Mengenali Gangguan Kecemasan dan Cara Pemulihannya
Kecemasan yang sudah menganggu aktivitas sehari-hari sudah termasuk gangguan kesehatan mental. Perlu ditangani oleh tenaga profesional.
Penulis Salma Nur Fauziyah8 November 2024
BandungBergerak.id - Rasa cemas bukanlah sebuah emosi yang tidak asing bagi manusia. Selama menjalani kehidupan, emosi tersebut sering dirasakan oleh setiap orang. Sebagai contoh, mahasiswa tingkat akhir yang sedang menggeluti penelitian tugas akhir atau skripsi akan dihinggapi kecemasan. Rasa cemas semakin sering timbul seiring mendekati deadline ataupun ekspetasi orang tua. Bagi pekerja, rasa cemas bisa timbul akibat tekanan pekerjaan. Begitu juga bagi seseorang yang tidak mendapat kabar dari pasangannya akan didatangi rasa cemas.
Pembahasan ini dibincangkan dalam acara “Mental (C) Emas: Ngebut Skripsi demi Ekspetasi, Kerja Rodi, hingga Tekanan Doi”, talkshow buku terbaru Foggy F.F berjudul “Melihat Lebih Jernih”, Sabtu sore, 26 Oktober 2024, di Gramedia Merdeka, Bandung.
Selain membahas buku dan pengalaman yang dialami sang penulis saat menjadi penyintas gangguan kecemasan, hadir pula psikolog yang membahas dari sudut pandang dunia psikologi.
Menurut Ike Marieta, seorang psikolog dan Direktur PIP Unpad, rasa cemas sangatlah wajar. Cemas merupakan sebuah respons alamiah manusia dalam menghadapi kondisi tertentu dan sangat dibutuhkan oleh setiap manusia. Ketidaktahuan dan ketidakjelasan akan masa depan menjadi salah satu penyebab emosi ini muncul.
“Cemas itu perlu pertama karena kita akan bisa membuat antisipasi. Kedua berarti itu alarm sebetulnya buat kita bahwa ada sesuatu yang harus kita perhatikan. Mau ujian terus kita cemas, ini alarm agar kita lebih mempersiapkan diri misalnya,” ujar Ike menjelaskan bahwa rasa cemas itu bisa menjadi emosi positif bagi manusia.
Tidak memiliki rasa cemas bisa dianggap sebagai gangguan mental. Begitupun ketika rasa cemas itu dirasakan secara berlebihan dan menganggu aktivitas. Hal inilah yang dirasakan Foggy dan dituangkan dalam buku terbarunya.
Menjadi seorang penyintas gangguan kecemasan berdampak besar dalam profesinya sebagai penulis. Kecemasan yang dirasakan Foggy sudah sampai di tahap ia mengalami kesulitan tidur dan gangguan jam makan. Pada suatu waktu ia merasa tidak mau makan, tapi di waktu lainnya, apalagi saat stres tiba, ia menjadi seorang emotional eater.
Namun, puncak dari gangguan kecemasannya adalah timbul perasaan paranoid terhadap sesuatu. Seperti saat melihat seseorang, Foggy akan merasa cemas jika orang tersebut membicarakannya. Bahkan saat melihat karya tulisannya sendiri.
“Saya itu kan senang nulis dari dulu. Cuma jadi tidak selesai-selesai gitu. Pengin mengubah semua naskah saya karena ada paranoidnya itu. Ini orang kayaknya nggak akan suka nih dengan naskah seperti ini,” cerita Foggy saat ditanyai oleh MC tentang pengalaman gangguan kecemasan yang dialaminya.
Pengalaman emosional yang ekstrem ini menyadarkan Foggy bahwa emosi ini sudah tidak lagi wajar. Ia berusaha untuk terbuka dengan orang terdekat dan mencari pertolongan dari profesional. Hal ini yang ditekankan oleh Foggy, bahwa emosi tersebut jangan dipendam dan bagaimana support system itu sangatlah penting.
Naskah awal Melihat Lebih Jernih adalah hasil tulisan jurnaling Foggy dalam proses pemulihan. Namun seiring proses pemulihan diri dengan melibatkan segala sesi kelas, meditasi, serta konsultasi yang melibatkan profesional (psikolog dan psikiater), Foggy memutuskan untuk mengumpulkan semua hal yang didapatkan.
