• Berita
  • Membaca Nasib Kebebasan Beragama Berkeyakinan dan Demokrasi di Bawah Kepemimpinan Prabowo-Gibran

Membaca Nasib Kebebasan Beragama Berkeyakinan dan Demokrasi di Bawah Kepemimpinan Prabowo-Gibran

Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memiliki tantangan berat dalam menegakkan demokrasi dan kebebasan beragama berkeyakinan.

Dari kiri, Dedi Mulyadi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Ridwan Kamil di Rakerda Apdesi Jawa Barat yang dihadiri para kepala desa se-Jawa Barat di GOR C-Tra Arena, Bandung, 23 November 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Emi La Palau24 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Estafet kepemimpinan nasional kini telah berpindah ke tangan Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka. Memasuki masa kepemimpinan baru ini, kelompok masyarakat sipil menyampaikan kekhawatirannya terkait masa depan demokrasi khususnya di ranah kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Kekhawatiran ini beralasan, mengingat Presiden Prabowo Subianto memiliki catatan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono mengatakan, kepemimpinan Prabowo-Gibran akan menuai tantangan dari kelompok masyarakat sipil. Pertama, sudah menjadi fakta sejarah bahwa Prabowo memiliki kaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan hingga kini.

Poin kedua, terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Pencalonan Gibran Rakabuming yang merupakan putra Jokowi diwarnai kontroversi mengakali konstitusi. “Karena, ya pemilu yang korup atau yang tidak benar juga menghasilkan penguasa yang asal-asalan,” terang Heri Pramono kepada Bandungbergerak melalui sambungan telepon, Selasa, 22 Oktober 2024.

Tantangan lainnya, menurut Heri, masyarakat sipil telah disuguhi dengan beragam peraturan yang mempersempit ruang gerak sipil sejak masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Jokowi banyak memproduksi beberapa regulasi yang tidak prorakyat.

Kabinet Merah Putih yang dipimpin Prabowo-Gibran akan menjadi eksekutor dari berbagai peraturan atau regulasi yang dibikin pada masa Jokowi. Di antaranya adalah KUHP baru dan UU ITE yang juga mengancam kebebasan sipil. Di sektor lain, ada Undang Undang Cipta Kerja yang lebih mengistimewakan investasi tanpa melihat kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat.

“Kita mengingat Prabowo dan kroni-kroninya juga memiliki beberapa perusahaan-perusahaan yang punya kepentingan meraup keuntungan. Dengan Prabowo sebagai presiden ini akan melancarkan hal tersebut,” ungkapnya.

Pembangunan ke depan diperkirakan akan lebih masif. Di saat yang sama, perebutan ruang hidup rakyat akan terus terjadi. Heri pun mempertanyakan bagaimana dampak pembangunan tersebut terhadap kesejahteraan rakyat.

Represi terhadap Ruang-ruang Kebebasan Sipil

Heri juga memprediksi bahwa ruang-ruang kebebasan sipil akan semakin menciut. Tindakan represif negara akan lebih masif mengingat Prabowo memiliki latar belakang militer di masa Orde Baru. Sepak terjangnya di dunia militer akan tetap melekat, terlebih dengan catatan pelanggaran HAM-nya di masa lalu.

Ada juga indikasi mengubur pelanggaran HAM di masa lalu melalui pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra di hari pelantikan. Ia menyatakan Tragedi 1998 bukan sebagai pelanggaran HAM. Pernyataan Yusril, kata Heri sebagai bentuk sesat pikir seorang Menko.

“Dia sebagai Menko memiliki sesat pikir. Ketika kita berbicara HAM itu tidak melihat pada masa lalu, terus 98 itu bukan pelanggaran HAM berat itu adalah sesat berpikir, yang seharusnya ya ga pantas seorang menteri bilang seperti itu. Bukan gak pantas lagi itu menjadi kualitas seorang menteri yang membidangi politik hukum dan HAM,” ucap Heri.

Baca Juga: Nirempati Yusril Ihza Mahendra Terhadap Korban Tragedi 1998
Indonesia di Bawah Prabowo-Gibran, Kabinet Gemuk Dikhawatirkan Melemahkan Semangat Oposisi dan Kritik
Menari, Perjalanan Menemukan Diri dari Sardono W. Kusumo hingga Prabowo Subianto

Awan Mendung Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Selama beberapa tahun terakhir, kasus-kasus terhadap pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) di Indonesia masih kerap terjadi. Isu KBB ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Pelanggaran terhadap KBB terjadi mulai dari akar rumput hingga ke tingkat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Bahkan pelaku kekerasan terhadap isu KBB di antaranya pemerintah sendiri.

Setara Institute rutin melakukan pemantauan pada kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia setiap tahunnya. Jawa Barat selalu menempati posisi teratas dengan jumlah kasus pelanggaran KBB terbanyak setiap tahun meski pada tahun 2022 pernah tergeser ke posisi kedua oleh Jawa Timur.

