• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #43: Gedong Sipatahoenan Tahun 1939 hingga Tahun 1941

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #43: Gedong Sipatahoenan Tahun 1939 hingga Tahun 1941

Gagasan pembangunan Gedong Sipatahoenan lahir sekitar April 1938, saat peringatan HUT Sipatahoenan ke-15. Peletakan batu pertama dilakukan pada 25 Februari 1939.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Rancangan Gedong Sipatahoenan buatan Sona Soelandjana. (Sumber: Sipatahoenan, 28 Januari 1939)

18 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Minggu pagi, 3 Desember 1939, pukul 09.45, Oto Iskandar di Nata naik ke podium di loteng gedung baru yang rapi dan dihiasi berbagai jenis bunga. Sebagai direktur harian Sipatahoenan dan percetakan Pengharepan, Oto menyampaikan sambutannya dalam kerangka peresmian Gedong Sipatahoenan di Moskeeweg 28, Bandung.

Dalam sambutannya, antara lain Oto mengatakan: “Sebagai pengantar atas pemboekaan Gedoeng Sipatahoenan ini, lebih doeloe merasa perloenja, saja disini kemoekakan serba sedikit tentang riwajat atau lebih tegas asal moelanja pendirian Gedoeng Sipatahoenan ini. Sebagaimana oemoem telah mengetahoeinja, maka ketika Sipatahoenan didalam tahoen 1938, mengeloearkan nomor Jubilioem 15 tahoen berdirinja, dalam nomor itoe telah kami seboetkan demikian: Barangkali sadja Sipatahoenan akan lekas mempoenjai gedoeng sendiri” (Sipatahoenan, 4 Desember 1939).

Saat perkataan itu diungkapkan, konon, direksi dan redaksi Sipatahoenan belum punya maksud mendirikan gedung, meskipun telah lama diangankan. Kata-kata tersebut, menurut Oto, semata-semata pengharapan yang keras (een hartewensch). Namun, pada akhirnya, kata Oto, “didalam saat 20 boelan lamanja, dapat terboekti dengan aman dan selamat”.

Dari sambutan Oto di atas kita tahu gagasan pembangunan Gedong Sipatahoenan lahir sekitar April 1938, saat peringatan HUT Sipatahoenan ke-15. Lalu, proses selanjutnya bagaimana? Saya mendapatkan jejaknya dari Sipatahoenan edisi 28 Januari 1939 atau sekitar sembilan bulan setelah gagasan pembangunan gedung dilontarkan. Di situ dimuat gambar rancangan pembangunannya disertai sedikit keterangan.

Dalam keterangan tertulis bahwa gedungnya direncanakan didirikan di Moskeeweg, tepat di sebelah barat kantor polisi (“gigireun kantor poelisi beulah koelon”). Sipatahoenan menganggarkan sebesar f. 25.000, termasuk pembelian tanahnya. Peletakan batu pertamanya akan dilakukan pada Februari 1939 (“Koe adjaman, baris masang batoe kahidji dina djero boelan hareup keneh, Februari 1939”). Pemimpin pembangunannya Commissaris Hoofdbestuur Pasoendan afd. Gebouwen yaitu R. Moehamad Enoch dan E. Ardimihardja. Sementara perancang bangunannya R. Sona Soelandjana.

Rencana pembangunan itu ditanggapi penulis K yang di ujung tulisannya menyatakan: “Adegan gedong Sipatahoenan, kalangkang djenglengan Soenda-sawawa, kadjembaran bangsa djeung noesa, djadi barometerna dina harti kamadjoean oemoem, moal salah deui ragragna laelatoel kadar djeung poeloeng (daradjat) baris disangga koe Sipatahoenan toer kabadanan” (Sipatahoenan, 2 Februari 1939). Maksudnya, K menekankan pentingnya Gedong Sipatahoenan sebagai refleksi dari identitas dan budaya Sunda yang dewasa, keluasan bangsa dan nusa, sekaligus barometer kemajuan secara umum.

