Yang Tersisa dari Banjir Lumpur di Banjaran Wetan
Banjir bandang di Banjaran kali ini yang terbesar sejak terkahir kali banjir parah tahun 2005. Warga memerlukan bantuan rehab.
Penulis Yopi Muharam7 November 2024
BandungBergerak.id - Sebuah mobil LCGC terparkir di depan SMK Plus Pratama Adi. Mobil berwarna abu itu dipenuhi oleh lumpur. Kabarnya mobil itu terdemdam saat bencana banjir menerjang kawasan kampung Cileutik, Banjaran Wetan, Kabupaten Bandung, Selasa, 5 November 2024. Sisa-sisa kerak lumpur terlihat di bagian kaca jendela hingga kap depan.
Di seberang mobil, terdapat gang yang disesaki orang-orang. Sebagian orang ada yang membersihkan puing-puing perabotan menggunakan selang air yang disimpan di sepanjang jalan. Lumpur itu berwarna cokelat pekat, masih menggenang di sepanjang gang hingga ke ujung jalan. Seisi gang dipenuhi oleh lumpur dan prabotan warga.
Dua puluh meter dari gapura gang, terdapat rumah dua tingkat. Rumah itu berada dua meter di bawah jalan utama gang. Di lantai satunya, rumah itu terlihat lenggang. Hanya ada seorang wanita dan empat anak kecil baru keluar dari rumah bertembok keramik cokelat itu.
Di samping rumah itu terdapat lapangan cukup luas yang dipenuhi oleh lumpur. Lumpur itu sampai memasuki rumah berlantai dua. Di dalamnya listrik belum menyala. Dua buah lemari setingi dua meter, ambruk dibiarkan begitu saja. Di dalamnya seorang ibu dan dua anaknya tengah berlindung di latai dua yang disesaki prabotan dan baju.
Ibu itu adalah Oti (52 tahun), warga asli Kampung Cileutik, RT 2, RW 7, Banjaran Wetan, Kabupaten Bandung. Di rumah itu, Oti tinggal bersama tujuh orang lainnya, yang terdiri dari, mertua, suami, tiga anak, satu cucu, dan satu anak saudaranya. Saat ini sebagian keluarganya ada yang masih tinggal di rumah saudaranya yang tak jauh dari kediaman rumah Oti. Rumah saudarnya itu aman tidak terkena banjir.
Semalam, satu keluarga itu mengungsi ke rumah saudaranya di daerah atas. Mereka tinggal semalam menghindari banjir lumpur yang menghantam kediaman kecilnya itu. Rumah Oti habis terdendam banjir setinggi 2,5 meter. Sekarang sisa-sisa lumpur masih menggenang di rumahnya setinggi tumit kaki. Belum ada bantuan dari yang datang untuk membersihkan rumah Oti.
“Ibu sedang duduk di sini, lagi beres-beres mau makan sama keluarga. Mula-mula mah hujannya kecil lalu besar, reda terus besar lagi,” ujar Oti menceritakan sebelum banjir menerjang rumahnya. Penuturan Oti, pada Selasa sore, hujan tidak berhenti mengguyur kediamannya.
Hingga pukul 20.00 WIB, hujan tidak berhenti. Sedangkan air sudah memasuki pintu rumah. Suami Oti segera menyuruhnya untuk memindahkan perabotan ke lantai dua yang berukuran kecil. Di lantai dua rumah Oti, besarnya sekitar 6x3 meter pesergi yang terbagi dari dua kamar dan satu ruang tengah.
Namun Oti tidak sempat memindahkan barang yang besar seperti lemari ke lantai dua. Air begitu cepat naiknya yang membuat Oti dan sekeluarga panik. Dirasa air akan terus naik, suaminya memberi pilihan, apakah akan diam di lantai dua atau ngungsi ke rumah sudaranya. Oti memilih ngungsi ke rumah saudaranya.
“Takut ada apa-apa. Keluar weh ke sana, ke daerah atas, soalnya ada rumah adik ipar yang enggak kebanjiran,” tutur Oti dengan suara rintih.
Dia baru saja selesai mengelap tangga untuk menuju lantai dua dan mengelurkan sebagian lumpur ke luar rumah. Tapi lumpur itu sangat sulit dikeluarkan jika hanya mengandalkan tenaga manusia saja.
“Terus bingung juga beresin air sama lumpurnya, soalnya harus pake mesin penyedot biar cepat,” katanya.
