• Berita
  • Penanganan Sampah Kota Bandung dengan Cara Dibakar Memerlukan Biaya Mahal, Selain Membahayakan Lingkungan

Penanganan Sampah Kota Bandung dengan Cara Dibakar Memerlukan Biaya Mahal, Selain Membahayakan Lingkungan

Pemkot Bandung disarankan fokus memilah sampah dengan memberdayakan komunitas alih-alih mengeluarkan biaya untuk alat bakar yang belum tentu efektif.

Petugas Sidak Panik menjemput sampah organik hasil pilahan warga di Liogenteng, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar, Bandung, 2 Oktober 2024. (Foto : Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Emi La Palau23 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Kota Bandung terus dihantui persoalan sampah. Berbagai upaya coba dilakukan, namun belum ada pengaruh yang signifikan untuk mengurangi sampah. Terbaru Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung mengatasi permasalahan sampah menggunakan Motah-6, teknologi yang diklaim sebagai inovasi yang dianggap mampu mengurangi volume sampah dengan cara dibakar.

Masalahnya, membakar sampah justru menghasilkan masalah baru, yaitu polusi udara yang berdampak tak kalah bahayanya dari pencemaran sampah itu sendiri. Selain itu, mengatasi sampah dengan alat-alat pembakaran sebagai inovasi hanya membuang-buang anggaran, dan tak efektif menyelesaikan persoalan sampah di Bandung.

Penjabat Wali Kota Bandung A Koswara mengungkapkan mesin Motah-6 mampu membakar 1 ton sampah per jam tanpa memerlukan bahan bakar tambahan. Kapasitasnya hingga 8 ton sampah per hari. Hasil pembakaran sampah ini menyisakan hanya 10 kilogram abu per ton, yang kemudian diolah menjadi bata beton.

“Upaya ini merupakan langkah penting dalam mengatasi masalah sampah di Kota Bandung. Meskipun bukan solusi akhir, Motah-6 membantu mengurangi jumlah sampah yang harus dikirim ke TPA,” ujar Koswara ketika meninjau pengoperasioan mesin sampah tersebut Minggu (20/10/2024), dalam keterangan resmi.

Abu dan asap dari pembakaran Motah-6 diklaim memenuhi standar lingkungan, dengan suhu mencapai 800 hingga 1.000 derajat celcius. Mesin ini juga dinilai telah memenuhi Standar Nasiona Indonesia (SNI) serta tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

“Ini merupakan bagian dari strategi menyeluruh. Pengelolaan sampah di hilir harus didukung oleh pemilahan yang baik di hulu,” ungkap Koswara.

Pemkot Bandung juga tengah menjajaki kerja sama dengan Siam Cement Group (SCG) untuk mengolah sampah menjadi arang RDF yang akan dikirim ke pabrik semen. Selain itu, Koswara menyebut pemilahan sampah dari sumbernya sedang berjalan. Volume sampah yang dikirim ke TPA Sarimukti diyakini bakal menurun.

Penyelesaian Sampah Menggunakan Teknologi Aneh-aneh

Penanganan sampah yang dilakukan oleh Pemkot Bandung dinilai cenderung ramai sesaat, misalnya dengan penggunaan alat pembakaran yang diklaim sebagai inovasi padahal tidak akan efektif dalam menyelesaikan persoalan sampah.

Direktur Harian sekaligus Peneliti Program Zero Waste Cities Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) Fictor Ferdinand mengatakan, Pemkot Bandung telah mendapatkan peringatan tentang penuhnya TPA Sarimukti dari Pemprov Jabar. Padahal tahun-tahun sebelumnya, TPA Sarimukti sudah kelebihan muatan.

Piki, panggilan akrabnya, mengatakan seharusnya pengurangan sampah sudah dilakukan Pemkot Bandung sejak lama, tidak harus menunggu TPA Sarimukti overload atau peringatan pembatasan pembuangan sampah. YPBB telah mendorong solusi pemilahan dan pengolahan sampah sejak 2017. Namun, program pengolahan sampah yang dilakukan di kelurahan-kelurahan tak didukung oleh pemerintah. Dari 151 kelurahan di Kota Bandung masih banyak yang tidak melakukan pemilahan.

Padahal pemilahan di level-level keluragan akan efektif mengurangi sampah sampai 60 persen jika didukung oleh pemerintah. Saat ini saja, tanpa aturan pemerintah penyelesaian sampah di kelurahan dampingan YPBB bisa sampai 40 persen mengurangi sampah organik. Sampah organik sendiri merupakan permasalahan utama karena jumlahnya paling besar dibandingkan sampah-sampah jenis lainnya.

“Masalahnya mereka mikir yang kayak gitu tuh lama ya, pemilahan mah lama. Lama kalau ngak disupport sama pemerintah gitu loh. Tapi kalau misalnya disupport bakal lebih cepat gitu kan,” ungkap Piki, melalui sambungan telepon kepada BandungBergerak.id, Selasa, 22 Oktober 2024.

Menurut Piki, penanganan sampah menggunakan metode pembakaran Motah ataupun RDF yang dibakar memerlukan banyak biaya operasional. Meski Motah diklaim tidak menggunakan bahan bakar, tetap saja ada listrik yang digunakan karena alat ini tidak mungkin menyala sendiri. Pembakaran sampah juga tidak akan efektif karena karakteristik sampah Kota Bandung 60 sampai 70 persennya sampah basah atau organik.

