• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #45: Semula Disatukan dengan Sepakat, Akhirnya Dilebur Menjadi Tjahaja

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #45: Semula Disatukan dengan Sepakat, Akhirnya Dilebur Menjadi Tjahaja

Kehadiran Jepang menggantikan Belanda di Jawa membawa perubahan besar. Sipatahoenan dipaksa melebur bersama koran-koran lain di Bandung menjadi satu, yaitu Tjahaja.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Tanggal 22 April 1942, Sipatahoenan disatukan dengan Sepakat. (Sumber: Pemandangan, 27 April 1942)

5 November 2024


BandungBergerak.id – Sejak 1 April 1941, Pengurus Besar Paguyuban Pasundan menerbitkan koran baru yang berbahasa Indonesia: Sepakat. Pengumuman penerbitannya antara lain dikabarkan koran Pemandangan edisi 24 Maret 1941, Panjebar Semangat edisi 29 Maret 1941, dan Pera Expres edisi 3 April 1941.

Dari berita “Dagblad Baroe” dalam Pemandangan, kita jadi tahu bahwa sebelum Pasundan menerbitkan Sepakat, mereka menyebarkan dulu surat edaran kepada media-media lain yang berisi pengumuman akan diterbitkannya koran baru. Di dalam Pemandangan diwartakan, “Menoeroet soerat edarannja maka pada tanggal 1 April 1941 depan ini Kota Bandoeng akan mempoenjai dagblad baroe lagi”. Surat kabar itu disebutkan “Dagblad jang akan lahir pada tanggal 1 April itoe adalah dagblad Sepakat”. Direkturnya S. Soeradiradja, pemimpin redaksinya Ir. Oekar, dan Bastaman. Sementara komisarisnya adalah Oto Iskandar di Nata dan Atik Soeardi.

 “Dengan terbitnja (atau akan terbitnja) Sepakat itoe,” kata Pemandangan, “berarti bahwa Bandoeng mempoenjai tiga dagblad Soenda, empat dagblad Indonesia dan 2 dagblad Belanda, ja’ni Sipatahoenan, Sinar Pasoendan, Priangan, Nicork Expres, Kaoem Moeda, Berita Oemoem, Sepakat, Aid dan Indie Bode”.

Setali tiga uang dengan Pemandangan, dengan teks yang sangat pendek, Panjebar Semangat dengan tajuk “Lajang Kabar Anjar” mengatakan, “Wiwit 1 April ing Bandoeng ana lajang kabar dinan anjar, didjenengi ‘Sepakat’, diembani dening Ir. Oekar” (mulai 1 April di Bandung ada surat kabar harian yang baru, diberi nama Sepakat, dipimpin oleh Ir. Oekar).

Sementara Pera Expres secara jelas menyebutkan bahwa koran Sepakat adalah surat kabar terbitan Paguyuban Pasundan. Pada awal berita berjudul “Dablad SEPAKAT”, redaksi menulis, “Telah kita terima nomor jg pertama dari dagblad SEPAKAT jang terbit dalam bahasa Indonesia di Bandoeng, dibawah pimpinan Ir. Oekar sebagai Hoofdredacteurnja”. Mengenai penerbitnya dikatakan, “Dagblad ini adalah kapoenjaan Pagoejoeban Pasoendan”.

Dalam perkembangannya, sejak 10 November 1941, direktur dan pemimpin redaksi Sepakat mengalami perubahan. Posisi keduanya dirangkap oleh direktur dan pemimpin redaksi Sipatahoenan, Oto Iskandar di Nata dan Mohamad Koerdie. Pengumumannya sudah disiarkan oleh Sipatahoenan edisi 10 November 1941. Kata pengumuman, “Ngawitan ti dinten ieu pingpinan SIPATAHOENAN sareng SEPAKAT dirobah kieu: DIRECTIE aja dina pingpinan djrg. R. OTO ISKANDAR DI NATA. REDACTIE dipingpin koe djrg. MOHAMAD KOERDIE” (Mulai hari ini pimpinan Sipatahoenan dan Sepakat diubah begini: Direksi ada di bawah pimpinan R. Oto Iskandar di Nata. Redaksi ada di bawah pimpinan Mohamad Koerdie).