Oti berharap pemerintah segera turun tangan untuk membantu warganya. Ada pun pemadam datang, itu pun hanya membersihkan di jalan-jalan aspal saja. Belum membersihkan hingga ke pelosok perkampungan.
“Kata suami saya teh, tar ada bantuan yang ke sini. Tapi sampai saat ini masih belum ada bantuan apa pun,” lanjutnya.
Di malam yang kalut itu, listrik padam. Mereka sekeluarga berbondong-bondong berjalan keluar. Air masih setinggi lutut. Masih bisa diterjang. Sedangkan di belakang rumah Oti, sebanyak 50an ayam yang disimpan di kandang, hanyut begitu aja. Ayam yang diternak oleh suaminya itu, hilang tak berbangkai.
“Enggak ada tapak sekali. Sisa satu, tapi itu juga mau mati. Harusnya itu ayam buat dijual,” keluhnya. Sementara itu, suaminya tengah mengecek kandang ayam. Berharap masih ada ayam yang tersisa.
Sudah Langganan Banjir
Dua puluh meter dari rumah Oti, Sri Susanti (24 tahun) seorang ibu dua anak baru saja membersihkan sisa-sisa lumpur di teras kontrakannya. Nasib Sri tidak beda jauh dengan Oti. Rumah mereka berdua lebih pendek dari jalan utama. Di kontrakan berderat lima pintu itu, hanya ada Sri saja yang tinggal. Sisanya kosong.
Baru delapan bulan Sri tinggal bersama suaminya, Galih (21 tahun) di kontrakan kecil berukuran 4x6 meter. Hanya ada satu kamar dan ruang tengah saja di dalam kontrakan itu. Sedangkan dua anaknya masih kecil. Yang cowo berumur 4 tahun, sedangkan anak perempuannya berumur 2 tahun.
Untuk toilet berada di luar yang sudah dilengkapi sumur sedalam 10 meteran. Sumur itu berwarna cokelat pekat. Maklum, semalam kontrakan Sri terdendam banjir setinggi 2,5 meter. Senasib seperti Oti.
Sebelum banjir menggenang, saat azan maghrib berkumandang, Sri dan suaminya tengah bersantai di teras kontrakan. Saat itu hujan Sudah mulai reda. Tapi genangan air sudah memasuki kawasan kontrakan Sri.
Di ujung kontrakan, terdapat sebuah benteng yang memisahkan dengan sungai. Ada lobang kecil di bawahnya. Fungsinya untuk irigasi pembuangan air mengalir. Namun sejak sore, karena hujan tak kunjung reda, suami Sri berinisiatif menutup lobang itu dengan triplek dan kayu. Khawatir ketika sungai meluap, airnya akan tembus ke kontrakan.
Namun siapa sangka, air justru muncul di atas kontrakan Sri. Aliran itu cukup deras sehingga cepat membuat kontrakan Sri dan seisinya terendam banjir. Mereka tak sempat menyelematkan barang-barangnya.
“Barang-barang semuanya abis kerendem. Paling utama saya nyelematin anak dulu,” ujar Sri bercerita. Sama sepeti Oti, Sri dan suami beserta anak-anaknya mengungsi sementara ke rumah saudaranya. Sebab ketinggian air sudah sedada, ujar Sri.
Sri bercerita, meski baru delapan bulan tinggal di kontrakan tersebut, dia sudah sering tertimpa banjir. Namun banjir kemarin menjadi yang terparah. “Sebenernya mah kan udah sering terkena banjir tuh, cuman ini yang paling parah. Sampe ada lumpur kaya gini,” keluhnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Oti, dia dan sekeluarga sudah biasa jika hujan deras, banjir pasti mengepung rumahnya. Namun banjir kemarin lain lagi ceritanya.
“Kalau ujan gede mah pasti bajir. Tapi terkahir banjir parah tuh tahun 2005, udah lama,” tutur Oti. “Dampaknya sama, cuma ga sebesar gini kerusakannya ga terlalu parah (dulu itu),” lanjutnya.
Lewat kabar, katanya banjir ini bawaan dari daerah atas, Anjarsari. Ada longsor, kata mereka berdua. Banjir kali ini membuat mereka berdua was-was. Oti tidak bisa tidur nyenyak di rumah saudaranya. Sedangkan Sri dan suaminya, nekat kembali pada tengah malam untuk mengecek kondisi kontrakanya.
Karena dirasa banjir sudah mereda, Sri dan Galih segera membersihkan seisi kontrakannya. Prabotan dan baju-baju mengapung di atas air. Mereka berdua segera membersihkannya hingga subuh, pukul 3 pagi. Lalu mereka berdua tidur di atas selimut yang masih selamat dari banjir lumpur itu.
