Nirempati Yusril Ihza Mahendra Terhadap Korban Tragedi 1998
Usman Hamid: pernyataan Yusril Ihza Mahendra bukan hanya tidak akurat secara historis dan hukum tapi juga menunjukkan sikap nirempati pada korban Tragedi 1998.
Penulis Iman Herdiana24 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan RI menyatakan bahwa Indonesia “selama beberapa tahun terakhir tidak terjadi pelanggaran HAM berat”. Peristiwa kerusuhan 98 dianggapnya bukan pelanggaran HAM berat.
Pernyataan kontroversial tersebut disampaikan Yusril pada hari pelantikannya Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 21 Oktober 2024. “Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, massive killing, ethnic cleansing, tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya, pada waktu awal perang kemerdekaan. Tapi dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Yusril, sebagaimana dikutip Amnesty Internasional Indonesia, diakses Kamis, 23 Oktober 2024.
“98 enggak termasuk?” tanya wartawan. Yusril menjawab, “Enggak.”
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pernyataan Menko Yusril keliru dan menyalahi aturan hukum yang benar. Usman menilai, tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia. Apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM.
Pernyataan Yustril sekaligus tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
“Pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity. Jadi pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis.
Apalagi menurut hukum internasional, setidaknya ada empat kejahatan paling serius yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma
Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut sudah diserahkan ke Jaksa Agung. Ini sudah menjadi fakta awal hukum yang tidak bisa dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil. Setidaknya oleh pengadilan ad hoc yang memeriksa pelanggaran HAM yang berat masa lalu tersebut. Sayangnya tak kunjung ada usul DPR dan keputusan Presiden, sesuai Pasal 43 UU Pengadilan HAM.
“Pernyataan Yusril itu bukan hanya tidak akurat secara historis dan hukum tapi juga menunjukkan sikap nirempati pada korban yang mengalami peristiwa maupun yang bertahun-tahun mendesak negara agar menegakkan hukum. Tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa pada saat itu,” lanjut Usman Hamid.
Terlebih pernyataan Yusril disampaikan pada hari kerja pertamanya sebagai Menko. Ini sinyal pemerintahan baru yang mengaburkan tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Pemerintahan yang lama juga telah pernah menyangkal, meski akhirnya mau mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat, termasuk Tragedi Mei 98.
Sebelumnya, Joko Widodo (Jokowi) ketika menjabat Presiden menyatakan bahwa negara telah melakukan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Pernyataan ini disampaikan setelah pemerintah membaca laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi, dikutip dari pernyataan pers, Rabu, 11 Januari 2023.
Jokowi menyampaikan penyesalannya atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ada 11 kasus yang dirinci presiden, mulai dari Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998; Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999; Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.
Jokowi menyatakan, menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
“Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang. Dan, saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik,” kata Jokowi, dalam pernyataan resmi.
Pihak yang Berwenang Menyatakan Pelanggaran HAM
Usman Hamid menjelaskan, lembaga yang berwenang menyatakan pelanggaran HAM pada suatu kasus adalah Komnas HAM dan pengadilan HAM, bukan Presiden, apalagi menteri.
“Kewenangan penentuan apakah sebuah peristiwa menurut sifat dan lingkupnya tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang, bukan oleh presiden apalagi menteri. Tapi pengadilan HAM, setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM. Komnas pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 98, hingga tuntas,” papar Usman Hamid.
Amnesty Internasional Indonesia mencatat, peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 merupakan tragedi nasional yang sangat menyedihkan dan tercela bagi martabat serta kehormatan manusia, bangsa, dan negara secara keseluruhan.
Pada 23 Juli 1998, Presiden Republik Indonesia B. J. Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang beranggotakan 17 orang dari gabungan unsur Pemerintah, Komnas HAM, dan ormas-ormas lainnya. Dari proses pengumpulan data dan bukti selama tiga bulan, TGPF merilis Laporan Akhir pada 23 Oktober 1998.
Terkait jumlah korban kerusuhan, dalam ringkasan eksekutif laporannya, TGPF menyatakan sulit ditemukan angka pasti jumlah korban dan kerugian. Namun dalam laporan tersebut, TGPF memaparkan data yang beragam.
Untuk jumlah korban jiwa di Jakarta, TGPF mengungkapkan data versi Tim Relawan yaitu jumlah korban meninggal setidaknya 1.217 jiwa (1.190 akibat terbakar atau dibakar dan 27 lainnya terbakar akibat senjata atau penyebab lainnya), dan 91 luka-luka; sedangkan di kota-kota di luar Jakarta, 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.
