• Opini
  • Menyelami Konsep Teologi Revolusioner Hassan Hanafi

Menyelami Konsep Teologi Revolusioner Hassan Hanafi

Pemikiran Hassan Hanafi tentang teologi revolusioner tidak dapat dipisahkan dari realitas Mesir kontemporer. Upaya untuk melepaskan agama dari kooptasi kekuasaan.

Irfan Limbong

Bisa diajak ngobrol tentang puisi esai sambil ngopi, walau tidak merokok. Sedang menyantri di Ndalem Wongsorogo.

Ilustrasi ilmuwan dan pemikir Islam abad pertengahan. (Foto: Wikimedia Commons)

28 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Islam, sebagai fenomena sejarah, mengalami masa kejayaan yang bersamaan dengan pertumbuhan disiplin ilmu lainnya. Pada masa tersebut, teologi Islam berkembang hingga mencakup persoalan-persoalan filosofis, yang mengarah pada munculnya arus rasionalitas dalam Islam. Para teolog Islam pada periode ini memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan melalui pengembangan semangat rasionalitas. Bahkan, pada puncak pembahasan teologis dalam Islam, banyak teolog yang memperoleh posisi terhormat dalam pemerintahan karena penguasa memberikan dukungan dan fasilitas bagi ilmuwan untuk mengembangkan pengetahuan mereka secara luas. Pengalaman ini mengajarkan bahwa dukungan dari penguasa sangat penting untuk meningkatkan martabat dan kekayaan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks tersebut, umat Islam pernah mencatat prestasi besar dalam sejarah peradaban dan perkembangan kebudayaan. Pada periode itu, peradaban Islam tampak mendominasi dunia dengan cemerlang, dengan ilmu pengetahuan berkembang pesat dalam bidang agama maupun kebudayaan. Kejayaan ini tidak terlepas dari pengaruh doktrin teologis yang mendorong umat Islam untuk memaksimalkan potensi penalaran mereka.

Namun, kejayaan peradaban Islam ini tidak dapat dipertahankan pada periode berikutnya, yaitu masa pertengahan, di mana secara sosiologis Islam kurang memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan. Sikap dan pemikiran yang stagnan menyebabkan umat Islam tertinggal dalam persaingan dengan peradaban lainnya pada zaman pertengahan, dan dalam beberapa aspek, keadaan ini bahkan masih berlanjut hingga saat ini.

Berbagai analisis dari tokoh-tokoh Islam dengan keahlian spesifik telah mencoba mengidentifikasi penyebab kemunduran peradaban Islam. Secara normatif, kita sering diajarkan bahwa “Islam adalah agama yang paling tinggi dan tidak ada yang melampauinya.” Harun Nasution mengaitkan kemunduran ini dengan kecenderungan umat Islam yang meninggalkan sistem teologi sunnatullah yang berbasis pemikiran rasional dan ilmiah, dan beralih ke teologi yang menekankan kemutlakan Tuhan (fatalisme). Ketertinggalan peradaban Islam semakin tampak jelas ketika arus modernitas memasuki dunia Islam, di mana peradaban Islam tidak mampu memberikan respons kreatif terhadap tantangan modernitas.

Kegagalan dalam menghadapi tantangan modernitas ini menunjukkan bahwa banyak khazanah pemikiran Islam yang tampak seperti barang-barang arkeologis menunggu untuk dibangkitkan kembali. Fazlur Rahman menilai bahwa mempertahankan tradisi yang sudah usang dan kehilangan dinamika adalah sebuah bentuk kezaliman. Masuk dan berpartisipasi dalam abad modern bukanlah sebuah alternatif, melainkan suatu keharusan sejarah kemanusiaan. Kegelisan intelektual ini mendorong para tokoh Islam untuk memandang rekonstruksi khazanah keilmuan Islam, termasuk teologi, sebagai langkah yang tidak bisa ditunda.

