MEMOAR BUKU #11: Buku Yang Mempengaruhi (1) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi
Pemikiran Paulo Freire (Pendidikan Kaum Tertindas) menginspirasi logo Lembaga Studi Analisa & Informasi (LESTARI), kelompok studi milik mahasiswa Unla tahun 2001.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
4 November 2024
BandungBergerak.id – “The Struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting”. (Milan Kundera)
Salah satu kutipan favorit dari sastrawan asal Cekoslowakia ini sering kali menginspirasi saya, tentunya dengan tafsiran yang sudah diperluas untuk tetap setia menjaga ingatan dan melawan kelupaan. Mengingat setiap ingatan memiliki keterbatasan maka menuliskannya merupakan upaya perjuangan melawan lupa itu. Ketika saya berusaha merekonstruksi ingatan yang sudah terpaut lebih dari 20 tahun silam memang tidaklah mudah karena tingkat akurasinya relatif lemah apalagi hanya mengandalkan ingatan semata yang data-datanya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Meskipun begitu memori ingatan tetaplah bisa dijadikan bahan referensi apabila kita sendiri terlibat langsung dengan kejadian atau peristiwa tertentu.
Semua berawal ketika Indonesia dilanda gelombang pasang Reformasi tahun 1998 yang telah membuka kran besar demokrasi. Air demokrasi yang jebol itu meluber ke mana-mana, laksana banjir bandang yang menerjang ke segenap penjuru kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan mendasar pasca Mei 1998, bisa dilihat dari sistem politik kita yang sebelumnya serba gelap dan tabu kini menjadi terbuka. Partai politik banyak bermunculan bagaikan jamur, pers terbebas dari belenggu beredel, kebebasan berkumpul dan berbicara semakin legal, tapol/napol dibebaskan. Rezim berganti dan Indonesia secara perlahan keluar dari otoritarianisme.
Momentum dan semangat itu juga yang saya rasakan sebagai respons dalam menyikapi kondisi sosial politik waktu itu, begitu juga dengan kondisi di internal kampus sendiri. Kebetulan saat itu saya masih tercatat sebagai mahasiswa di FISIP UNLA yang resah dengan kebebasan mimbar akademik yang kurang representatif dan akomodatif. Resah dengan keberadaan organisasi kemahasiswaan (ormawa) dilingkup kampus yang kurang memberi ruang luas untuk berdiskusi mengemukakan pendapat terkait dengan isu-isu kemasyarakatan, karena tidak ada wadah khusus yang memfasilitasinya. Sehingga banyak obrolan-obrolan atas berbagai keresahan yang dirasakan mahasiswa sering kali bersifat “liar” terucap di mana saja tanpa tertata dengan konsep dan rujukan yang jelas.
Setelah melalui serangkaian obrolan kecil yang intens antara saya dan beberapa teman mahasiswa lainnya untuk merespons dan menggagas sebuah wadah perkumpulan yang mengkhususkan pada kajian diskusi isu-isu aktual, membahas buku, dan latihan menulis. Gagasan tersebut baru bisa terwujud pada tanggal 23 Juni 2001, saat kami mendirikan kelompok studi yang lebih terkonsep. Nama “LESTARI” yang menjadi akronim (Lembaga Studi Analisa dan Informasi) kami gunakan untuk menghimpun semua komponen mahasiswa yang mempunyai tujuan yang sama yakni belajar membaca dan menganalisis berbagai informasi. Sebenarnya kehadiran kelompok-kelompok diskusi semacam itu sudah lumrah di hampir setiap kampus, sebagai contoh di Unpar ada USIK/Unit Studi Ilmu Kemasyarakatan, Forum Jumpa (Unpas), Kajian Islam & Peradaban (UIN), dll., sedangkan untuk di kampus Unla sendiri mungkin kami salah satu yang memulainya.
Dalam pertemuan pertama di ruang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP UNLA lantai 2 Graha Mahasiswa banyak dihadiri oleh mahasiswa dari yang senior hingga mahasiswa baru saat itu, kedatangan mereka atas undangan ataupun rekomendasi BEM/DPM FISIP. Dalam manifest kehadiran yang diedarkan terdapat nama-nama: Ketua DPM Dedet Anandes (Ilmu Pemerintahan 97), Ketua BEM Dandan Mardiana (IP 97), Indra Prayana, Riki Yusuf Hamdani (97), Usep (IP 98) ,Adi Purnomo, Rudi (IP 99), Aang Suryana, Maya, Suhendar (IP 2000) , Erlan Suparlan, Iing Sumindar, Asep, Iwan, Elis, (IP 2001) dst. Siapa pun yang hadir dan menandatangani manifest bisa disebut sebagai founder atau pendiri, meskipun ide atau gagasannya datang hanya dari beberapa orang mahasiswa saja. Dalam kegiatan awalnya “Lestari” tidak memiliki struktur kepengurusan karena semua sama egaliter, tetapi saya menyarankan kepada kawan Dandan Mardiana sebagai koordinatornya mengingat jabatannya pada saat itu sebagai Ketua BEM, jadi ada semacam legalitas formalnya.