Laporan TGPF juga mengungkapkan data jumlah korban versi Polda Metro Jaya, yaitu 451 orang meninggal di Jakarta dengan korban luka-luka tidak tercatat, sedangkan data korban di luar Jakarta tercatat 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar.
Sedangkan data korban versi Kodam Jaya di Jakarta, yaitu 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, dan 69 orang luka-luka. Data versi Pemda DKI Jakarta, korban meninggal dunia 288 jiwa, dan luka-luka 101 orang.
Laporan TGPF juga mencatat bahwa terdapat perbedaan jumlah korban jiwa antara yang ditemukan tim dengan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini dikarenakan begitu banyak korban yang telah dievakuasi sendiri oleh masyarakat, sebelum ada evakuasi resmi dari pemerintah. Korban-korban ini tidak tercatat dalam laporan resmi pemerintah.
Terkait kekerasan seksual, laporan TGPF memaparkan bahwa 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 menjadi korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang menjadi korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang menjadi korban pelecehan seksual. Sebagian besar korban kekerasan seksual dialami oleh perempuan dari etnis Tionghoa. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.
Laporan TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, salah satu yang ditindaklanjuti adalah Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro-Justicia dugaan pelanggaran HAM yang berat atas Tragedi Mei. Pada 2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tragedi Mei sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM.
Pengertian pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut penjelasan Pasal 104 ayat 1 UU HAM adalah “pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
Pengertian pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 7 UU No. 26/2000 Tentang Pengadilan HAM meliputi : a) kejahatan genosida; b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pelapor Khusus PBB untuk kebenaran, keadilan, dan reparasi telah menyatakan bahwa kewajiban negara untuk menginvestigasi dan menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kewajiban yang ditegaskan dalam hukum kebiasaan internasional. Komite HAM PBB juga menyatakan bahwa kewajiban tersebut merupakan turunan dari hak atas ganti rugi yang efektif (effective remedy) dalam Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Baca Juga: Catatan Seperempat Abad Reformasi
Mahasiswa Bandung: Pengesahan RUU TNI dan RUU Polri Menjauhkan Cita-cita Reformasi
Pameran Arsip Virtual UGM, Zaman Pelonco Dokter sampai Demonstrasi Reformasi 1998
Melibatkan Pelbagai Institusi Negara
Dalam webinar “22 Tahun: Memaknai Tragedi Mei 98”, 15 Mei 2020, Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al-Rahab menyampaikan, Komnas HAM setidaknya telah menyelesaikan penyelidikan terhadap 15 dugaan Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu, termasuk Peristiwa Mei 1998. Bukti awal yang cukup yang merupakan hasil penyelidikan yang telah ditemukan oleh Komnas HAM dan diserahkan kepada Jaksa Agung sejak 2003.
“Namun hingga kini berkas penyelidikan tersebut masih mondar mandir bagai bola pingpong. Hal ini tidak lain karena pengungkapan terhadap pelanggaran HAM, dilakukan oleh lebih dari satu lembaga negara. Proses menjadi mandeg karena apa yang sudah diselesaikan oleh Komnas HAM tidak ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung,” katanya, diakses dari laman Komnas HAM.
Sementara itu, menurut buku laporan “Seri Dokumen Kunci Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998” (Publikasi Komnas Perempuan bekerja sama dengan New Zealand Official Development Assistance), selama ini ada kecenderungan memandang Tragedi 1998 memusatkan perhatian pada korban akibat kekerasan seksual. Padahal, selain korban kekerasan seksual juga banyak korban-korban lainnya yang ditemukan tim pencari fakta.
“Fakta menunjukkan bahwa yang disebut korban dalam kerusuhan Mei 1998 adalah orang-orang yang telah menderita secara fisik dan psikis karena hal-hal berikut, yaitu; kerugian fisik/material (rumah atau tempat usaha dirusak atau dibakar dan hartanya dijarah), meninggal dunia saat terjadinya kerusuhan karena berbagai sebab (terbakar,
tertembak, teraniaya dan lainJain), kehilangan pekerjaan, penganiayaan, penculikan, dan menjadi sasaran tindak kekerasan seksual,” demikian temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
*Kawan-kawan yang baik silakan menengok artikel-artikel lainnya tentang Pelanggaran HAM Berat