Muhammad ‘Abed al-Jabiri berpendapat bahwa kebangkitan Islam (al Nahdah al-Islamiyyah) harus dimulai dengan keberanian untuk merekonstruksi tradisi (al-turath) agar dapat memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan umat manusia. Tradisi harus dipahami tidak hanya sebagai sisa-sisa masa lalu, tetapi sebagai bagian yang menyatu dengan masa kini dan cara berpikir umat Islam. Dengan demikian, tradisi bukan hanya yang tertulis dalam buku-buku sejarah, tetapi juga merupakan realitas kekinian umat Islam itu sendiri.

Realitas kekinian umat Islam yang sering mengalami marginalisasi dalam peradaban memicu kebutuhan untuk menilai kembali tradisi dan doktrin teologis yang membentuk cara berpikir kita. Sebagai hasil dari proses sejarah, kita perlu secara akademis dan argumentatif mengemukakan anomali-anomali dalam teologi klasik. Beberapa pemikir telah berupaya meluncurkan karya-karya mengenai rekayasa teologis revolusioner yang diharapkan dapat mengembalikan kejayaan peradaban Islam. Di antaranya adalah Hassan Hanafi dengan konsep al-Yasar Islami, Ziaul Haque dengan "Revelation and Revolution in Islam”, Asghar Ali Engineer dengan "Islam and Liberation Theology," dan Majid Khadduri dengan "The Islamic Conception of Justice."

Hassan Hanafi, dalam karyanya "al-Yasar Islami”, mengusulkan empat langkah utama: revitalisasi khazanah klasik Islam (Ihya al-turats al-qadim), merespons tantangan peradaban Barat (tahadda al-hadarah al-gharbiyyah), mencari unsur-unsur revolusioner dalam agama (min al-din ila al-tsaurah), dan menciptakan integritas nasional Islam (wihdah al-wathaniyyah al-Islamiyyah). Menurut Hanafi, masalah mendasar dalam teologi klasik adalah bahwa teologi terlalu berorientasi pada wacana teoritis dan sering terpisah dari praktik nyata. Akibatnya, nilai-nilai moral yang terkandung dalam teks ilahi menjadi sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Upaya Hassan Hanafi dalam merumuskan sebuah model teologis yang revolusioner sebenarnya merupakan sebuah keharusan, karena sejak kedatangan Islam, agama ini telah secara bijaksana melakukan revolusi, mengubah model kehidupan masyarakat jahiliyyah menjadi kehidupan Islamiyyah. Namun, seiring dengan perkembangan sejarah, semangat revolusioner ini mengalami penyusutan dalam pola pikir yang didasarkan pada subjektivitas dan kepentingan kelompok atau individu tertentu. Oleh karena itu, telaah mengenai konstruksi teologi revolusioner yang diajukan oleh Hassan Hanafi merupakan sebuah penelusuran yang sangat menarik.

Baca Juga: Pemikiran Modernisme Islam Muhammad Abduh dan Pengaruhnya di Indonesia
Epistemologi Islam Pembebasan Hasan Hanafi
Meninjau Pemikiran Hasan Hanafi Mengenai Oksidentalisme Menjawab Invasi Budaya Barat

Hassan Hanafi dan Pusaran Sosio-kultural Pemikirannya

Hassan Hanafi lahir di Kairo, Mesir pada 13 Februari 1935 dari keluarga musisi. Ia adalah seorang teolog dan filsuf terkemuka asal Mesir yang meraih gelar sarjana muda dalam bidang filsafat dari University of Cairo pada tahun 1956. Sepuluh tahun kemudian, Hanafi memperoleh gelar doktor dari Universitas La Sorbonne di Paris. Dalam disertasi doktornya, yang berjudul "L’Exegeses de la Phénoménologie, L’état actuel de la Méthode Phénoménologique et son Application au Phénomène Religieux”, Hanafi berusaha menggabungkan ilmu Usul Fiqh (Teori Hukum Islam) dengan pendekatan filsafat fenomenologi, khususnya pemikiran Edmund Husserl. Karya setebal 900 halaman ini mendapatkan penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.