Pemasangan batu pertama Gedong Sipatahoenan oleh gadis-gadis, anak dari Oto Iskandar di Nata, Mohamad Enoch, Atma di Nata dan Dokter Djoendjoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 27 Februari 1939)
Pemasangan batu pertama Gedong Sipatahoenan oleh gadis-gadis, anak dari Oto Iskandar di Nata, Mohamad Enoch, Atma di Nata dan Dokter Djoendjoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 27 Februari 1939)

Peletakan Batu Pertama

Sesuai rencana, peletakan batu pertama Gedong Sipatahoenan dilakukan bulan Februari 1939, yaitu pada 25 Februari 1939. Demi mengabadikan peristiwa bersejarah itu, Sipatahoenan menjadikan edisi 27 Februari 1939 sebagai “Lambaran Batoe Tjikal” (lembaran batu pertama).

Menariknya, prosesi peletakan batu pertama itu didahului dengan menguburkan kepala kerbau. Di dalam Sipatahoenan dikatakan, “Sabadana teroes tamoe2 teh dihatoeranan noengkoelan ngoeboer heloe moending, di djoeroe adegan beulah kaler-koelon, noe samemehna prak diadanan heula koe djrg. Basoeni, Imam Masdjid Agoeng, noe satamatna didoaan koe djoeragan Hoofdpanghoeloe djeung djoeragan Kd. Ardawinata” (Setelah itu tamu-tamu dipersilakan menyaksikan penguburan kepala kerbau, di sudut bangunan sebelah utara-barat, yang sebelumnya diazani dulu oleh Basoeni, imam Masjid Agung, dan didoakan oleh Penghulu Kepala dan Kd. Ardiwinata).

Kepala kerbau lalu dibungkus kain putih dan dikubur. Sementara para tamu pindah ke tempat dipasangnya batu pertama. Peletakan batu pertamanya pun terbilang unik. Batu pertamanya dipasang di tempat yang akan didirikan menara, yaitu di sebelah timur bekas menguburkan kepala kerbau. Di sekitarnya telah tersedia berbagai syarat, seperti kemenyan yang mengepul di atas parukuyan kuningan, adukan dalam bokor kuning, dan sendok tembok kecil.

Menariknya, prosesi itu dilanjutkan dengan 14 orang gadis yang menyanyikan lagu Djipang Sipatahoenan di bawah arahan Machjar Angga Kusumadinata. Ketika hendak dipasang, Hadji Hasan Partadiredja mendahuluinya dengan berdoa. Kemudian tujuh anak perempuan berkebaya putih dan berkain rereng manis, masing-masing anak dari Oto Iskandar di Nata, Mohamad Enoch, Atma di Nata dan Dokter Djoendjoenan, dengan dilayani E. Ardimihardja, mulai memasang batu pertama.

Dalam “Lambaran Batoe Tjikal” dikatakan, “Toedjoeh palapoetra djoeragan-djoeragan Oto Iskandar di Nata, Mohamad Enoch, Ahmad Atmadja, Atma di Nata djeung doktor Djoengdjoenan noe istri ngaranggo kabaja bodas sindjang rereng manis, kalawan dilaladenan koe djoeragan E. Adimahardja, prak bismillah masangkeun batoe tjikal tea”.

Selain Sipatahoenan, Berita Priangan (23 Februari 1939) turut memberitakannya: “Besok pada hari Saptoe ddo 25 Februari 1939, djam 9 pagi akan ditaro batoe jang pertama oentoek Gedong Sipatahoenan”. Demikian pula Sinar Pasoendan (25 Februari 1939), yang antara lain menyebutkan prosesi batu pertama itu dihadiri Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah, Patih Bandung, Wedana Bandung, Camat Kota, Asisten Residen Swenke, Hoogland dari Bank Denis, De Vries dari Aneta, dan lain-lain. Perwakilan Paguyuban Pasundan pun banyak yang hadir.

Setelah anak-anak perempuan bernyanyi, acara dibuka oleh Oto Iskandar di Nata. Antara lain ia berterima kasih kepada Hoogland sebagai direktur Bank Denis yang memberikan pinjaman uang, sehingga memungkinkan terlaksananya pembangunan Gedong Sipatahoenan (“toean Hoogland Directeur Denis anoe parantos masihan kasempetan nepi ka bisa ngadegkeun eta gedong”). Bupati Bandung turut menyambut dan mendoakan. Setelah itu acara dilanjutkan dengan menguburkan kepala kerbau.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #40: Tanda Tanya untuk Pemerintah Kolonial
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #41: Punya Percetakan Sendiri sejak 1 Agustus 1936
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #42: Ulang Tahun ke-15 dan Kunjungan Ketua Volksraad

Perkembangan Pembangunan

Meskipun banyak yang mendukung pembangunan Gedong Sipatahoenan, bukan berarti tidak ada yang kontra, atau paling tidak menyayangkan, terutama soal asal biaya pembangunannya. Misalnya SW yang menulis surat pembaca dalam Berita Priangan edisi 3 Maret 1939.

