Cerita Kriminal dalam Cerpen dan Syair Lagu Indonesia Menjadi Konten Utama Zine Mancis
Tak jarang kasus-kasus kriminal di Indonesia berkembang menjadi legenda, contohnya Kusni Kasdut di era revolusi yang dikenal sebagai Robin Hood.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah6 November 2024
BandungBergerak.id – Kriminalitas, para penjahat ataupun perampok sering kali dikisahkan dalam karya sastra atau direkam zaman menjadi syair-syair lagu. Zine edisi perdana Mancis yang diterbitkan Penerbit BaNana dan Studio Batu memuat cerpen berjudul ‘Lingerie’ karya Abi Arbiana dan esai ‘Bandit-bandit di Syair Lagu Indonesia’ karya Budi Warsito. Dari karya ini terlihat bagaimana kriminalitas begitu dekat dengan kehidupan masyarakat.
Kedua penulis zine tersebut berdiskusi di Bukan Jumaahan edisi 102, Kedai Jante, Jalan Garut, Minggu, 3 November 2024 bersama pegiat zine dari Bandung yaitu Hilmy Fadiansyah dan Liona Apisof. Abi Ardiana, menceritakan di balik proses kreatif penulisan cerpen ‘Lingerie’ dan keterlibatan menulis di zine Mancis. Pada cerpen tersebut Abi mengisahkan seorang perempuan berprofesi sebagai penyidik di institusi kepolisian. Ia menghadapi kasus pembunuhan dengan pelaku kekasihnya sendiri.
Menurut penulis novel Laila Tak Pulang ini, penulisan dengan tema besar detektif menjadi tantangan bagi dirinya. “Sosok detektif gak familiar di Indonesia, sosok seperti apa yang bisa menjadi referensi, kemudian mentoklah ke petugas penyidik di kepolisian. Dia yang juga tanggung jawab menangani kasus-kasus kriminal,” kata Abi.
Penyidik, dalam cerpen tersebut, dikisahkan menemukan barang bukti pakaian dalam perempuan. Sang kekasih alias si pelaku telah menikam sahabatnya, seorang laki-laki. Abi menuturkan, untuk menentukan karakter cerpennya, ia memulai dengan menentukan isu atau masalah yang dihadapinya terlebih dahulu.
Cerpen ‘Lingerie’ menjelaskan penyelidik perempuan sebagai sosok yang kuat dan berwibawa. Akan tetapi, rapuh dan bimbang juga sewaktu menghadapi kenyataan bahwa orang terdekatnya terjerat kasus hukum.
“Aku suka tokoh yang bocor, yang terbaik dilatih demikian rupa, seperti petugas polisi yang berwibawa ingin memotret sisi perempuannya ketika dihadapi isu yang membingungkan seperti apa.
Kebocoran itu aku potret itu di cerpen Lingerie, isu ini selalu ada di tengah kita,” beber Abi.
Abi mengajak para pembaca untuk tidak ragu membuka ruang diskusi terhadap kriminalitas yang sering kali memposisikan perempuan sebagai korban.
“Setiap gagasan pikiran, jaraknya minim lebih intim dan lebih personal. Itu kumanfaatkan isunya karena isunya bukan isu sederhana. Aku gak kebayang ketika menjadi si mbak ini gimana, point of view tokoh pertama bisa mengakomodir penggalan (cerpen) itu,” jelas Abi.
Berbeda dengan Abi, Budi Warsito, esainya awalnya diniatkan untuk menuliskan cerita-cerita detektif yang ada di majalah anak dulu. Namun, akhirnya memilih menuliskan lagu-lagu tentang bandit di Indonesia.
“Lagu bandit di Indonesia ada berapa ya, satu draf yang pernah tulis dari band Inpres mahasiswa ITB, sangat dipengaruhi bandit besar yaitu Kusni Kasdut,” ujar Budi.
Kusni Kasdut merupakan sosok legenda di sejarah bandit Indonesia. Budi mengatakan setidaknya ada tujuh lagu yang terinspirasi dari sosok Kusni Kasdut. Selain buku monumental yang ditulis Paraktiri menjelaskan bandit terkenal ini.
