasi sumber sejarah yang dilakukan oleh Roosa mengingatkan saya pada sebuah artikel tentang diskursus arsip dari Marlene Manoff.

Perpustakaan, secara konvensional merupakan tempat disimpannya berbagai rekaman penelitian, peristiwa dari lintas disiplin keilmuan. Tiga unsur utama yang memainkan peran penting dalam proses preservasi, koleksi, hingga penggunaan koleksi perpustakaan itu adalah; para sarjana (termasuk peneliti lainnya), arsiparis, juga pustakawan itu sendiri.

“Siapa yang membuat berbagai arsip itu dan untuk tujuan apa? Bagaimana mereka diorganisasikan dan menjadi bisa diakses? Bagaimana mereka dirawat?,” kata Manoff (2004). Kontestasi itu terjadi di antara tiga unsur yang disebutkan di atas tadi; peneliti, arsiparis, juga pustakawan. Bagi saya, sebagai salah satu unsur yang termasuk ke dalam peneliti dalam artikel Manoff, Roosa mencoba untuk mendobrak pintu lain bagi kita melihat peristiwa pasca 1965 itu. Lebih jauh lagi ke belakang, Ann Laura Stoler dalam artikelnya Along the Archival Grain: Epistemic Anxieties And Colonial Common Sense (t.t) mengingatkan kita tentang dokumen pemerintah kolonial yang melihat mereka yang terkoloni sebagai “objek” dari penguasa Hindia-Belanda saat itu.

Tidak mungkin sekonyong-konyong mereka yang berkepentingan dalam peristiwa pasca 1965 dengan cara lugas menelanjangi diri mereka sendiri tentang apa, siapa, dan bagaimana tragedi kemanusiaan itu berjalan. Di sinilah bagi saya, kecerdikan Roosa melihat rumpang kosong penelitian yang bisa dimasukinya dengan memosisikan sumber lisan untuk menutup celah dan membuka jalan bagi siapa saja mereka yang tertarik untuk mendalami peristiwa pasca 1965 ini. Mereka yang tidak terekam dalam dokumen resmi bisa “bersuara” lewat kerja-kerja kesejarahan yang dilakukan Roosa.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa, Kisah Pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta dan Nasib Petani Desa
RESENSI BUKU: Ayah dan Sirkus Pohon, Dilema Pendidikan dan Pekerjaan di Indonesia
RESENSI BUKU: Pergulatan Identitas dan Alienisasi dalam Bayang-bayang Diri

Riwayat Terkubur

Pembaca (termasuk saya) pasti akan langsung penasaran begitu melihat judul buku ini. Apalagi di awal bukunya, Roosa menjelaskan posisi penelitiannya dengan menyatakan bahwa dia berusaha menyelami detail-detail penghilangan orang itu menggunakan “wawancara lisan dengan para pelaku, saksi, dan korban,” (Hlm. 24). Roosa berujar bahwa kerjanya tersebut berupaya untuk menyusun sebuah analisis spesifik mengenai bagaimana penghilangan nyawa itu diorganisasikan. Muara dari penelitiannya ini menuju kepada apa yang disebutnya “pembunuhan terorganisir”. Menarik, bukan?

Roosa juga menyoroti pembentukan Komando Teritorial (Koter) di tahun 1957 oleh Jenderal Besar AH Nasution. Nasution meniru konsep yang pernah diterapkan di Yugoslavia ketika daerah mereka diduduki oleh tentara NAZI Jerman pada Perang Dunia II (Hlm. 71). Koter dirombak pasca pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta. Dirinya kemudian merombak sistem Koter tersebut sehingga menjadi Kodam (Komando Daerah Militer) seperti sekarang. Kodam ini memiliki peran tersendiri nantinya di dekade 1960an.

Segitiga rantai komando terbentuk ketika pecah peristiwa 1965 itu antara; komando tertinggi militer di Jakarta, panglima Kodam, dan milisi anti-komunis dari kalangan sipil (Hlm. 432). Sering kali terjadi bahwa panglima di daerah tidak menuruti perintah dari garis komando di atasnya, juga sering terjadi milisi sipil antikomunis tidak sepaham dengan panglima Kodam. Beberapa anomali itu bahkan menjadikan beberapa panglima daerah dicopot oleh komando  tertinggi dan digantikan oleh mereka yang lebih “loyal”.

Roosa juga mengingatkan kita tentang hukum yang berlaku di Indonesia terkait tahanan. UU Keadaan Bahaya 1957, Deklarasi HAM PBB 1948, dan juga Konvensi Jenewa yang pada intinya melarang untuk melakukan eksekusi di luar hukum (Hlm. 449-450). Roosa juga memberikan ancer-ancer atau pertanda ilmiah bahwa hasil penelitiannya ini dapat dijadikan contoh oleh siapa saja untuk meneliti peristiwa pasca 1965 dengan memfokuskan diri pada; kategorisasi tripartit di atas (komando tertinggi, komando daerah, milisi sipil). Tahapan penghilangan orang; tahap pertama penahanan besar-besaran, kedua, penghilangan nyawa tanpa keluarga mereka diberi tahu di mana, kapan, oleh siapa, kenapa, dan di kemanakan jasadnya.

Identitas Buku          

Judul : Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis di Indonesia 1965-1966

Penulis : John Roosa

Tahun terbit : 2024

Penerbit : Marjin Kiri

Tempat terbit : Tangerang Selatan

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang  peristiwa 1965, dan tulisan-tulisan lain Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//