Di sisi lain, pemerintah tidak punya biaya operasional yang begitu besar untuk menggunakan alat-alat tersebut. Pemerintah seharusnya mengaktifkan komunitas-komunitas sehingga bisa sekalian bisa membuka lapangan pekerjaan. Contohnya, pemerintah bisa mendorong pengomposan dan budidaya maggot di skala komunitas.

Namun, penanganan sampah Kota Bandung cenderung tidak konsisten dan campur aduk. Arah pengelolaan sampah tidak jelas.

“Jadi ngeliat oh teknologi ini gagal, bikin lagi yang baru, jadi kayak, campur-campur gitu, kalau kita nyebutnya kebijakan gado-gado. Tambahin ini tambahin itu, ngak konsisten di satu di satu jalan dulu gitu,” kata Piki.

Baca Juga: Data Sebaran TPS di Kota Bandung serta Jumlah Sampah yang Masuk dan Diangkut per Harinya Tahun 2016: Sampah akan Menggunung Apabila Pengangkutan Tersendat
Tiga Tahun Oded-Yana, Berkutat dengan Bom Waktu Sampah
Sampah Sungai Ciliwung tak Habis-habisnya

Petugas Sidak Panik menjemput sampah organik hasil pilahan warga di Liogenteng, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar, Bandung, 2 Oktober 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Petugas Sidak Panik menjemput sampah organik hasil pilahan warga di Liogenteng, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar, Bandung, 2 Oktober 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Hanya Membuang-buang Anggaran

Berdasarkan e-katalog, Motah Incinerator dibanderol 1.300.000.000 rupiah. Menurut Piki, dengan kapasitas pembakaran sampah hanya 8 ton per hari atau sekitar dua rit pengangkutan ke TPA Sarimukti, jumlah ini tentu sangat sedikit dibanding dengan penghasilan sampah di Kota Bandung yang sampai 100 rit lebih per hari.

“Jadi, itu terlalu kecil. Jadi ini kayak mulai investasi baru lagi. Padahal investasi sebelumnya jadi gak kepake ya gimana. Udah ada rumah maggot terus sampahnya dibakar, terus teman-teman yang di rumah maggot itu gimana, kebagian sampah orgaik apa ngak nih,” kata Piki.

Dengan kata lain, penggunaan peralatan pembakaran sampah yang dilakukan Pemkot Bandung hanya pemborosan anggaran. Sementara program lain yang sudah ada, seperti rumah maggot dan lain-lain, belum tentu sinkron dengan metode pembakaran sampah ini.

Pengelolaan sampah dengan cara dibakar juga berdampak buruk terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi (polusi). Motah merupakan sejenis insinerator yang seharusnya memiliki banyak fitur, mulai dari filter asap, pengatur suhu, dan lain-lain. Bagaimana cara mengontrol pembakaran agar tetap di atas 800 derajat celcius dan bagaimana pula kualitas dari filter-filternya, juga menjadi pertanyaan bagi Piki.

Sudah cukup banyak studi di Indonesia bahwa pembakaran sampah terbuka memiliki efek negatif ke lingkungan. Contoh di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, racun dioksin yang dihasilkan dari pembakaran sampah menyebar dan sampai masuk ke telur ayam yang dikonsumsi manusia. Artinya, gas racun hasil pembakaran akan berdampak kembali ke masyarakat sekitar.

“Dioksinnya tersimpan di telur ayam, dan itu yang dikonsumsi sama orang-orang. Kan pindah ke masyarakat. Jangan tertipu sama wah nih pembakarannya ngak ada asepnya,” ungkap Piki.

Zat dioksin dari hasil pembakaran sampah bersifat tak kasat mata dan tak tercium. Pendeteksian dioksin mesti menggunakan alat ukur tertentu. Sementara pengukuran dioksin di Indonesia dilakukan 5 tahun sekali, berdasarkan Permen LHK. “Itu pun belum tentu dilakukan lagi sama operator kecil kayak Motah ini,” katanya.

Dioksin hanya bisa diukur oleh operator skala besar. Pengukuran pun membutuhkan biaya yang mahal. Sementara lab untuk pengukuran dioksin di Indonesia belum ada.

Piki mengungkapkan, pihaknya telah sejak dulu mendorong alternatif pengelolaan sampah tanpa harus membakar. Tanpa harus mahal dan berisiko untuk masyarakat. Alih-alih menggunakan anggaran yang begitu besar untuk membeli satu alat pembakar yang tak efektif, Piki menyarankan agar pemerintah menggunakan anggaran tersebut untuk menggaji para aparat pemilah sampah sehingga pemilahan sampah di lapangan bisa lebih baik.

Pemerintah sebaiknya menggunakan anggaran tersebut untuk membangun kesadaran pemilahan sampah di level masyarakat. Masyarakat yang sudah memilah sampah diberi subsidi agar usaha mereka mendapatkan bentuk penghargaan.

“Daripada duitnya dipake buat beli insinerator 1,3 M, dibagi-bagi aja kepada petugas-petugas sampah, kasih insentif mereka untuk melakukan pengumpulan terpilah. Lebih berdampak juga kan sebenarnya,” ujarnya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Emi La Palau atau artikel-artikel lain tentang Sampah

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//