Pendidikan awal Hanafi dimulai pada tahun 1948 dengan menyelesaikan pendidikan dasar, diikuti dengan studi di Madrasah Tsanawiyah, Khalil Agha, Kairo, yang ia rampungkan dalam waktu empat tahun. Selama di Tsanawiyah, ia aktif dalam kelompok diskusi Ikhwanul Muslimin, yang membuatnya sensitif terhadap kondisi praktis umat. Keterlibatannya dengan pemikiran dan kegiatan sosial Ikhwanul Muslimin juga mendorong ketertarikannya pada pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak saat itu, Hanafi fokus pada studi tentang agama, revolusi, dan perubahan sosial, dan semangat ini sangat memengaruhi pemikirannya.

Untuk memahami lebih dalam tentang pemikiran Hassan Hanafi, penting untuk meninjau latar belakang pemikirannya. Hal ini karena terdapat pola interaksi antara pemikiran dan lingkungannya. Pemikiran muncul sebagai respons kreatif terhadap semangat zaman yang ada. Amin Abdullah menyatakan bahwa memahami pemikiran seorang tokoh harus mempertimbangkan faktor historis. Respons terhadap realitas selalu terkait dengan nilai-nilai sosial, budaya, politik praktis, dan aspek lainnya. Oleh karena itu, pemikiran tidak mungkin muncul tanpa adanya konteks.

Dalam memahami pemikiran Hassan Hanafi dan hubungannya dengan Mesir, penting untuk mempertimbangkan adanya proses komunikasi dan ekspresi antara pemikiran tersebut dan lingkungannya. Ada hubungan timbal balik antara pemikiran keislaman dan kondisi sosial yang ada. Pemikiran Hanafi berasal dari pengetahuan yang dibentuk secara sosiologis, sehingga tidak dapat dipisahkan dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan pemikiran itu sendiri.

Lebih lanjut, pandangan ini menyatakan bahwa pemikir dan pemikirannya tidak muncul dalam kekosongan sosio-kultural. Keduanya harus dipahami melalui penelusuran asal-usul, pengalaman, dan konteks sosio-kultural yang mengelilingi pemikir. Artinya, akumulasi pengalaman dan tantangan di suatu waktu dan tempat sangat mempengaruhi corak pemikiran seseorang. Oleh karena itu, pemikiran selalu mencerminkan semangat zamannya, meskipun bentuknya bisa bersifat reflektif, akomodatif, progresif, atau reaktif. Dengan demikian, pemikiran Hassan Hanafi harus dipahami dalam konteks sejarah dan tradisi yang melatarinya, serta mempertimbangkan konteks sosio-historis yang menyertai aktivitas intelektualnya.

Berdasarkan asumsi ini, untuk memahami pemikiran Hassan Hanafi secara menyeluruh, perlu dilakukan penelusuran yang mendalam mengenai kondisi umum dunia Islam dan situasi umat Islam di Mesir. Pengandaian ini penting karena sebagian besar konstruksi pemikiran Hanafi pada dasarnya merupakan respons dan solusi terhadap berbagai masalah krusial yang dihadapi umat Islam, khususnya di Mesir.

Pemikiran Hassan Hanafi tentang teologi revolusioner tidak dapat dipisahkan dari realitas dunia Arab, terutama Mesir kontemporer. Konsep Kiri Islam, sebagai salah satu momen penting dalam perjalanan intelektual Hanafi, merupakan respons sadar terhadap situasi Arab kontemporer dan berbagai pertarungan ideologis di dalamnya. Gerakan pemikiran ini dimaksudkan oleh Hanafi sebagai upaya untuk melepaskan agama dari kooptasi kekuasaan, sekaligus melakukan kritik terhadap berbagai ideologi yang berkembang di Mesir.

