• Kolom
  • MEMOAR BUKU #10: Mengurai Hubungan Islam dan Komunisme Haji Misbach

MEMOAR BUKU #10: Mengurai Hubungan Islam dan Komunisme Haji Misbach

Buku H.M. Misbach Kisah Haji Merah mengurai sepak terjang Haji Misbach memadukan Islam dan komunisme untuk menjawab persoalan rakyat menghadapi kolonialisme Belanda.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Sampul buku H.M. Misbach Kisah Haji Merah terbitan Komunitas Bambu 2008. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)

21 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Di awal tahun 2000 saya pernah membaca sebuah artikel yang dimuat dalam tabloid berita mingguan Adil dengan judul “Gus Dur dan ‘Haji Komunis’ Misbach”. Tulisan itu membandingkan antara Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang waktu itu sedang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, dengan Haji Misbach seorang tokoh agama yang menerapkan komunisme sebagai dasar perjuangannya. Keduanya merupakan tokoh eksentrik yang sama-sama menyandang kedudukan sebagai ulama dalam perspektif muslim.

Misbach merupakan ulama yang kesehariannya sebagai pendakwah tetapi secara bersamaan juga mempropagandakan komunisme kepada masyarakat. Sedangkan Gus Dur meskipun tidak mengampanyekan komunisme, tetapi ia seorang ulama yang pemikirannya sering kali bersentuhan dengan Marxisme. Sikapnya selaku presiden yang meminta maaf kepada orang-orang komunis  atas peristiwa masa lalu banyak menuai kontroversi, dan puncaknya ketika Presiden ke-4 RI itu mengusulkan untuk mencabut Tap MPRS nomor  25 Tahun 1966 tentang pelarangan penyebaran paham Marxisme, Leninisme, dan Komunisme.

Artikel tersebut mendorong saya untuk mengetahui lebih jauh siapa sosok Misbach yang dinisbahkan sebagai “Haji Komunis” itu, dengan dua kombinasi ideologi antara Islam dan komunis yang bersatu dalam diri seseorang terbilang kontras sekaligus unik. Waktu itu meskipun era Reformasi dan buku-buku dengan berbagai macam ideologi sudah boleh terbit, tetapi saya tidak menemukan buku yang terkait dengan Misbach, kalaupun ada yang diterbitkan dari beberapa tokoh-tokoh pengusung komunisme periode awal hanya bukunya Semaoen Hikayat Kadiroen, Penuntun kaum Buruh atau buku Mas Marco Kartodikromo Student Hijo yang saya dapatkan di toko ataupun lapak buku. Minimnya pembahasan secara khusus tentang Misbach mungkin juga karena tulisan-tulisannya belum terangkum dalam satu tempat (buku) dan hanya tersebar di berbagai surat kabar seperti Medan Moeslimin ataupun Islam Bergerak

Maka ketika penerbit Komunitas Bambu yang digawangi sejarawan J.J. Rizal menerbitkan buku H.M. Misbach Kisah Haji Merah, saya langsung membelinya untuk memenuhi hasrat keingintahuan. Buku dengan tebal 120 Halaman + 37 Halaman Epilog ini diangkat dari skripsi sarjananya Nor Hiqmah, mahasiswa di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada yang juga aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) di tahun 1999. Judul asli skripsinya ‘Konsepsi H.M. Misbach Tentang Islam dan Komunisme sebagai Pembebasan Kaum Tertindas’. Isinya mengupas : 1) Riwayat hidup singkat Misbach, 2) Kondisi sosial politik yang mempengaruhinya, 3) Pandangan Misbach tentang islam dan komunisme, 4) Upaya membebaskan kaum yang tertindas, terakhir 5) Evaluasi kritis.

Pada awal prolog buku terdapat kutipan Ziaul Haque seorang pemikir Pakistan yang pernah menulis buku kontroversi “Revelation and Revolution in Islam”, yang menyebutkan bahwa “Revolusi yang dilakukan oleh para nabi terutama bertujuan untuk melawan kekuatan-kekuatan diskriminasi kelas, penindasan dan takhayul.” Kutipan itu tentunya relevan dengan pembahasan buku yang akan membincangkan bagaimana agama yang notabene dibawa dan disebarkan para nabi itu haruslah tetap dalam jalur dan track yang semestinya yakni melawan kezaliman dan membawa perubahan-perubahan secara mendasar. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW ketika mengubah sistem dan struktur pemerintahan despotik jahiliyah ke arah sistem Islam yang adil dan egaliter, dengan menghapus diskriminasi kelas dan gender pada waktu itu. Apa yang dibawa Sang Nabi itu jelas sebuah gerakan revolusioner dengan menempatkan harkat dan derajat yang sama antar sesama manusia. Semangat itu juga yang sering mengaitkan antara Islam dengan cita-cita komunisme, dan salah seorang tokoh yang terpengaruh dengan itu adalah Misbach.