Pada hari yang sama juga diskusi perdana dilakukan dengan tema yang aktual, saya sebagai pemantik menyampaikan bahasan tentang situasi politik nasional yang saat itu sedang panas dan bertensi tinggi. Perseteruan politik Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) dengan DPR merambat ke tingkatan masyarakat akar rumput, tak terkecuali mahasiswa juga terbelah di antara yang pro dan kontra. Selepas diskusi saya menuliskan semacam resumenya untuk dipajang keesokan harinya di papan pengumuman kampus.
Sambil ditemani sebotol minuman yang disodorkan kawan Dedet, saya menulis dalam selembar kertas dengan menggunakan bolpoin warna biru tentang usaha pemakzulan Presiden Gusdur oleh DPR/MPR dalam kasus Buloggate dan Bruneigate serta pembubaran Golkar yang diwacanakan oleh kubu pendukung presiden. Waktu itu wacana untuk menurunkan Presiden Abdurrahman Wahid sebelum habis masa jabatannya memang sangat kuat, terutama di kalangan anggota DPR dari Fraksi Reformasi dan Golkar. Sedangkan dari kubu Presiden berusaha untuk membubarkan DPR dengan menggunakan “senjata” Dekrit Presiden.
Baca Juga: MEMOAR BUKU #8: Sikap Otodidak Serta Konsistensi dalam Buku-buku Ajip Rosidi
MEMOAR BUKU #9: Buku Sukarno Pertama yang Dibeli, Mentjapai Indonesia Merdeka
MEMOAR BUKU #10: Mengurai Hubungan Islam dan Komunisme Haji Misbach
Membuat Logo “Lestari”
Sebagaimana lazimnya organisasi atau komunitas sangat memerlukan identitas sebagai pengenal maupun pembeda dengan kelompok yang lain, maka penting untuk membuat logo sebagai pengikat bersama. Selang beberapa hari setelah pertemuan awal, kami mendiskusikan untuk membuat logo. Berbagai masukan dimunculkan, sampai akhirnya disepakati dengan logo yang tercantum sekarang, yaitu inisial LST berbentuk segitiga dengan background lingkaran sinar mentari yang dikelilingi tulisan Lembaga Studi Analisa & Informasi sebagai akronimnya “Lestari”. Sedangkan filosofi logo secara interpretatif diambil dari teori pendidikan yang diusung oleh filsuf radikal Paulo Freire yang konsens dengan revolusi pendidikan, khususnya di negara Amerika Latin dan negara berkembang lainnya.
Salah satu problem krusial di negara-negara berkembang adalah tingkat pendidikan yang tidak demokratis dan tidak berkeadilan, sehingga menyumbat kelahiran generasi baru yang lebih baik. Kondisi tersebut digambarkan Freire dalam bukunya “The Pedagogy Of Oppressed” (1970), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas oleh penerbit LP3ES. Buku ini pertama saya dapatkan di Pasar Buku Palasari sekitar tahun 2000. Dengan format buku saku serta cover kepalan tangan yang seolah sedang mendobrak dunia membuat buku ini semakin memikat. Buku dengan tebal 207 halaman ini terdiri dari 4 Bab pembahasan seputar dunia pendidikan serta pernak-perniknya. Bab 1 tentang Pembenaran bagi suatu pendidikan kaum tertindas, Bab 2 mengenai konsep pendidikan “gaya bank” sebagai alat penindasan, Bab 3 perihal Dialogika sebagai hakikat pendidikan dan praktik kebebasan, serta Bab 4 mengupas Antidialogika dan dialogika sebagai matriks dari teori tindakan kebudayaan yang berlawanan. Dalam pembahasan setiap babnya terdapat kesan yang sama, yakni gambaran masalah pendidikan di setiap negara, wilayah, bahkan dalam lingkup terkecil sekalipun pastilah terdapat perbedaan. Sehingga perlu ada data pembanding yang bisa menjawab persoalan-persoalan pendidikan, meskipun terkadang bersifat paradoks.
Salah satu yang kuat terekam dalam ingatan saya adalah bagaimana ketika Paulo Freire menyebut tentang “pendidikan gaya bank” sebagai sumber masalah dari dunia pendidikan. Metode “pendidikan gaya bank” memiliki konsep yang absolut karena menempatkan pengetahuan ilmu dan pengetahuan sebagai anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Lebih lanjut Freire mengklasifikasikannya sebagai berikut : (1) Guru mengajar, murid diajar, (2) Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa, (3) Guru berpikir, murid dipikirkan, (4) Guru bercerita , murid patuh mendengarkan, (5) Guru menentukan peraturan, murid diatur, (6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui (7) Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya (8) Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu (9) Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid (10) Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka ( 1985,hal : 51-52).
Gambaran seperti itulah yang menjadi hulu permasalahan pendidikan di negeri (Indonesia) kita juga yang berdampak panjang pada generasi berikutnya. Saya termasuk yang “mewajibkan” kepada semua mahasiswa anggota “Lestari” untuk membaca dan mengkaji buku Pendidikan Kaum Tertindas ini sebagai kaum “Raushanfikr” (meminjam bahasa Ali Syariati) sebuah kelompok tercerahkan yang harus bisa mendidik, terdidik, namun tetap tidak terlepas dari realitas sosial.
(Bersambung)
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku