Pernyataan Yusril Ihza Mahendra Menuai Kritik Pedas dari Aktivis Bandung
Aktivis menuntut klarifikasi dan permintaan maaf kepada Yusril Ihza Mahendra. Komnas HAM menyatakan pelanggaran HAM terjadi di Tragedi 1998.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah26 Oktober 2024
BandungBergerak.id - Di hari pelantikannya sebagai bagian dari Kabinet Merah Putih, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenkumham) Yusril Ihza Mahendra langsung menuai kontroversi karena menyebut tragedi 1998 bukanlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Belakangan, Yusril mengklarifikasinya.
Namun, pernyataan Yusril sudah terlanjur memancing polemik publik, termasuk aktivis prodemokrasi. Pegiat Aksi Kamisan Bandung Fay mengatakan, publik mesti kritis supaya tidak mendukung atau menormalisasi pernyataan pemerintah.
“Kita harus tetap harus terus bersuara dengan berbagai cara, menggalang dukungan dan mendesak negara agar melakukan tugasnya sebagai pemegang tanggung jawab HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai pelanggaran berat HAM secara yudisial,” kata Fay, dihubungi BandungBergerak, Kamis, 24 Oktober 2024.
Pernyataan tegas juga disampaikan aktivis 1998 yang tergabung dalam Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) Bandung Lukman Nurhakim. Ia menyebut pernyataan Yusril sebagai bentuk kecerobohan. Terlebih Yusril merupakan bagian dari pemerintahan baru yang memiliki kewajiban menyelesaikan pelanggaran HAM tragedi 1998.
Lukman menyebut pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming untuk segera mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Menurutnya, keluarga korban juga masih ada, maka pengakuan dari pemerintah amat penting.
“Bahwa dia adalah bagian dari rezim pelanggaran HAM, apa pun itu jawabannya baik itu tugas atau perintah,” ungkap Lukman.
Sebelum Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Raka terpilih, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis Catatan Kritis: Figur di Balik Pelanggaran HAM pada Tim Sukses dan Relawan Masing-Masing Calon Presiden.
KontraS menyebut Prabowo Subianto memiliki catatan atas sejumlah pelanggaran HAM berat di masa kekuasaan Presiden Suharto. Waktu itu Prabowo menjabat sebagai Danjen Kopassus (1995-1998) dan Pangkostrad.
“(Prabowo) ia dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab pada kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998 yang mengakibatkan 13 orang korban masih hilang dan belum diketahui keberadaannya,” demikian tulis KontraS, diakses, Jumat, 25 Oktober 2024.
Keterlibatan Prabowo pada kasus penghilangan paksa, menurut KontraS telah diafirmasi berdasarkan Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira No: KEP/03/VIII/1998/DKP tanggal 21 Agustus 1998 yang memutuskan untuk memberhentikan Prabowo Subianto sebagai Letnan Jenderal TNI.
KontraS menyatakan, dalam surat keputusan tersebut Prabowo terbukti memerintahkan melakukan penculikan terhadap aktivis pada 1997-1998 secara sewenang-wenang. Akan tetapi, sampai saat ini Prabowo belum mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pengadilan.
Dalam visi misi Prabowo-Gibran saat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 lalu, pasangan ini memiliki program kerja yang terkomplikasi dengan sebutan Asta Cita: “Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi dan HAM”.
Visi tersebut termuat di urutan pertama di halaman 39 dalam lembar Asta Cita setebal 88 halaman. Akan tetapi, dalam butir-butir poin tentang HAM, tidak ada satu pun memuat isu mengenai penyelesaian pelanggaran HAM berat.
KontraS menilai Asta Cita tidak serius untuk menuntaskan pelanggaran berat HAM. Ditambah, pernyataan Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini yang semakin melukai hati para korban yang selama bertahun-tahun memperjuangkan pemenuhan haknya.