Katanya, “Diwaktoe hendak moelai memasang batoe pertama dari gedong terseboet diofficieelkan diperceel Moskeeweg, adalah perkataan terimakasih, jang dioetjapkan speciaal berhoeboeng dengan kapertjajaan, jang menjebabkan sampai maksoed membikin gedong itoe dapat tertjapai, tetapi sajang sekali, oetjapan trimakasih jang bersifat speciaal berhoeboeng dengan kapertjajaan jang penting itoe, tida dan boekan oentoek badan-badan pendirian pehak kita, hanjalah diserahkan kepada Denis, jang soedah memberi ke pertjajaan kepadanja oentoek bouw crediet.

Padahal menurutnya di Bandung banyak lembaga keuangan bumiputra, asal percaya, niscaya Gedong Sipatahoenan dapat didirikan dengan kekuatan bumiputra sendiri. Akhirnya, SW mengajukan pertanyaan: “Apakah jang demikian itoe tida mengetjilkan hati jang soedah gembira dan mendjadi gambar jang kenjataan terhadap keadaan kita?

Meski demikian, pembangunan Gedong Sipatahoenan dilanjutkan. Terbukti dari Sipatahoenan edisi 3 Juni 1939 kita tahu saat itu bangunan untuk percetakan sudah selesai dan sekarang berdiri kolom-kolom beton untuk loteng (“Siga anoe ngabejoan, matak heran anoe njaksian degna. Da poegoeh noe pangheulana ngadjegir eukeur drukkerijna, ari ajeuna radjeg beton-kolommen eukeur lotengna”).

Bulan Agustus 1939, panitia pembangunan menerima donasi jam besar dari saudagar Rais untuk dipasang nanti di menara gedung (“Djam gede keur dina moenara [toren] gedong Sipatahoenan”). Dalam Sipatahoenan edisi 5 Agustus 1939, dikatakan konon Rais tidak mau disebut-sebut namanya sebagai donatur jam tersebut. Tetapi redaksi Sipatahoenan merasa berdosa tidak mengumumkan pihak-pihak yang berjasa dalam pembangunan Gedong Sipatahoenan (“Andjeunna mah, djoeragan Rais. handelaar di ieu kota (Kompa), moendoet oelah waka geroeh atawa digeroehkeun noe teu palaj katangar kagoengan djasa ieu teh, tapi Sip ngarasa dosa oepama ngadedempes”).

Oto Iskandar di Nata dan Moh. Enoch membuka dan memberikan sambutan saat peresmian Gedong Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 4 Desember 1939)
Oto Iskandar di Nata dan Moh. Enoch membuka dan memberikan sambutan saat peresmian Gedong Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 4 Desember 1939)

Rekaman Peresmian

Selanjutnya tinggal peresmian Gedong Sipatahoenan. Sipatahoenan merekam peristiwa bersejarah itu secara maraton dari edisi 4 hingga 7 Desember 1939. Terutama pada edisi 4 Desember 1939, Sipatahoenan memuatkan dua halaman liputan peristiwa peresmian dengan tajuk “Ngaroeat Gedong Sipatahoenan”.

Para undangan yang hadir disebutkan antaranya Wali Kota Bandung N. Beets, Asisten Residen Bandung Swencke, Patih Bandung mewakili Bupati Bandung, wethouder Belanda Ir. Dessauvagie, dan lain-lain.

Panitia menerima 46 karangan bunga kiriman dari Directie Elita Concern, Persib, Perboe, Pait (Pers Agentschap India-Timoer), Bank Nasional Indonesia, Himpoenan Soedara, Sinar Pasoendan, Berita Oemoem, Jaarbeurs, Panggeuing, Toko De Zon. R.A. Sangkaningrat, Toko Tokio, dan Agent Djamoe Njonja Meneer, dan lain-lain. Para penyumbang antara lain Studio Foto Aloen yang menghadiahkan foto Gedong Sipatahoenan yang diperbesar, Soeparman (anggota Pengurus Pusat Pasundan di Cirebon) mengirimkan ukiran kayu berbentuk singa bertanduk, dan lain-lain.