“Terus tidur juga di sini (kontrakan) sampe jam 3 subuh. Baru lanjut (bebersih) lagi pagi-pagi sampe sekarang. Belum bersih juga sampe sekarang,” tuturnya.
Saat azan maghrib berkumandang, suami Sri, Galih, baru datang ke kontrakan menenteng sebuah keresek putih berisi nasi dan pauknya. “Ini dikasih sama tetangga di depan,” ujar Galih menjelaskan. Dia baru saja pulang di kerabatnya yang sering mengadakan Pasar Gratis untuk meminta baju untuk sang buah hati.
Namun, saat menghampiri temanya itu, baju yang diperuntukan untuk anaknya tidak ada. Habis, kata Galih menirukan temannya. “Paling sekarang mah pake baju dulu yang ada,” keluh Galih.
Kendati demikian, menurut Galih, kerugian yang diterimanya tidak seperti warga lainnya. Di mana banjir merendam seperti, motor, mobil, hingga sofa. Untuk tidur pascakebanjiran, keluarga Galih akan memaksanakan tidur di kontrakan dengan memanfaatkan selimut yang tersisa.
“Sekarang juga tidur di sini aja, yang ada aja. Ini yang tersisa paling selimut ini buat ampar di teras. Udah lah di sini aja,” tutur Galih.
Baca Juga: Data 8 Kolam Retensi di Kota Bandung 2020, Bukan Solusi Paripurna Menuntaskan Banjir
Potret Setelah Banjir Bandang Banjaran , Warga Menyebut Ketinggian Air yang Terparah
Lemahnya Sistem Drainase Jadi Penyebab Banjir Kota Bandung
Banjir 20 Tahun Sekali
Di pelataran PAUD Melati 1, sebuah dapur umum didirkan. Itu akan menjadi dapur darurat untuk beberapa hari ke depan. Di sana sudah banyak para ibu yang sedang memasak untuk makan malam. Di kumpulan ibu-ibu itu, Ariep Riyadi (45 tahun), Plt RW sedang merokok di atas sebuah pager tembok.
Dia baru saja ikut bergotong-royong di bawah untuk membersihkan lumpur yang tersisa. Di kakinya masih terlihat kerak lumpur yang belum terbesihkan sepenuhnya. Ariep mengatakan bahwa banjir ini kemungkinan siklus 20 tahunan sekali.
Sebab, banjir yang hampir sama juga pernah terjadi pada tahun 2005. Namun banjir saat ini dampaknya lebih merusak dari banjir 19 tahun silam. Ariep mengakui bahwa tiap hujan deras, kampungnya itu sering ada banjir, namun tidak besar. Paling parah juga, menurut Ariep adalah rumah-rumah yang berada di bantaran sungai.
“Biasanya juga yang paling parah di daerah bantaranya saja. Kalau ini dampaknya hampir seluruh satu RW yang kena,” ungkapnya. Dari data yang diperoleh BandungBergerak, di kampung Cileutik ini ada sekitar 288 KK, yang terdampak dari banjir ini sebanyak 550 jiwa dan 160 KK. Beruntungnya tidak ada korban jiwa dari banjir lumpur kemaren.
Kasus yang terparah, ada lima rumah yang jebol. Sisanya rusak ringan. Yang menjadi kendala untuk membersihkannya adalah lumpur yang masih mengendang. Kedalaman banjir ini pun relatif, yang terparah seperti di rumah Oti dan Sri, ketinggianya bisa mencapai 2,5 meter. Hal itu bisa terlihat dari sisa batas air yang mengerak di tembok.
Selain itu, sisa lumpur ini juga menyebabkan jalan jadi licin. Tak sedikit masyarakat tergelincir saat berjalan. Selain itu, mereka juga harus teliti dalam menginjakan kakinya, sebab masih ada lubang yang terendam lumpur.
Untuk titik evakuasinya, Ariep mengatakan kawasan PAUD dan masjid Al Hidayah yang aman. Sebab bangunan kedua itu berada di atas pemukiman lainnya. Untuk kondisi rumah Ariep, masih beruntung dari warga lainnya. Rumah ariep berderet dengan masjid ketinggiannya.
Ariep menunjukan banjir kemarin bisa sampe ujung tanjakan menuju ke PAUD. Jaraknya lumayan tinggi dibanding kawasan di rumah warga yang berada di bawah. Sebelum banjir menerjang juga, Ariep sudah diberitahukan melalui desa, bahwa BMKG mengabarkan bakal terjadi hujan deras.