Pada akhir abad ke-19, situasi politik, sosial, dan intelektual di Mesir mengalami berbagai transformasi besar. Setelah Perang Dunia I, Mesir mengalami kebangkitan nasionalisme yang dipicu oleh beberapa faktor: 1. Kehadiran pasukan Inggris, Australia, dan Selandia Baru yang melukai semangat patriotisme Mesir. 2. Pembiayaan besar untuk tentara yang memiliki penghasilan tetap. 3. Penggunaan tenaga kerja Mesir oleh Inggris yang mengurangi ketersediaan buruh lokal. 4. Naskah Empat Belas Pasal Wilson dan deklarasi Inggris-Perancis yang menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Arab, yang mendorong keinginan besar untuk meraih kemerdekaan penuh dari pengawasan asing.

Pengalaman Perang Dunia II juga membentuk semangat nasionalisme Mesir. Selama perang, Mesir berfungsi sebagai pangkalan militer utama untuk usaha perang oleh Amerika Serikat dan angkatan bersenjata Inggris. Keterlibatan Jerman di Afrika Utara membawa perang ke Mesir pada tahun 1942 dan membangkitkan harapan di kalangan sejumlah pemuda Mesir bahwa Inggris akhirnya dapat diusir.

Kritik Hassan Hanafi terhadap Teologi Tradisional

Langkah awal dalam perancangan proyek teologi revolusioner oleh Hassan Hanafi adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap teologi tradisional. Dalam hal ini, ia berupaya mengkritik sistem teologi klasik untuk mengidentifikasi anomali yang ada di dalamnya. Hanafi menganalisis secara historis bahwa teologi tradisional muncul pada masa ketika inti ajaran Islam, yaitu transendensi Tuhan, terpengaruh oleh berbagai sekte budaya lama. Dalam konteks tersebut, wajar jika kerangka konseptual teologi klasik cenderung bersifat apologetik, bertujuan untuk mempertahankan doktrin utama dan kemurniannya.

Namun, kondisi sosio-politik saat ini telah berubah secara signifikan. Islam menghadapi berbagai kelemahan dan kehilangan kedaulatan selama periode kolonialisme. Menurut Hanafi, kerangka konseptual lama yang berasal dari kebudayaan klasik perlu digantikan dengan kerangka konseptual baru yang sesuai dengan kebudayaan modern. Dengan kata lain, upaya rekonstruksi teologi tradisional merupakan usaha serius untuk menyesuaikan orientasi sistem kepercayaan dengan perubahan konteks sosio-politik yang terjadi.

Lebih lanjut, Hanafi menilai bahwa dalam sistem teologi tradisional, penggunaan dialektika (Jadaliyyat) sering kali diarahkan untuk menolak konsep atau pandangan lain. Dialektika yang dibangun lebih berupa dialog dan penolakan kata-kata ketimbang konsep mengenai watak sosial atau sejarah. Kritik Hanafi berfokus pada ketidakmunculan pembahasan tentang sejarah dalam teologi tradisional, yang tidak menjadikan prinsip sejarah sebagai pertimbangan dalam humanisme.

Para perumus teologi tidak menemukan kepentingan untuk mengaitkan Tuhan dengan sejarah dan kehidupan praktis manusia. Diskusi mengenai sejarah tidak diangkat sebagai tema teoritis kecuali setelah perjalanan sejarah berhenti, tanpa adanya transformasi dari sejarah ke objek intelektual atau dari praktik ke teori. Hassan Hanafi menilai bahwa terdapat kekurangan dalam kesadaran kontemporer Islam mengenai aspek manusia dan sejarah, sementara Barat berhasil mengintegrasikan elemen antroposentris dan historis dalam pemikiran modern mereka. Hanafi mengamati bahwa nuansa pemikiran historis dalam ilmu keilmuan Islam, terutama dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan sejarah, tidak mendapatkan perhatian yang serius.