Para undangan yang tidak datang mengirimkan ucapan selamat melalui surat atau telegram. Di antaranya dari Regeeringsgemachtigde voor Algemeene Zaken, M. Soetardjo (gedelegeerde), Aneta, H. van Galenlast (Hoofdinspecteur SS), Gebeo, Bupati Garut, Hoofdbestuur IEV, L. Datoek Toemenggoeng, dan lain-lain.

Pembukaan resmi Gedong Sipatahoenan dilakukan oleh Oto Iskandar di Nata. Dalam sambutannya, ia menyinggung latar belakang pendirian gedung ini. Pada tahun 1938, ketika Sipatahoenan merayakan ulang tahun ke-15, tercetus harapan untuk memiliki gedung sendiri. Meski pada saat itu belum ada rencana pasti, keinginan tersebut akhirnya terwujud berkat kerja keras dan dukungan dari banyak pihak. Oto juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bank Denis, yang memberikan kepercayaan finansial untuk pembangunan gedung, serta kepada Gemeente Bandung yang memberikan dukungan dan saran. Penghargaan juga disampaikan kepada pemasok bahan bangunan.

Setelah Oto, Moh. Enoch menceritakan teknis bangunan. Konon uang habis sebesar f. 25.000, sementara luas gedung sekitar 872 meter persegi, atau 28 gulden per meter, terbilang murah. Ia juga berterima kasih kepada Soetisna Sendjaja karena merelakan tanah miliknya (untuk Gedong Sipatahoenan) dibeli dengan harga murah. Dalam sumber lain (“Gedong Sipatahoenan. Paningalina poestaka mangsa Parahiangan, Bale Poestaka”, dalam Sipatahoenan, 16 Desember 1939) disebutkan biaya gedungnya sebesar f. 22.500, tanah sebesar f. 7.500, sehingga totalnya sebesar f. 30.000

Dalam pidatonya, Wali Kota Bandung N. Beets menyampaikan harapan agar Sipatahoenan dan percetakan Pengharepan terus maju dan berkembang. Setelah Beets, berturut-turut yang angkat bicara adalah Patih Bandung atas nama Bupati Bandung, Tabrani wakil dari Perdi (Persatoean Djoernalis Indonesia), dan M.A. Salmoen wakil dari Balai Pustaka.

Setelah sesi sambutan, para tamu diundang untuk melihat langsung bagian gedung, termasuk percetakan. Para karyawan menunjukkan cara mesin-mesin cetak digunakan untuk memproduksi Sipatahoenan. Menjelang malam, acara ditutup dengan pertunjukan wajang golek di halaman Gedong Sipatahoenan. Seluruh rangkaian pembukaan itu disiarkan pula melalui radio VORL (Vereeniging Ooestersche Radio Luisteraars), sehingga masyarakat luas yang tidak hadir secara langsung dapat mengikutinya dari siaran radio.

Adapun media-media yang meliput peristiwa tersebut dan dimuat ulang dalam Sipatahoenan, ada Sinar Pasoendan, Berita Oemoem, AID De Preangerbode, Nicork Expres (“Sipatahoenan pada Ngawiloedjengkeun …” dalam Sipatahoenan, 5 Desember 1939), De Koerier, Persbureau Aneta (“Gedong Sipatahoenan. Tjeuk De Koerier djeung Persbureau Aneta” dalam Sipatahoenan, 6 Desember 1939), Pemandangan, Pewarta Soerabaia, Kebangoenan (“Gedong Sipatahoenan. Digambarkeunana koe s.k. sedjen” dalam Sipatahoenan, 7 Desember 1939), dan majalah Parahiangan (“Gedong Sipatahoenan. Paningalina poestaka mangsa Parahiangan, Bale Poestaka”, dalam Sipatahoenan, 16 Desember 1939).

Masalah dan Pemanfaatan

Setelah Gedong Sipatahoenan selesai dibangun dan diresmikan, muncul masalah hukum cukup serius terpaut pembayaran arsiteknya. Berdasarkan laporan dari Berita Priangan (5 Desember 1939), arsitek Sona Soelandjana, perancang Gedong Sipatahoenan, mengajukan tuntutan hukum ke Raad van Justitie di Betawi melalui perantaraan pengacara Mr. Gatot. Ia menuntut ganti rugi sebesar f 1.900 atas pekerjaan desain gedung yang belum dibayarkan oleh pihak pengelola.