Kusni Kasdut merupakan bekas pejuang kemerdekaan yang tidak bisa masuk ke tentara nasional Indonesia saat terjadi nasionalisasi yang memfasilitasi para pejuang. Kusni pernah kena tembak, kakinya cacat sehingga ia ditolak. Dia kecewa dan memutuskan menjadi bandit.
“(Kusni Kasdut) merampok orang hasil rampokannya diberikan ke banyak orang, namanya mitos bumbunya banyak untuk membayangkan sebuah perlawanan,“ ungkap Budi.
Di ranah budaya populer, Kusni Kasdut juga beken. Bagi Budi, seni merupakan cerminan masyarakat dan zaman. Saat itu lagu-lagu tentang Kusni Kasdut lebih banyak ketimbang para bandit lainnya.
Baca Juga: Zine yang tak Lekang Ditelan Zaman
Menyemai Zine, Menyulam Literasi di Pasar Cihapit
BANDUNG ZINE FEST 2024: Orang-orang Muda Bertemu dalam Isu Konflik dan Penggusuran
Dwi Mulyatari dan Abdurakhman dalam penelitiannya, “Anomali Kusni Kasdut: Penjahat Atau Robin Hood?” menjelaskan, Kusni Kasdut merampok harta-harta orang kaya untuk digunakan sebagai dana revolusi. Kehadiran Kusni menjadi bagian penting dari keberlangsungan revolusi mempertahankan kemerdekaan di Indonesia pada tahun 1945-1949.
Pada akhir hidupnya, lanjut Dwi Mulyatari dan Abdurakhman, Kusni justru divonis hukuman mati karena tindakan kejahatannya yang membunuh dan merampok. Meskipun demikian, Kusni tetap dihormati oleh masyarakat di tengah kejahatan yang dilakukannya.
Bandit lain misalnya, Mat Peci asal Garut yang disinggung juga dalam tulisan Budi Warsito. Mat Peci dikenal karena romansa cintanya, sementara Kusni Kasdut tidak hanya romansa saja. Kusni menjadi sosok rumit, dramatis. Ketika hendak dieksekusi, Kusni mendapatkan perlakuan khusus di penjara. “Karena ia bisa lolos dari penjara berkali-kali. Kalau bicara faktor sensasi lebih sensasional, mencuri barang kemudian dibagikan ke orang-orang,” beber Budi.
Sementara itu, Liona, pegiat zine Bandung menyebutkan, melihat zine dengan tema detektif dan kriminal ini membawanya pada ruang-ruang nostalgia masa kecil.
“Aku bacanya berurutan, yang pertama aku rasain ada memori yang muncul. Masa kecil gitu seperti di dekat rumah ada maling berulang kali masuk penjara aku dari kampung nelayan, ikan seikat beras siliter itu udah cukup ketika badai datang biasanya kriminalitas itu naik,” terang Liona.
Memori yang terlintas saat membaca kumpulan tulisan zine mengarahkan juga pada sesuatu yang baru. Cerpen Abi bagi Liona cukup berani karena menempatkan perempuan tidak selalu menjadi korban dalam kasus kriminal.
“Kisah-kisah kriminalitas ini, tidak ada yang punya power selalu menjadi korban. Ini penyidik perempuan sisi rapuh dari sisi tokoh ini terus muncul dialog yang cukup berani,” jelas Liona.
Sudut Pandang Para Zine Maker
Selain Abi Ardiana dan Budi Warsito, zine Mancis memuat tulisan karya novelis Eka Kurniawan dan filsuf juga kritikus sastra Martin Suryajaya. Zine Mancis edisi perdana ini terbilang istimewa. Hilmy Fadiansyah, penggiat zine Bandung menyebutkan, Mancis masih bisa disebut zine meski sebetulnya tampilannya seperti majalah, bukan dicetak di kertas A5 sebagaimana zine umumnya.
Menurut Hilmy, zine sudah banyak dikenal dan tersebarkan dengan berbagai format, memiliki ciri khas sendiri yaitu kedekatan dan sangat personal. HIlmy menuturkan, penerbit baNana dan Studio Batu berusaha melakukan distribusi zine melalui bekerja sama dengan penerbit. Sayangnya, tak ada penerbit yang menjawab.
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang zine sebagai media alternatif