“Saya merasa ini sangat bermanfaat. Dan ini bisa dibagi untuk orang lain gitu. Karena saya merasakan manfaatnya dan lewat instrumen-instrumen ini, saya bisa berkonsentrasi dan bisa melahirkan karya. Nah, ketika saya menjalani fase pengobatan ini. Saya meditasi, saya CBT, main kursus, dan segala macem. Fokus saya tuh jadi lebih baik gitu,” ujar penulis Braga at Paris van Java.
Baca Juga: Melihat Kemunduran Kota Bandung dari Perkembangan Jalan Braga
Edukasi dan Masalah Kesehatan Mental pada Remaja
Layanan Kesehatan Mental di Jawa Barat Belum Maksimal
Gangguan Kesehatan Mental Paling Umum Terjadi di Dunia
Dalam acara tersebut, Ika menyebutkan menurut WHO isu kesehatan mental menjadi sorotan dunia setelah pandemi Covid-19. Pernyataan tersebut merujuk pada rilisan WHO yang menyatakan bahwa pada tahun pertama pandemi Covid-19 memicu adanya peningkatan prevalensi depresi dan gangguan kecemasan sebanyak 25 persen di seluruh dunia.
WHO mengestimasi sebanyak 4 persen dari total populasi dunia pernah mengalami gangguan kecemasan. Di tahun 2019, WHO menyampaikan ada 301 juta orang mengidap gangguan kecemasan ini. Perempuan (serta anak muda) lebih terdampak oleh gangguan kecemasan ini dibandingkan laki-laki.
Menurut penelitian dari Amirah Ellyza Wahdi, MD dkk., dalam artikel berjudul The Prevalence of Adolescent Mental Disorder in Indonesia: An Analysis of Indonesia National Mental Health Survey (I-NAMHS), gangguan kecemasan merupakan gangguan kesehatan mental yang paling umum dialami oleh para remaja di Indonesia atau sebanyak 3,7 persen. Data prevalensi ini diambil dari anak dalam 6,580 keluarga dari 34 provinsi di Indonesia pada rentang umur 10-17 tahun.
Laporan singkat dari WHO tahun 2022 tersebut turut menghimbau pemangku kebijakan untuk lebih memperhatikan isu ini agar dapat menjaga kesehatan mental penduduknya. Namun, mengutip dari ANTARA, layanan kesehatan mental masih belum merata di Indonesia. Hal ini turut disampaikan oleh Warih Andan Puspitosari, dokter dan dosen Fakultas FKIK UMY dan juga seorang praktisi ahli dalam bidang kesehatan jiwa dan mental. Dibandingkan dengan kesehatan fisik, kesehatan mental masih sangat terlihat kesenjangannya di Indonesia.
Mindfulness Exercise Menjadi Salah Satu Kunci Pemulihan
Buku “Melihat Lebih Jernih” bukan hanya sekedar sebuh buku yang berisi memoar sang penyintasnya. Buku ini juga dilengkapi dengan instrumen dan teknik untuk mendukung keajegan mental seseorang, salah satu kegiatannya adalah mindfulness writing.
Ika menyebutnya mindfulness exercise yang merupakan langkah pertama yang diajarkan atau untuk membantu fokus pada masa ini. Kecemasan timbul bukan dari sesuatu yang ada di depan mata, bisa sesuatu yang terjadi di masa depan atau masa lalu. Dan sering kali kecemasan tersebut muncul tanpa ada sumber yang jelas. Maka mengembalikan fokus diri pada masa kini sangat penting.
Selain itu, kecemasan timbul dari percakapan dalam diri. Self-talk di sini perlu dikeluarkan agar tidak menumpuk dalam pikiran. Salah satu caranya adalah menulis.
“Menulis itu luar biasa sebetulnya ya. Jadi tidak harus juga punya bakat menulis dulu,” ujar Direktur PIP Unpad tersebut.
Namun, menulis bukan satu-satunya kegiatan mindfulness exercise. Kegiatan lain yang membuat seseorang fokus pada kondisi saat ini.
“Ya intinya sebetulnya di mindfulness activity ya. Bisa menulis, bisa juga olahraga atau kalau senang, memasak. Senang apa lagi? Jalan-jalan. Itu sangat mungkin,” lanjut Ika.
Pemulihan diri ini sesuai dengan anjuran WHO bagi para penderita kecemasan. WHO menyatakan, olahraga dan melatih mindfulness lewat meditasi dapat membantu menekan gejala dan juga membuat kondisi emosional lebih membaik.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel tentang Kesehatan Mental