Menurut Hassan Hanafi, teologi bukanlah pemikiran murni yang ada dalam kehampaan historis, melainkan mencerminkan konflik sosial dan politik. Dengan pandangan ini, kritik terhadap teologi dianggap sah dan bahkan diperlukan. Hanafi ingin menempatkan teologi Islam tradisional pada posisi yang seharusnya, yaitu sebagai ilmu kemanusiaan yang terbuka untuk verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis, dan bukan sebagai ilmu ketuhanan yang dianggap sakral dan tidak bisa dipersoalkan.

Hanafi menilai teologi sebagai bagian dari tradisi keilmuan Islam sebagai hasil akumulasi pengalaman sejarah manusia yang selalu terikat pada konteks ruang dan waktu. Oleh karena itu, menurut Hanafi, formula teologi yang ada saat ini dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan pengalaman manusia dalam beragama.

Hassan Hanafi menunjukkan bahwa teologi klasik memiliki anomali karena teologi tradisional tidak dapat berfungsi sebagai "pandangan hidup yang nyata" atau memotivasi tindakan dalam kehidupan sehari-hari umat manusia. Dalam praktiknya, teologi tradisional gagal menjadi ideologi yang benar-benar fungsional untuk kehidupan nyata masyarakat Muslim. Kegagalan ini disebabkan oleh ketidakmampuan penyusun teologi untuk menghubungkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai tindakan manusia, yang mengakibatkan adanya kesenjangan antara iman teoritis dan amal praktis di kalangan umat. Hanafi menyatakan bahwa, baik secara individu maupun sosial, umat mengalami keterpecahan dan keterbelahan.

Sistem teologi tradisional yang bersifat terlalu teo-berorientasi, artinya hanya fokus pada isu-isu transendental metafisik atau berpusat pada Tuhan dan eskatologi, membawa implikasi bahwa klaim kebenaran kitab suci cenderung bersifat eksklusif. Hal ini disebabkan oleh arah teologi klasik yang lebih mengutamakan penguatan apologi keimanan, sehingga teologi tampaknya tidak berhubungan dengan realitas umat.

Secara individual, terdapat keterputusan antara pemikiran manusia dengan kesadaran, perkataan, dan tindakan mereka. Kondisi ini memudahkan munculnya sikap moral ganda atau "sinkretisme kepribadian" (mazawij asy-syahsiyyah). Fenomena sinkretisme ini terlihat dalam kehidupan umat Islam saat ini, di mana terjadi campur aduk antara kultus keagamaan dan sekularisme dalam kebudayaan, antara tradisional dan modern dalam peradaban, antara Timur dan Barat dalam politik, antara konservatisme dan progresivisme dalam sosial, serta antara kapitalisme dan sosialisme dalam ekonomi.

Menurut Hassan Hanafi, kekeliruan ini berakar dari kesepakatan orang-orang terdahulu bahwa ilmu tauhid atau ilmu kalam adalah disiplin keilmuan tentang akidah keagamaan dengan dalil-dalil yang meyakinkan. Ilmu ini dianggap sebagai studi mengenai dalil-dalil yang mendukung keabsahan akidah, yang bersifat teoritis dan tunduk pada kaidah logika serta metodologi pembuktian. Karena itu, akidah menjadi terpisah dari praktik. Sayangnya, dalam pembahasan tentang ilmu ini, aqidah sering diperlakukan hanya sebagai tema teoritis semata, bukan sebagai sesuatu yang mempengaruhi perilaku.

