• Berita
  • Pembangunan Infrastruktur Raksasa di Jawa Barat Mencerabut Ruang Kehidupan Rakyat

Pembangunan Infrastruktur Raksasa di Jawa Barat Mencerabut Ruang Kehidupan Rakyat

Berkaca dari pembangunan Waduk Jatigede, tol Cisumdawu, BIJB, dan PLTU, banyak warga di sekitar Proyek Strategis Nasional yang mengalami kerugian.

Diskusi Bertandang ke Kampus #1: Menggugat Proyek Besar Infrastruktur yang Merugikan Warga dan Lingkungan di Unpad, Jatinangor, Sabtu, 26 Oktober 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Pahmi Novaris 29 Oktober 2024


BandungBergerak.id - Sejumlah infrastruktur raksasa berpayung Proyek Strategis Nasional (PSN) bertebaran di Jawa Barat, mulai dari waduk atau bendungan Jatigede, tol Cisumdwu, Bandara Internasional Jawa Barat, hingga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menyumbang proses pemanasan global. Apa yang didapatkan rakyat dari sejumlah PSN ini?

Temuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung di lapangan, kebanyakan warga di sekitar pembangunan infrastruktur justru merasakan kerugian. Salah satu proyek yang paling mencolok adalah Bendungan Jatigede, yang merupakan bendungan terbesar di Jawa Barat. Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk penyediaan listrik, tetapi juga memiliki dampak sosial yang sangat besar. 

Direktur LBH Bandung Heri Pramono mengatakan, sekitar 7.000 kepala keluarga (KK) terpaksa tergusur akibat pembangunan Waduk Jatigede. Banyak situs warisan budaya yang terendam.

"Dampak dari proyek ini sangat besar, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga sosial dan budaya. Banyak warga yang kehilangan rumah dan tempat tinggal mereka," tambah Heri, di diskusi Bertandang ke Kampus #1: Menggugat Proyek Besar Infrastruktur yang Merugikan Warga dan Lingkungan di Unpad, Jatinangor, Sabtu, 26 Oktober 2024. 

Heri juga menyoroti bahwa pembangunan Waduk Jatigede berkaitan erat dengan proyek infrastruktur lainnya, seperti tol Cisumdawu yang juga mengakibatkan penggusuran yang serupa. Begitu juga dengan proyek Bandara Internasional Jawa Barat yang memerlukan lahan seluas 5.000 hektare yang terbentang di antara 11 desa. 

Menurut Heri, pemerintah berargumen bahwa komoditas pertanian di Desa Sukamulya, salah satu desa yang menjadi tempat BIJB, tidak berkembang. Namun, kenyataannya, desa tersebut memiliki pertanian yang aktif, termasuk padi, cabe hijau, dan mangga gedong. 

"Ini adalah ironi. Pemerintah berdalih bahwa lahan tidak produktif, sementara petani di sana justru berjuang untuk mempertahankan hasil pertanian mereka," ungkap Heri. 

Klaim pemerintah sering kali tidak didukung oleh data yang akurat dan valid yang mengakibatkan ketidakadilan bagi petani lokal.

Heri juga mengangkat proyek PLTU 1.000 MW di Indramayu, yang disebut sebagai penabur emisi karbon. Menurutnya, izin yang dikeluarkan untuk proyek ini tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Dampak dari pembangunan ini menyebabkan penurunan pendapatan petani. 

"Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk bersuara, dan ini adalah pelanggaran hak asasi manusia," tegasnya. 

Sementara itu, kasus kriminalisasi terhadap aktivis seperti Sawin, Sukma, dan Nanto menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Mereka yang berjuang untuk hak-hak masyarakat sering kali menghadapi ancaman dan intimidasi. 

"Ini adalah bentuk ketidakadilan yang harus kita lawan," tambahnya.

