Apa Kabar Kasus Pembunuhan Munir? Komnas HAM Didesak Menetapkan Kejahatan HAM Berat
Kasus pembunuhan Munir akan segera masuk masa kedaluarsa jika tidak ditetapkan sebagai kejahatan HAM berat oleh Komnas HAM.
Penulis Iman Herdiana3 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Tanggal 19 Mei lalu, Komnas HAM menyatakan akan mengumumkan hasil pendalaman dan kajian penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat dalam dua bulan. Dua bulan telah berlalu. Penyelidikan kasus pembunuhan pejuang HAM yang berlangsung 7 September 2004, hingga kini belum menemukan titik kepastian.
“Ini masuk ke penyelidikan pakai UU 26 atau tidak, nanti akan diputuskan, semoga dalam dua bulan ini itu beres. Saya tahu detail kasus ini. Saya tahu detail konsep HAM, dan itu potensial sekali [menjadi pelanggaran HAM berat]”, kata Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM, pada 19 Mei 2022, dikutip dari Instagram KontraS, Rabu (3/8/2022).
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan pada Selasa (3/8/2022), Komnas HAM menggelar Sidang Paripurna antarkomisioner. Di Bandung, pegiat HAM menegaskan, Komnas HAM penting melakukan penetapan pelanggaran HAM berat pada kasus Munir yang akan menjadi awal perjuangan baru untuk penyelidikan selanjutnya.
“Melalui Sidang Paripurna, Komnas HAM harus menetapkan Kasus Munir sebagai pelanggaran HAM Berat!” demikian pernyataan KontraS.
Babak Baru Pelanggaran HAM Berat Kasus Munir
Wisnu Prima, Staff Riset dan Kampanye LBH Bandung, mengatakan proses pengungkapan kasus pembunuhan Munir telah berlangsung berlarut-larut. Sekarang, kasus ini telah masuk pada tahun ke-18.
Status pembunuhan Munir selama ini tidak jauh berbeda dengan pembunuhan biasa sehingga bisa memasuki tahap kedaluarsa, yaitu melampaui 18 tahun pascapemrosesan hukum.
“Kalau konteks pelanggaran HAM berat, pidana khusus, persyaratan kedaluarsa dan lain-lainnya yang ada pada pidana biasa, bisa dilampaui karena konteksnya pidana khusus,” kata Wisnu Prima, saat dihubungi BandungBergerak.id.
Artinya, penetapan pelanggaran HAM berat pada kasus Munir penting agar kasusnya tidak pernah kedaluarsa. Menurut Wisnu, jika nantinya kasus Munir ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, bukan berarti perjuangan selesai.
“Tantangannya, setelah HAM berat kemudian penegakan hukumnya,” kata Wisnu Prima.
Kasus pelanggaran HAM berat diadili dengan pengadilan ad hoc. Begitu juga untuk kasus Munir nantinya. Tetapi hal ini memiliki kendala tersendiri. Wisnu mengatakan, dari 17 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, baru dua kasus saja yang masuk peradilan HAM ad hoc, yakni kasus Tanjungpriok dan Timor Leste.
Maka dari itu, Wisnu menegaskan bahwa kasus Munir sebagai babak baru bagi perjuangan penegakan HAM di Indonesia. Penetapan sebagai kasus pelanggaran HAM berat sekaligus sebagai jaminan bagi para pegiat HAM setelah Munir. Selama ini, para pegiat HAM yang melakukan pendampingan pada kasus-kasus HAM di masyarakat kurang mendapat perlindungan dari negara.
“Bagi saya sendiri yang secara personal aktif di LBH Bandung, jadi memunculkan tidak ada jaminan untuk mengerjakan kerja-kerja pembela HAM khususnya di masyarakat,” katanya.
Wisnu mengingatkan bahwa kasus Munir tidak bisa hanya melihat peristiwa pembunahannya. Ada konteks penting yang melatarbelakanginya, yakni dugaan keterlibatan negara.
“Masalah [konteks] apa yang Munir dampingi sampai dia harus dibunuh. Dari banyak kasus [yang Munir dampingi] erat kaitannya dengan konflik militer,” katanya.
Baca Juga: Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti Tersangka Pencemaran Nama Baik Luhut Binsar Panjaitan
Catatan YLBHI Terkait Narasi Presisi Polri dan Langgengnya Pelanggaran HAM
Tiga Beasiswa dari STH Indonesia Jentera bagi Pegiat HAM
Kalangan Akademik Berbicara Kasus Munir
Kalangan akademik menilai bahwa kasus Munir merupakan pelanggaran HAM berat. Mereka menilai kasus pembunuhan Munir disusun secara sistematis dan melibatkan aparatur negara.
“Jangan perlakukan ini sebagai kasus pembunuhan yang tidak ada konteks. Sejatinya pembunuhan berencana terhadap Munir dengan segala kemufakatan jahatnya adalah pelanggaran HAM berat,” kata Bivitri Susanti, akademisi STHI Jentera.
“Kasus pembunuhan Munir bukan sekadar peristiwa pembunuhannya, ada elemen widespread dan systemic attack. Sistematik karena terencana, ada struktur kekuasaan yang bekerja dan purposive. Meluas karena di-set minimum untuk memastikan bahwa sekalipun korbannya sedikit tapi dihasilkan dari proses yang sistematis,” kata Herlambang W, FH UGM.
“Pembunuhan Munir itu bukan hal yang sederhana. Sangat terlihat pelanggaran HAM beratnya. Apalagi dilakukan secara sistematis dan melibatkan unsur negara sebagai pelaku. Hingga saat ini, sangat terlihat ketiadaan kemampuan dan kemauan negara untuk menyelesaikannya dengan mekanisme yang ada. Tagihan ke negara menjadi berat dan karenanya harus ada upaya negara untuk menerobos ketiadaaan penyelesaian tersebut,” kata Zainal Arifin M, FH UGM.
Pejuang HAM, Munir, meninggal diracun saat penerbangan dengan pesawat Garuda GA-974 menuju Amsterdam, Belanda. Pada 7 September 2004, kabar kematian Munir sudah merebak di tanah air. Dalam kasus ini, pengadilan telah memutuskan kru Garuda, Polly Carpus Budihari Priyanto, sebagai terpidana. Namun hingga kini negara belum bisa mengungkap sosok-sosok yang memerintahkan Polly Carpus Budihari Priyanto.