Teologi klasik adalah penafsiran wahyu yang berkembang pada masa awal pembentukan tauhid, sehingga wacana yang ada di dalamnya cenderung terfokus pada ketuhanan (teosentris) dan bersifat teoritis. Dalam kerangka ini, teologi klasik tampak hanya berfungsi sebagai apologi keimanan dan kurang berhubungan dengan realitas manusia. Teologi, yang seharusnya menjadi alat untuk proses pendewasaan, malah sering kali menghadapi masalah teoritis seperti teori Zat, Sifat, dan Perbuatan. Kepercayaan akan keesaan dan keadilan Tuhan memang sah dan valid, bahkan tanpa perlu pengaktifan kembali. Namun, saat ini, umat Islam sering terjebak dalam pemikiran historis yang terasing dari inti masalah. Mereka terjebak dalam pembahasan normatif teks tanpa melakukan reinterpretasi yang relevan dengan kenyataan sosial masyarakat saat ini.

Teologi Revolusioner Hassan Hanafi

Saat ini, teologi Islam menghadapi tantangan besar. Tidak cukup lagi jika teologi hanya dipandang sebagai "ilmu ketuhanan" yang diterima begitu saja di kalangan umat beragama. Lebih dari itu, teologi harus mampu menerjemahkan apa yang disebut sebagai "kebenaran agama" ke dalam konteks realitas sosial kehidupan manusia. Dengan demikian, teologi bukan sekadar "wacana ilmu ketuhanan" yang bergerak di ranah ide semata, melainkan harus mampu menghasilkan "kesadaran teologis" yang praktis untuk membantu menyelesaikan masalah sosial yang dihadapi umat manusia.

Menerjemahkan teologi untuk mengatasi krisis sosial merupakan kebutuhan penting. Teologi harus memiliki relevansi sosial sebagai gerakan yang pada akhirnya mendukung kepentingan mayoritas umat. Inilah inti dari konsep teologi revolusioner. Menurut Hassan Hanafi, semua bidang keilmuan Islam, termasuk teologi, harus beralih dari fokus teosentris ke antroposentris.

Teologi revolusioner yang diusulkan oleh Hassan Hanafi dapat dipahami sebagai penafsiran teks-teks normatif (wahyu) dengan mempertimbangkan realitas sosial dan diterapkan berdasarkan prinsip kepentingan kemanusiaan (humansentris), dengan tujuan terjadinya transformasi sosial. Formulasi model teologi yang revolusioner merupakan suatu keharusan, karena sejak awal kedatangan Islam telah melakukan revolusi untuk mengubah kehidupan masyarakat Jahiliyyah menjadi kehidupan Islamiyyah. Namun, seiring waktu, semangat ini sering kali tereduksi dalam pola pikir yang dibentuk oleh subjektivitas dan kepentingan kelompok atau individu tertentu.

Dalam sejarah Islam, semangat revolusioner yang ada mengalami distorsi serius setelah masa kepemimpinan Rasulullah, terutama ketika pemerintahan dinastik mulai berlaku. Pemerintahan ini mengubah struktur sosial dengan menetapkan peraturan-peraturan yang menindas, sehingga semangat revolusi Islam yang asli hancur dan meninggalkan hanya sebuah kerangka kosong.

Penurunan semangat revolusioner dalam teologi Islam juga terjadi ketika teologi digunakan untuk kepentingan politik. Misalnya, dinasti Umayyah memanfaatkan paham Jabariyyah untuk kepentingan politik mereka. Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya “al-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam” menyebutkan bahwa Muawiyyah memperkenalkan dan menyebarluaskan ide bahwa kekuasaan yang dimilikinya adalah hasil dari qada dan qadar Allah. Ia mendorong masyarakat untuk menerima paham Jabariyyah (fatalisme) dengan berbagai cara, meskipun semua upayanya ditujukan untuk kepentingan politik.

Saat ini, teologi Islam menghadapi tantangan besar. Teologi tidak hanya harus dipahami sebagai "ilmu ketuhanan" yang diterima begitu saja, tetapi harus mampu menerjemahkan "kebenaran agama" dalam konteks kehidupan sosial manusia. Dengan kata lain, teologi harus lebih dari sekadar wacana teoritis tentang ketuhanan; ia harus menjadi kesadaran teologis yang bersifat praktis dan membantu memecahkan masalah sosial yang dihadapi umat manusia.

Untuk menghadapi krisis sosial, teologi harus relevan secara sosial, berfungsi sebagai gerakan yang mendukung kepentingan mayoritas umat. Inilah inti dari teologi revolusioner. Hassan Hanafi berpendapat bahwa semua disiplin keilmuan Islam, termasuk teologi, harus berubah dari orientasi teosentris ke antroposentris. Artinya, teologi harus tidak hanya membahas eksistensi ketuhanan tetapi juga berfungsi sebagai ideologi yang hidup dalam kehidupan manusia. Teologi harus menjadi landasan revolusioner dalam mengarahkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat, dengan semangat revolusioner yang terkandung dalam teks suci diwujudkan dalam praktik kehidupan.

Dalam bukunya “Dari Akidah ke Revolusi”, Hassan Hanafi menjelaskan bahwa "akidah" adalah tradisi, sedangkan "revolusi" berarti modernisasi. Akidah mewakili keimanan dan jiwa rakyat, sementara revolusi adalah tuntutan zaman modern. Hanafi menggali berbagai isu dalam teologi revolusioner, seperti bagaimana mentransformasikan umat dari perspektif masa lalu ke perspektif modern, mengembalikan tauhid yang fungsional dalam jiwa rakyat, dan menjadikan akidah sebagai pendorong revolusi serta kerangka acuan dalam memandang dunia.

Teologi kontemporer harus menghadapi tantangan dengan karakteristik yang menentang status quo, membela kaum tertindas, dan memperjuangkan kepentingan mereka dengan ideologi revolusioner. Teologi modern tidak hanya harus mengakui konsep takdir tetapi juga kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, teologi modern harus menggabungkan kemutlakan Tuhan dengan kebebasan manusia.

Konstruksi teologi modern, sebagai refleksi sistematis terhadap agama dan tafsir atas realitas dari perspektif ketuhanan, perlu melakukan refleksi dari bawah ke atas, memproyeksikan realitas pada teks-teks keagamaan. Sebaliknya, teologi klasik cenderung memproyeksikan teks-teks normatif pada realitas seolah-olah teks itu adalah realitas itu sendiri. Kajian teologi harus berorientasi pada pemahaman doktrin dogmatis, tetapi juga harus beradaptasi dengan dinamika masyarakat yang terus berubah. Teologi perlu diidentifikasi dengan realitas secara objektif dan dicari penyelesaian melalui legitimasi teks keagamaan, dengan pendekatan sosio-historis yang mempertimbangkan waktu, tempat, kebudayaan, dan lingkungan di mana kepercayaan itu muncul. Formulasi teologi baru harus berbicara tidak hanya tentang kesucian langit dan kemutlakan Tuhan tetapi juga berperan dalam peningkatan kualitas kehidupan manusia dan menghargai kemuliaan manusia.

Kesimpulan

Teologi memiliki potensi praktis yang revolusioner dalam mewujudkan transformasi sosial. Dalam sejarahnya, teologi Islam pernah membawa peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Namun, seiring dengan perubahan paradigma teologis yang menuju doktrin kejumudan atau fatalisme, peradaban Islam meredup dan kehilangan daya saing dalam berkompetisi dengan peradaban lain.

Keadaan ini mendorong Hassan Hanafi untuk meninjau kembali teologi klasik, mengidentifikasi anomali, dan menawarkan konsep teologi revolusioner. Konsep ini bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat revolusioner dalam doktrin teologis guna melakukan transformasi sosial. Dengan demikian, teologi tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk pembentukan perilaku yang menentang status quo, tetapi juga dapat menggerakkan masyarakat untuk menemukan jati diri mereka sebagai manusia sejati.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pemikiran Islam

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//