Sementara Pemandangan edisi 12 November 1941 menyebutkan perubahan itu akan mulai efektif per tanggal 11 November 1941. Selengkapnya dikatakan, “Dalam soerat kabar di Bandoeng, Sepakat kita batja permakloeman direksi Sipatahoenan dan Sepakat, jang mengatakan, bahwa moelai hari Selasa 11 boelan ini, pimpinan direksi kedoea s.k. itoe dipegang oleh toean Oto Iskandar di Nata, sedang pimpinan redaksi ditangan t. Mohd. Koerdie”.

Memasuki 1942, kehadiran pasukan Jepang di Jawa membawa dampak besar terhadap penerbitan pers. Balatentara Jepang memberlakukan kebijakan sensor sangat ketat, sehingga kebebasan pers sangat terbatas, terutama untuk surat kabar nasional yang berada di luar kendali pemerintah pendudukan.

Pengetatan kendali surat kabar itu menyebabkan penyatuan Sipatahoenan dengan Sepakat pada 22 April 1942. Saya menemukan kabarnya dari Pemandangan edisi 27 April 1942. Di dalam berita “Sepakat dan Sipatahoenan djadi Satoe” dituliskan begini: “Dengan opisil pada tanggal 22 April ini sk Sepakat dan Sipatahoenan di Kota Bandoeng soedah didjadikan satoe, dengan nama Sipatahoenan tetapi memakai bahasa Indonesia, tidak lagi bahasa Soenda. Directeur Ir. Oekar Bratakoesoema, sedang hoofdredactie dipegang oleh tt. Moehamad Koerdi dan Abdoel Hamid. Jang terseboet belakangan adalah djoega wakil dari pers Indonesia dalam badan Perserikatan Pers Indonesia jang didirikan oleh pihak Nippon, dibawah pimpinan toean Nakatani.

Penyebutan pihak Nippon, Nakatani serta Perserikatan Pers Indonesia menjadi penanda sangat jelas, betapa terbatasnya ruang gerak Sipatahoenan dan Sepakat. Apalagi ada wakil Perserikatan Pers Indonesia yang didirikan atas inisiatif pemerintah pendudukan yang ditempatkan di antara Sipatahoenan dan Sepakat. Bahkan bisa jadi atas dorongan Perserikatan Pers Indonesia itulah, maka Sipatahoenan dan Sepakat terpaksa berfusi menjadi Sipatahoenan dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Sipatahoenan dilebur dengan Nicork Expres, Sinar Pasoendan, Priangan dan Kaoem Moeda, menjadi Tjahaja. (Sumber: Pandji Poestaka, 6 Juni 1942)
Sipatahoenan dilebur dengan Nicork Expres, Sinar Pasoendan, Priangan dan Kaoem Moeda, menjadi Tjahaja. (Sumber: Pandji Poestaka, 6 Juni 1942)

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #42: Ulang Tahun ke-15 dan Kunjungan Ketua Volksraad
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #43: Gedong Sipatahoenan Tahun 1939 hingga Tahun 1941
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #44: Oto Iskandar di Nata sebagai Ketua PERSIB tahun 1938-1939

Dilebur Bersama Surat Kabar Lain

Memasuki bulan Mei 1942, pengetatan terhadap pers nasional oleh pemerintah Bala Tentara Jepang kian menjadi-jadi. Menurut A. Latief dalam Pers di Indonesia di Zaman Pendudukan Jepang (1980), pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan dua kebijakan yang memperketat pengawasan pers. Pertama, Maklumat Dinas Pers Balatentara Jepang pada 13 Mei 1942 yang mewajibkan semua penerbitan untuk melewati sensor. Kedua, Undang-Undang No. 16 pada 25 Mei 1942 untuk memperketat izin penerbitan.

Menurut Latief, “penerbitan Pers Nasional kita oleh Pemerintah Balatentara Jepang (di belakangnya berdiri alat propagandanya) dipaksa untuk bergabung menjadi satu. Dalihnya untuk menggalang kerja sama yang lebih baik, bagi kemenangan perang Asia Timur Raya”.