Diskusi Bertandang ke Kampus #1: Menggugat Proyek Besar Infrastruktur yang Merugikan Warga dan Lingkungan di Unpad, Jatinangor, Sabtu, 26 Oktober 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Diskusi Bertandang ke Kampus #1: Menggugat Proyek Besar Infrastruktur yang Merugikan Warga dan Lingkungan di Unpad, Jatinangor, Sabtu, 26 Oktober 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Baca Juga:Kasus Korupsi PLTU 2 Cirebon, Iklim Panas dan Uang Panas
Pendapatan Asli Daerah dari PLTU Indramayu tak Sebanding dengan Besarnya Risiko Kerusakan Lingkungan dan Masalah Kesehatan
Jurnalis Rakyat Indramayu Mengupas Dampak Merugikan PLTU Bagi Nelayan

Infrastruktur Tidak Berorientasi pada Kesejahteraan Rakyat

Valerianus B. Jehanu, dosen hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) menjelaskan, infrastruktur seharusnya menjadi aspirasi untuk kepentingan umum, bukan sekadar proyek ambisius yang dipaksakan. Namun, kebijakan infrastruktur di Indonesia sering kali memiliki karakter otokratis. “Di mana keputusan diambil tanpa melibatkan masyarakat yang terdampak," ujar Valeri.

Valeri menyoroti bahwa skema pembiayaan infrastruktur sering kali tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. "Ada kesenjangan antara apa yang direncanakan dan apa yang dilaksanakan, dan ini menciptakan banyak masalah," katanya. 

Ia juga mengingatkan pentingnya penyesuaian tata ruang yang sesuai dengan hukum dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. Di saat yang sama, partisipasi masyarakat dalam proses izin pembangunan infrastruktur kerap dipinggirkan. Partisipasi hanya bersifat semu, masyarakat tidak diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi dan keberatan mereka. 

"Negara tampaknya tidak mampu membaca hubungan antara manusia dan tanah. Ini adalah hubungan yang resiprokal," jelasnya.

Ia menekankan bahwa nilai yang terkandung dalam tanah tidak dapat digantikan oleh apa pun. "Jangan kita lari meninggalkan tanah leluhur ini, karena ibu leluhur akan terus mengejar. Kita harus menghargai nilai-nilai yang ada di dalamnya," lanjutnya.

Valeri kemudian menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur mesti berperspektif kesejahteraan masyarakat. "Pembangunan infrastruktur harus dilihat dari seberapa banyak masyarakat sekitar bisa menggunakan dan menikmati fasilitas tersebut," katanya. 

Ia pun mengajak semua pihak untuk mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari setiap proyek yang direncanakan.

diskusi Bertandang ke Kampus #1: Menggugat Proyek Besar Infrastruktur yang Merugikan Warga dan Lingkungan di Unpad, Jatinangor, Sabtu, 26 Oktober 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
diskusi Bertandang ke Kampus #1: Menggugat Proyek Besar Infrastruktur yang Merugikan Warga dan Lingkungan di Unpad, Jatinangor, Sabtu, 26 Oktober 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Agar Orang-orang Muda tidak Menjadi Komoditas Politik

Diskusi ini merupakan program BandungBergerak dengan latar belakang bahwa proyek-proyek infrastruktur sering kali membawa dampak negatif bagi warga, terutama mereka yang tinggal di sekitar lokasi proyek. Kenyataan ini perlu diketahui banyak pihak, terutama orang-orang muda.

Koordinator pelaksana program Tofan Aditya menjelaskan, suara pemuda, termasuk mahasiswa, sering dianggap hanya sebagai komoditas politik. Dalam pandangannya, gagasan dan aspirasi yang disampaikan oleh generasi muda sering kali tidak didengar, melainkan hanya dihitung sebagai angka dalam perhitungan politik. 

Tofan mengkritik stigmatisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan cara media membingkai isu-isu yang diusung oleh para pemuda, sehingga banyak masyarakat yang merasa antipati terhadap suara-suara ini. "Kita perlu mengubah cara pandang terhadap kontribusi generasi muda dalam pembangunan," ujarnya.  

Tofan juga menegaskan, semua pihak harus bersatu untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. "Kita harus terus bersuara dan berjuang untuk keadilan. Suara kita harus didengar, bukan hanya dihitung," tegasnya.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Proyek Strategis Nasional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//