Surat kabar Medan Moeslimin pimpinan Haji Misbach koleksi Indra Prayana. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)
Surat kabar Medan Moeslimin pimpinan Haji Misbach koleksi Indra Prayana. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)

Baca Juga: MEMOAR BUKU #7: Memanen Kenangan Cihampelas dalam Sebuah Buku yang Tidak Diperdagangkan
MEMOAR BUKU #8: Sikap Otodidak Serta Konsistensi dalam Buku-buku Ajip Rosidi
MEMOAR BUKU #9: Buku Sukarno Pertama yang Dibeli, Mentjapai Indonesia Merdeka

Misbach dan Medan Moeslimin

Haji Muhammad Misbach dilahirkan di Kauman Solo pada tahun 1876 dari kalangan keluarga pedagang batik yang mentereng. Nama kecilnya Ahmad dan sempat berganti Darmodiprono, hingga nama Muhammad Misbach digunakan sepulangnya melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Setelah dewasa ia sempat aktif di organisasi TKNM (Tentara Kandjeng Nabi Muhammad) sebagai donatur, mulai juga menunjukkan minatnya pada dunia intelektualitas dengan bergabung ke IJB (Inlandsche Journalisten Bond), sebuah organisasi jurnalis pertama di Hindia Belanda yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914.

Sikapnya yang kritis dan keras terhadap kolonialisme mendorong Misbach menerbitkan surat kabar sendiri sebagai corong yang akan menyampaikan prinsip dan keyakinannya kepada publik. Dan pada tanggal 15 Januari 1915, surat kabar Medan Moeslimin terbit untuk pertama kalinya. Dengan taglineSoerat Chabar Boelanan Djawa dan Melajoe dikaloerken oleh H.M. Misbach & M. Sastrositojo, Terbit saben tanggal 15 boelan Ollanda”. Sedangkan alamat Redactie dan Administratie berada di Kaoeman Solo.

Melalui Medan Moeslimin ini Misbach mulai banyak menulis tentang Islam dan komunisme. Menurutnya Islam sebagai agama progresif selaras dengan komunisme, sehingga Misbach memadukan keduanya untuk menjawab persoalan-persoalan rakyat dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Menarik apa yang ditulis Misbach dalam artikelnya berjudul “Nasehat” yang dimuat dalam Medan Moeslimin edisi 1 April 1926, isinya terkait pandangannya tentang Islam dan komunisme. Berikut sedikit kutipannya : “Hai sodara-sodara, Ketahoeuilah! Saja seorang jang mengakoe setia pada agama, dan masoek dalam lapang pergerakan kommunist, dan saja mengakoe djoega bahoea tambah terbukanja fikiran saja dilapang kebenaran atas perintah agama islam itoe. Tidak lain jalah dari sesoedah saja mempeladjari ilmoe komunisme. Sesoedah saja mendapat pengetahuan jang demikian itoe, dalam hati saja selaloe berfikir-fikir tentang berhoeboengannja dengan fatsal agama”. 

Tulisan itu seakan menegaskan bahwa Misbach percaya bahwa Islam dan komunisme itu sejalan sebagai satu kekuatan untuk menghantam kapitalisme, ia menerapkan cita- cita marxisme ke dalam ayat-ayat Al-Qur’an sedemikian fasih. Menurutnya, “Orang yang mengaku dirinya Islam tetapi tidak setuju dengan komunisme, saya berani mengatakan ia bukanlah seorang Islam sejati.” Sehingga tidak heran bila saat itu banyak orang menilai Misbach seorang marxisme yang menggunakan Islam sebagai alat perjuangan, sekaligus juga sebagai pejuang Islam yang menggunakan bahasa Marxisme.

Sebenarnya selain di surat kabar Medan Moeslimin, Misbach juga banyak menulis di surat kabar Islam Bergerak yang didirikannya pada tahun 1917. Tema yang diangkat tidak hanya di seputar peranan agama dalam kancah pergerakan, tetapi Misbach juga mengkritik organisasi-organisasi berlabel agama tetapi tidak tegas terhadap kaum penjajah. Kekecewaan terhadap organisasi Islam seperti itu juga yang mendorongnya untuk keluar dari Muhammadiyah pada tahun 1922, dan mulai aktif menjadi propagandis kiri saat partai komunis dicetuskan pada Mei 1923.

Pilihan Misbach untuk bergabung dengan Partai Komunis Indonesia semakin menunjukkan kekuatan tekadnya sebagai penentang kolonialisme dan kapitalisme. Misbach menganggap PKI sebagai wadah perjuangan yang sesuai dengan cita-citanya. Di samping itu, ia berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islam yang ada pada saat itu umumnya tidak dapat menampung aspirasi dan memperjuangkan keadilan untuk rakyat jelata. Organisasi Islam, terutama SI Tjokroaminoto dan Muhammadiyah, waktu itu dianggap mandul dan bersikap kooperatif dengan pemerintah. Justru organisasi komunislah yang mampu bersikap radikal dan anti kooperatif dengan pemerintah kolonial. (Nor Hiqmah, 2008 : 5)             

Sikap politiknya yang non kooperatif dan revolusioner itulah yang membawanya ke tanah pembuangan di Manokwari, dan pada tanggal 24 Mei 1926 Misbach dinyatakan meninggal dunia karena terserang penyakit wabah malaria. Nama dan cita-citanya terkubur, tetapi Misbach telah membuktikan bahwa ajaran agama tidaklah terserabut dari akar sosialnya bila esensi dari ajaran agama itu mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat.

Membaca buku kisah H.M. Misbach ini seakan menginstal kembali cara beragama atau cara berislam kita. Saya sendiri termasuk yang meyakini bahwa beberapa nilai-nilai Islam memiliki persamaan dengan komunisme. Sebagaimana sedikit uraian di atas bahwa Islam dan komunis itu mempunyai jargon yang sama yakni anti kapitalisme, anti penjajahan, melawan kemiskinan dan kebodohan.    

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//