Latief menyajikan Maklumat Dinas Pers Balatentara Jepang (Hodohan) tanggal 13 Mei 1942 yang antara lain berisi, “Sampai sekarang masih terjadi juga hal-hal yang menyatakan kekurangan faham akan peraturan yang dijalankan dalam urusan sensor. Berhubung dengan ini maka disini diperingatkan, bahwa segala sesuatu yang akan dicetak, misalnya copy buat harian, mingguan, bulanan dan majalah yang lain, buku pelajaran dan buku bacaan, maklumat, programma bioskop, surat undangan, etiquette, merk dan sebagainya, sebelum dicetak atau diumumkan, harus terlebih dulu dikirim kekantor censuur (Hodohan) di Rijswijk 18, Jakarta”.

Selanjutnya, terbitnya Undang-undang No. 16 tentang pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan dan penilikan pengumuman dan penerangan tanggal 25 Mei 1942 kian menegaskan pemberangusan pers nasional Indonesia. Hal ini sangat kentara pada pasal satunya yang berisi “Segala macam badan pengumuman didaerah yang diduduki oleh Balatentara Jepang mesti mendapat izin” dan pasal tiganya yaitu “Terlarang menerbitkan barang cetakan yang berhubung dengan pengumuman atau penerangan, baik yang berupa penerbitan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan maupun penerbitan yang tidak tentu waktunya, kecuali oleh badan-badan yang sudah mendapat izin”.

Dengan demikian, dua bulan setelah penyatuan Sipatahoenan dan Sepakat, dipicu terbitnya pengumuman dan aturan pelarangan penerbitan surat kabar oleh Bala Tentara Jepang, muncul kabar mengagetkan dalam majalah Pandji Poestaka edisi 6 Juni 1942. Di situ ada dua berita yang menceritakan dileburnya Sipatahoenan bersama koran-koran yang lain yang ada di Bandung, sehingga menjadi satu koran, yaitu Tjahaja.

Berita pertama ada pada rubrik “Pemandangan dalam Negeri” dengan tajuk “Menoedjoe satoe haloean” dan bertitimangsa 3 Joeni 1942. Pada paragraf pertama ditulis mengenai semangat persatuan segenap tenaga dan kekuatan untuk menghadapi masa pancaroba (“Pada dewasa pantjaroba seperti jang kita alami waktoe ini perloe mempersatoekan segala tenaga dan kekoeatan”).

Mengenai peleburan Sipatahoenan dikatakan, “Diseloeroeh daerah Priangan segala soerat kabar ketjil-ketjil sebagai Sinar Pasoendan, Nicork Expres, dan Sipatahoenan akan disatoekan, dan akan menerbitkan satoe soerat kabar sadaja bernama Tjahaja. Lebih dahoeloe dari Sinar Pasoendan dan Priangan soedah disatoekan”.

Berita kedua yang lebih jelas saya peroleh dari warta singkat “Soerat Kabar di Bandoeng”. Di situ diterangkan bahwa “Barisan Propaganda Balatentara Dai Nippon telah bermoepakat dengan direktoer-direktoer soerat-soerat kabar Nicork Expres, Sipatahoenan, Sinar Pasoendan (termasuk Periangan) dan Kaoem Moeda. Dipoetoeskan oentoek memperhentikan semoea soerat kabar terseboet dan menerbitkan soerat kabar baroe dengan nama Tjahaja. Sebagai direktoernja toean Oto Iskandar di Nata”.

Dengan demikian, setelah terbit pertama kali pada 1 Juli 1924, Sipatahoenan dipaksa harus berhenti terbit pada bulan Juni 1942. Atau bila dihitung secara keseluruhan, Sipatahoenan terbit selama 18 tahun, semasa penjajahan Belanda dan selama pendudukan Jepang. Dengan catatan, semasa pendudukan Bala Tentara Jepang, Sipatahoenan terbit dengan menggunakan bahasa Sunda antara Maret-April 1942, April-Mei 1942 bersatu dengan Sepakat dan menggunakan bahasa Indonesia, dan sejak Juni 1942 dilebur bersama koran-koran lain menjadi koran Tjahaja.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//