Imbauan itu cukup menjadi perhatian bagi Ariep, sehingga dirinya mengabarkan warga untuk berhati-hati. Takutnya bakal ada banjir yang akan datang. Terkait mitigasi, dirinya mengakui bahwa warga belum pernah dibekali persiapan jika banjir kelak akan datang.
Tidak Ada Mitigasi Bencana
Di sisi lain, Tika (42 tahun) tengah merebus telor. Menu makan malam sore itu adalah telor rebus dan sayur. Tika bersama 20an ibu-ibu lainnya secara bergantian memasak untuk warga yang terdampak. Seharian ini mereka telah membagikan lebih dari 100 bungkus nasi.
Akan tetapi, saat BandungBergerak menanyakan perbekalan logistik, stok bahan makanan sudah menipis. Beras pun hanya tersisa sekarung lagi. Bumbu-bumbu dapur sudah ludes terpakai.
“Sebenernya ini juga bahan makanan udah kurang, apalagi dari segi bumbu,” keluh Tika bersama para ibu lainnya. “Kita ini juga masaknya yang simple aja, kaya telor, sayur, sama mie aja,” lanjutnya.
Perbekalan logistik dapur umum itu didapatkan dari masyarakat yang turut menjadi donatur. Selain itu, pihak dari Desa pun sudah turut memberikan bahan pokok makanan lainnya juga.
Terkait mitigasi bencana juga, menurut Ariep, warga sudah terbiasa untuk mempersiapkan persiapan mitigasi secara khusus. Mereka hanya berbekal pengalaman saja. “Kalau ada hal-hal pelatihan mitigasi secara khusus, kita belum ada. Tetapi, karena udah biasa dalam menghadapi banjir kita udah tahu harus gimana,” ujarnya.
Terkait evakuasi juga, warga hanya mengandalkan sanak saudara terdekat untuk tinggal sementara. Posko untuk mendirikan tenda pun nihil untuk dilakukan. Sebab lapangan paling luas di kampung Cileutik itu juga terendam banjir.
“Kebanyakan kalau buat tidur bisa numpang ke sanak-saudara yang rumahnya tidak terdampak,” ujarnya. “Karena lingkungan satu RW ini semuanya hampir semuanya ada ikatan keluarga,” lanjutnya.
Senada dengan Ariep, Tika mengatakan para warga hanya mengandalkan pengalaman saja. Tetapi dia dan warga lainnya pun tidak menampik bahwa butuh mitigasi bencana alam.
“Belum ada (pelatihan mitigasi). Belum pernah kedenger juga. Jadi di sini mah kalo ujan deres pasti banjir. Sama kaya di Dayeuhkolot,” ujarnya. “Sebetulnya butuh sebagai warga mah mitigasi itu teh,” lanjutnya.
Biasanya juga acap kali hujan besar, sering ada pemberitahuan dari masjid untuk memberitahukan air sudah naik. Nantinya, para warga bisa bersiap untuk segera evakuasi juga. Namun untuk banjir kemarin, tidak ada informasi apapun, sebab air datang sangat begitu cepat.
“Nah, misalkan kalau ujan terlalu lama biasanya suka ada pemberitahuan dari masjid, hati-hati siap siaga,” ceritanya. “Tapi kemaren enggak ada, justru kita teh kecolongan pisan. Airnya langsung gede. Kemaren mah banjirnya langsung besar,” tutupnya.
Oti, Sri, Galih, Ariep, Tika, dan warga lainnya berharap hal yang sama. Pemerintah segera turun tangan untuk membantu warganya yang terdampak dari banjir lumpur ini. Selain itu, banyak warga juga yang membutuhkan perlengkapan seperti, baju, selimut, obat-obatan dan bahan logistik lainya.
Diperkirakan menurut Tika keadaan bisa kembali normal sekitar satu minggu atau paling cepat sampai hari senin mendatang. Di sisi lalin di aliran sungai Cielutik, keadaan tanggul pun tidak memadai. Ketinggian tanggul sanat timbang atau tidak merata. Hal tersebut memudahkan air untuk masuk ke daerah perkampungan.
“Mudah-mudahan karena seringnya terjadinya banjir, dari pihak pemerintah untuk menormalisasi sungai atau bantara sungainya. Biar enggak jebol lagi,” harap Ariep. “Harapan untuk para pemerintah mah kesadaran diri aja lah,” Galih menutup.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, kawan-kawan juga bisa menengok liputan lainnya tentang Bencana Banjir