“Kami sadar bahwa di bawah pemerintahan Presiden saat ini, penegakan hukum akan nyaris mustahil. Namun, kebenaran dan hak atas keadilan tidak bisa disembunyikan. Negara boleh jengah dan lengah, biar korban, keluarganya, generasi masa depan menjadi penegaknya,” kata KontraS diakses, Jumat 25 Oktober 2024.
KontraS mendesak Yusril untuk meminta maaf terkhusus pada korban sekaligus menarik pernyataannya. Ketiadaan genosida ataupun pembersihan etnis, sebagaimana didalihkan Yusril, bukan berarti tidak ada pelanggaran HAM di Tragedi 1998.
KontraS menegaskan, pejabat pemerintahan mana pun seharusnya tidak menyampaikan pernyataan yang memanipulasi kebenaran dan bertentangan dengan prinsip HAM, apalagi menyakiti perasaan korban.
Yusril sendiri dalam keterangan terbaru mengatakan, pemerintah akan mengkaji kembali mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu. Termasuk apa saja yang diserahkan oleh tim-tim yang dibentuk oleh pemerintah pada masa sebelumnya dan rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM.
Komnas HAM angkat bicara soal polemik ini dengan merekomendasikan sejumlah Agenda Hak Asasi Manusia Bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran dalam Keterangan Pers Nomor: 62/HM.00/X/2024 salah satunya Pemenuhan hak korban pelanggaran HAM yang Berat (PHB).
Sebelumnya, pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menerima laporan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan mengakui sejumlah 12 kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya Tragedi Mei 1998.
Komnas HAM menyebut, pemerintah berkomitmen melakukan langkah pemulihan dan pencegahan keberulangan mengenai peristiwa di masa lalu dan menindaklanjuti komitmen tersebut.
“Program-program pemulihan, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan pemulihan hak warga negara, telah dilakukan tetapi masih jauh dari jumlah korban ada telah diidentifikasi Komnas HAM,” demikian kata Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro diakses, Jumat, 25 Oktober 2024.
Komnas HAM juga meminta pemerintah untuk mengembangkan upaya-upaya pencegahan atas pengalaman di masa lalu . Untuk itu, penting bagi pemerintah melanjutkan program pemulihan dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat secara komprehensif dan keberlanjutan.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM juga belum mendapatkan kepastian tindak lanjut. Oleh karenanya, pemerintah perlu memfasilitasi upaya-upaya memberikan kepastian terhadap status pelanggaran HAM berat.
Baca Juga:Film Eksil, Putusnya Generasi Intelektual di Indonesia
Gen Z di Bandung Menyelami Sejarah Tragedi 1965 Melalui Nobar Film Eksil
Membicarakan Kekaburan Sejarah Tragedi 1965 dengan Penyintas, Merawat Ingatan dengan Nobar Film Eksil
Klarifikasi dari Yusril
Setelah ramai menuai prokontra, Yusril mengklarifikasi pernyataannya soal tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM.
“Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya. Apakah terkait dengan genocide atau ethnic cleansing (penghapusan etnis)? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu itu,” ujar Yusril. sebagaimana dikutip dari bbc.com, Jumat, 25 Oktober 2024.
Dalam Kabinet Merah Putih ini, Yusril memiliki tugas mengkoordinir tiga kementerian yaitu Kementerian Hukum, Kementerian HAM, serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
“Dengan pemisahan menjadi beberapa kementerian ini, mudah-mudahan pekerjaan kita lebih fokus, lebih tajam program-program yang kita lakukan, dan tentu dengan pencapaian yang optimal yang kita harapkan bersama,” ujar Yusril sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemenkumham.
Kemenkumham memiliki tugas di antaranya berkaitan dengan administrasi hukum umum, kekayaan intelektual, imigrasi, pemasyarakatan, pembinaan hukum, pengembangan sumber daya manusia, strategi kebijakan umum, dan HAM.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Hak Asasi Manusia