Dalam Berita Priangan dikatakan, “Orang mengabarkan kepada kita, bahwa dengar perantaraan Mr. Gatot, advocaat di Bandoeng telah dimasoekkan ke Raad van Justitie di Betawi satoe pengadoe an boeat minta keroegian besar nja f 1900.- (seriboe sembilan ratoes roepia) oentoek toean Sona Soelandjana ontwerper dari gedoeng Sipatahoenan jang beloem dibajar”.

Namun, sebelum dan sesudah penuntutan, agaknya operasional Gedong Sipatahoenan tetap tidak terganggu. Buktinya dalam berita-berita surat kabar seperti Sipatahoenan dan Sinar Pasoendan mengemuka pemanfaatan Gedong Sipatahoenan dari tahun 1939 hingga 1941.

Tanggal 2-3 Desember 1939, gedung itu menjadi tempat berlangsungnya Conferentie Pasoendan yang dipimpin oleh Hoofdbestuur Paguyuban Pasundan dan dihadiri 102 utusan dari 38 cabang. Salah satu agenda utamanya adalah mendiskusikan sikap terhadap Gerakan GAPI (Gabungan Politik Indonesia), yang saat itu tengah memperjuangkan parlemen di Indonesia. Setelah berdiskusi, peserta konferensi memutuskan untuk mendukung aksi GAPI dalam mendorong pembentukan parlemen di Indonesia (Sipatahoenan, 5 Desember 1939; Sinar Pasoendan, 5 Desember 1939).

Awal 1940, Gedong Sipatahoenan kembali menjadi pusat perdebatan tentang gagasan didirikannya perhimpunan Soenda Sawawa. Meski perdebatannya hangat, konon hasilnya tidak memberikan kesimpulan yang jelas. Banyak yang merasa gerakan itu masih perlu dipertimbangkan lebih matang sebelum diambil tindakan lebih lanjut. Bagi masyarakat luar, kritik terhadap ide ini muncul dengan cepat, menunjukkan bahwa gagasan ini dianggap belum sepenuhnya relevan dengan kondisi riil (Sipatahoenan, 27 Januari 1940).

Selain sebagai tempat pertemuan dan perdebatan, Gedong Sipatahoenan menjadi pusat kegiatan budaya. Misalnya, tanggal 21 Maret 1940, gedung ini menjadi titik akhir iring-iringan lampion nasional (Nationale Lampion Optocht) sebagai bagian dari perayaan Kongres Paguyuban Pasundan ke-25. Iring-iringan melibatkan banyak pihak, termasuk siswa sekolah Pasundan, dan menyoroti semangat persatuan serta kebanggaan nasional di kalangan masyarakat Sunda. Rute iring-iringannya dimulai dari Lapangan Tegallega dan berakhir di Gedong Sipatahoenan (Sipatahoenan, 18 Maret 1940).

Pada 19 Desember 1940, Gedong Sipatahoenan direncanakan akan dijadikan tempat diadakannya gempoengan (pertemuan) ISI yang melibatkan kaum bapak dan ibu dalam rangka melengkapi susunan pengurus dan merencanakan berbagai kegiatan seperti wandelmarsch dan sportweek untuk seluruh Indonesia (Sipatahoenan, 17 Desember 1940).

Sekali lagi, Gedong Sipatahoenan menjadi tempat bagi Paguyuban Pasundan untuk mengambil keputusan-keputusan politik yang strategis diambil. Misalnya di gedung tersebut diselenggarakan spoedconferentie (konferensi mendadak) pada malam Minggu, 9 Juni 1941. Pertemuan ini membahas rancangan peraturan inheemsche militieplicht (kewajiban militer bagi pribumi) yang diajukan pemerintah kepada Volksraad (Dewan Rakyat). Di bawah kepemimpinan Oto Iskandar di Nata, Paguyuban Pasundan tegas menolak rancangan itu. Setidaknya 20 cabang Pasundan menyuarakan pandangan yang sama (Sipatahoenan, 9 Juni 1941).

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//