Data laporan Setara Institute menunjukkan setiap provinsi mengalami fluktuasi dalam jumlah pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan. Jawa Barat menjadi salah satu provinsi paling sering muncul dalam deretan 10 besar dengan jumlah kasus pelanggaran KBB terbanyak di Indonesia selama 10 tahun terakhir.

Pada tahun 2022 di Jawa Barat sempat terjadi penurunan kasus dari tahun sebelumnya, yakni dari 40 menjadi 25 kasus. Namun, terjadi kenaikan jumlah pelanggaran KBB yang cukup besar pada 2023. Pada 2023 Jawa Barat kembali berada pada posisi teratas dengan jumlah kasus pelanggaran KBB terbanyak, yakni 47 kasus.

Laporan Kebebasan Beragama Berkeyakinan Setara Institute 2019 menyebutkan, beberapa faktor yang menyebabkan tingginya pelanggaran KBB di Jawa Barat. Misalnya keberadaan Peraturan Gubernur Nomor 12 tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah yang menjadi pemicu kelompok-kelompok intoleran untuk memusuhi dan bersikap anti-Ahmadiyah. Ditetapkannya peraturan ini menimbulkan unjuk rasa dan pembubaran kegiatan Ahmadiyah berupa peluncuran Haqiqatul Wahy di Bandung Timur pada awal 2019.

Faktor lainnya adalah corak keislaman di Jawa Barat yang cenderung kaku dan ketat. Menurut laporan Setara Institute, Jawa Barat memiliki 27 kota dan kabupaten dengan penduduk yang heterogen dan memiliki karakteristik pemahaman keagamaan yang lebih kaku dibandingkan wilayah lain. Demikian situasi ini memerlukan kerja sama pemerintah daerah untuk mengelola dan menyikapi situasi tersebut. Produk hukum daerah yang diskriminatif dapat memperburuk situasi serta mendukung praktik intoleransi dan diskriminasi kepada kelompok rentan dan minoritas agama.

Koordinator Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) Indra Anggara merasa pesimis bahwa isu KBB di bawah Prabowo-Gibran menjadi lebih baik. Selain memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat masa lalu, Jakatarub sendiri sudah melihat janji-janji atau visi misi pasangan Prabowo-Gibran. Menurut Indra, pasangan ini tak menaruh urgensi dan perhatian terhadap isu Kebebasan Beragama Berkeyakinan.

“Mungkin nanti isu KBB tidak dilirik secara penuh, secara nyata, mungkin nanti akan menghadirkan toleransi yang semu. Artinya hanya di permukaan saja,” ungkap Indra.

Ia rahu pemerintahan saat ini akan memahami isu KBB sampai ke akar-akarnya, menyelami dinamika isu ini sampai akar rumput. Isu KBB hanya ditampilkan secara seremonial, misalnya sebatas melibatkan komunitas lintas agama di suatu acara.

Dalam catatan Jakatarub, pelaku pelanggaran isu KBB justru banyak dari kalangan pemerintah sendiri. Mulai dari kebijakan hingga perspektif para pejabat yang tidak paham isu KBB. Banyak pejabat yang tidak memiliki perspektif dan keberpihakan terhadap isu KBB. Sebaliknya, mereka sibuk menyangkal terhadap kejadian pelanggaran KBB di akar rumput.

Jakatarub dan LBH Bandung saat ini sedang mendampingi kasus KBB di Sukabumi yang pelakunya melibatkan perangkat pemerintahan daerah, mulai dari aparatur desa hingga aparat keamanan.

“Yang menjadi PR ternyata adalah perangkat desa, juga aparat justru yang melarang kegiatan beragama, ekspresi ekspresi keagamaan mereka dihalangi,” cerita Indra.

Para pejabat juga enggan mendengar suara-suara dari orang-orang muda yang memiliki konsentrasi di isu KBB. Kebanyakan anggota Jakatarub adalah orang-orang muda yang aktif menyuarakan saran dan masukan kepada pemerintah. Namun suara-suara mereka dianggap mendikte oleh pemerintah.

Bagaimana dengan peran orang muda seperti Gibran Rakabuming yang kini duduk sebagai wakil presiden? Indra tetap pesimis. Sebab, Gibran saat pencalonan telah melakukan pelanggaran konstitusi. Bahkan pelanggaran ini terang-terangan dipertontonkan ke publik.

Indra lebih optimis bahwa dengan gerakan masyarakat sipil yang tidak akan pernah padam, termasuk suara-suara orang muda dalam mengawal pemenuhan hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Itu membuat kami teman-teman di Jakatarub optimis juga. Kita tidak sendiri, kita bisa bergerak bersama. Meskipun di kebijakan bisa diubah, perspektif pemerintah dan segala macam masih kurang, terkait isu KBB. Tapi di sisi lain tadi, gerakan masyarakat sipil terus berjalan,” kata Indra.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Emi La Palau atau artikel-artikel lain tentang Prabowo Subianto

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//