• Kampus
  • Mewaspadai Gambar-gambar Palsu Buatan AI yang Menyerang Privasi Perempuan

Mewaspadai Gambar-gambar Palsu Buatan AI yang Menyerang Privasi Perempuan

Gambar palsu buatan AI menyaru Taylor Swift. Perkembangan kecerdasan buatan dikhawatirkan menyerang perempuan.

Ilustrasi. Teknologi digital tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia modern. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah19 Oktober 2024


BandungBergerak - Beberapa bulan lalu, publik sempat dikejutkan dengan beredarnya sebuah gambar eksplisit palsu dari salah satu penyanyi terkenal, Taylor Swift. Gambar yang menyudutkan privasi ini beredar luas di media sosial X. Namun kasus gambar palsu yang diduga dibikin dengan kecerdasan buatan (AI) yang terjadi pada Taylor Swift bukanlah satu-satunya.

Satu hal yang menjadi perhatian publik tentang isu kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) adalah masifnya perkembangan teknologi deepfake dan penggunaannya tanpa konsen.

Kasus penyalahgunaan deepfake tidak hanya menyerang pada orang orang-orang terkenal seperti figur publik ataupun politisi. Sebaliknya orang biasa, khususnya perempuan, pun rentan terkena penyalahgunaan deepfake. Perkembangan kasus deepfake ini bisa tercetus akibat berkembangnya teknologi Artificial Intelligent yang semakin masif.

Narasi tersebut sebenarnya disinggung dalam pemaparan materi dari Natalya Lusty, seorang profesor ilmu kebudayaan (cultural studies) dari Universitas Melbourne, dalam acara BaiconFocus 2024 atau Bandung International Conference For Cultural Studies.

Dalam sesi plenary (podium), yang dilaksanakan setelah jam makan siang, Rabu, 16 Oktober 2024. Natalya menyampaikan pandangannya mengenai posisi AI dalam perspektif kebudayaan dengan judul Art in the Age of AI: A Cultural Studies Perspective. Secara garis besar, ia membagi pandangannya menjadi dua fokus utama yaitu mengenai hubungan ilmu kebudayaan dengan AI dan membedah pemikiran Walter Benjamin dari esai-nya berjudul Artwork tentang bagaimana hubungan seni dan teknologi yang dilihat dari fenomena Museum Dali dan Dali Lives Interactive Exhibition.

This increasing sophistication and the rise in disinformation and misinformation for political or financial gain, or indeed to cause personal harm (Bertambah canggihnya serta maraknya disinformasi dan misinformasi untuk mendapatkan keuntungan politik atau finansial, atau bahkan menyebabkan kerugian pribadi),” lanjut Natalya yang juga menaruh perhatian besar pada isu feminisme, surealisme, dan tata busana (fashion).

Natalya melihat kondisi ini sebagai sebuah dunia distopia di mana kita dapat mengalami dan mengetahui bahaya dari AI tersebut. Meski di sisi lain narasi utopis tentang AI tetap melingkupi kehidupan manusia.

Di sini Natalya seakan-akan bertanya bagaimana caranya untuk menavigasi distopia baru ini dan mengkonfigurasi ulang gagasan utopis dengan mendungkung hasil yang lebih etis. Atau mungkin perlu meninjau biner antara utopia dan distopia tersebut.

Tidak hanya Natalya yang menjadi pembicara ahli dalam sesi podium di acara Konferensi Internasional yang mengangkat tema seputar tantangan AI terhadap kebudayaan. Ada pula tokoh ahli lainnya yang hadir seperti Mumtaz Mokhtar dari UiTM Selangor (Malaysia), Masato Fukushima dari Universitas Tokyo, Martin Rendel dari Universitas Cologne, dan Yasraf Amir Piliang dari FSRD ITB.

Baca Juga: Teknologi AI yang Mengubah Kehidupan Sehari-hari Generasi Z
Kemajuan Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Editor Buku
ITB Membentuk Satgas Aplikasi AI, Kecerdasan Buatan Tidak Punya Etika

Terbuka untuk Umum

BaiconFocus 2024 atau Bandung International Conference For Cultural Studies berlangsung selama dua hari dari tanggal 16-17 Oktober 2024, di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Mengangkat topik mengenai AI dengan judul ‘Interpreting the Global/Local Culture against the Challenge of Artificial Intelligence and Machine Learning’.

Konferensi internasional tentang kajian budaya ini membuka atau mengundang publik (umum) yang tertarik untuk  mengumpulkan paper atau hasil penelitiannya sesuai dengan tema yang diangkat pada tahun ini. Pemilihan tema ini didasarkan dengan fenomena (dalam hal ini AI) yang dinilai sedang berkembang di masyarakat dan memiliki dampak pada kebudayaan.

Dana Waskita, Ketua Konferensi BaiconFocus 2024, menyampaikan jika tema yang berkaitan dengan AI ini mencangkup tiga aspek utama yaitu aspek budaya visual, budaya dan peradaban, serta bahasa dan literasi. Tidak hanya pengumpulan paper dan publikasi ilmiah, acara ini juga menghadirkan beberapa ahli sebagai pembicara dari berbagai negara.

“Untuk keynote speaker, kita tentunya mencari champion-champion yang ada di bidangnya. Salah satu champion yang ada di bidang teknologi kita ambil dari berbagai negara. Salah satunya dari Jepang ( Masato Fukushima), misalkan. Itu kita anggap championnya di cultural studies di Jepang,” ujar Dana, saat ditemui BandungBergerak.id.

Bukan hanya dari negara Jepang, tapi juga dari Australia, Malaysia, Jerman, dan Indonesia yang menjadi representasi dari beberapa benua.

Selain sesi podium ini, ada juga presentasi para peserta yang hasil penelitiannya berhasil lolos tahapan seleksi konferensi ini.  Ada sebanyak 90 proposal beserta abstrak yang masuk dan diseleksi menjadi 37 proposal. Kemudian hanya ada 31 proposal yang berhasil selesai menjadi artikel lengkap. Meski terbuka bagi siapa pun di seluruh dunia, tetapi dalam praktiknya banyak peserta yang berasal dari mahasiswa S2 dan S3 ITB.

“Ya, tentunya kita ingin mempunyai dampak yang besar. Dampak konferensi ini nanti mungkin tidak sebatas yang muncul hanya di ITB saja. Tentunya ini harus mengembang ke seluruh dunia. Bagaimana caranya mengembang ke seluruh dunia? Tentunya dengan melewati media ilmiah, publikasi ilmiah,” harap Dana untuk acara ini ke depannya, yang akan menjadi acara rutin setiap tiga tahun sekali.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel tentang Kecerdasan Buatan atau artificial intelligence (AI)

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//