• Kolom
  • MEMOAR BUKU #12: Buku Yang Mempengaruhi (2) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi

MEMOAR BUKU #12: Buku Yang Mempengaruhi (2) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi

Kami di Lestari ingin menerapkan sebagaimana Jean Paul Sartre yakni menjadikan menulis sebagai kebiasaan sehingga bisa menghasilkan karya bersama-sama.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Sampul buku Pendidikan Kaum Tertindas (Paulo Freire) dan Kata-kata (Jean Paul Sartre). (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)

11 November 2024


BandungBergerak.id – Pada dasarnya “Lestari” ini merupakan kelompok studi yang independen meskipun berbagai kegiatannya masih menggunakan fasilitas dari lembaga formal BEM FISIP, dari mulai penggunaan ruangan, ATK, hingga logistik sering kami gunakan. Tentunya secara keorganisasian itu bisa menimbulkan konflik interest antar mahasiswa, maka untuk menghindarinya kesekretariatan “Lestari” dipindahkan ke rumah sewaan kawan Erlan Suparlan dan Iing Sumindar yang berada di belakang kampus UNLA.

Rumah kosnya itu cukup representatif meski dihuni beberapa orang mahasiswa tetapi terdapat ruang tengah yang luas untuk membuat lingkaran berdiskusi. Dari sinilah kegiatan diskusi lebih terkoordinir dan terkonsep karena semua anggota diwajibkan untuk membuat satu topik tulisan yang akan dipresentasikan dan dikritisi bersama dengan beragam topik bahasan dari mulai isu sosial politik,  filsafat, sastra, humaniora, feminisme, dll. Kondisi seperti itu memacu semua mahasiswa untuk berlatih menulis dan berbicara di depan orang banyak dengan pikiran kritis yang berbasis pada data ataupun referensi.

Secara perlahan tetapi pasti dengan metode menuliskan, mendiskusikan dan mengkritisi secara bersama ini bisa dikatakan berhasil. Parameternya dapat dilihat dari  beberapa mahasiswa anggota “Lestari” yang awalnya pasif, tidak berani bicara dan tidak percaya diri tetapi sesudah “dipaksa” untuk mengikutinya banyak yang bisa mengembangkan potensi dirinya. Dalam menulis sesuatu biasanya kami menggunakan nickname atau nama pena, misalnya ada nama: Damar atau Dandan Mardiana, Rikuh dipakai Riki Yusuf Hamdani, Isoe milik Iing Sumindar, dan saya sendiri menggunakan nama pena Rana, begitu pun dengan yang lainnya.

Beberapa tulisan anggota Lestari di tahun 2003-2004. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)
Beberapa tulisan anggota Lestari di tahun 2003-2004. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)

Baca Juga: MEMOAR BUKU #9: Buku Sukarno Pertama yang Dibeli, Mentjapai Indonesia Merdeka
MEMOAR BUKU #10: Mengurai Hubungan Islam dan Komunisme Haji Misbach
MEMOAR BUKU #11: Buku Yang Mempengaruhi (1) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi

Kata-kata Jean-Paul Sartre

Aktivitas “Lestari” rupanya menarik, sehingga banyak mahasiswa yang ikut  bergabung dengan membawa tujuannya masing-masing. Ada yang serius, tetapi tidak sedikit juga yang sekedar numpang ataupun hanya sebagai gaya-gayaan, toh pada akhirnya alamlah yang menyeleksinya. Komitmen dan konsisten di jalur kajian dan diskusi ini memang relatif “berat” apalagi di tengah kultur hedonisme yang dominan, karena semua kegiatannya  bergelut dengan buku-buku, bacaan, informasi, dialektika dan logika. Belum lagi waktu yang harus banyak diluangkan bahkan terkadang hingga larut malam. Tetapi itulah proses yang berjalan meski terasa lelah tetapi ada “sense of belonging” sebuah rasa memiliki dan rasa kebanggaan ketika menjalani itu.

Rasa kebanggaan menjadi bagian dari “Lestari” bisa terbaca pada semua anggota, rasa itu pula yang memantik kami untuk membuat T-shirt (kaos) sebagai pelengkap identitas. Kaos dibuat berwarna putih dengan logo “Lestari” di bagian kanan depan serta bagian belakang dibubuhi kutipan berwarna biru. Atas kesepakatan bersama quote itu diambil dari filsuf eksistensialisme Jean Paul Sartre dalam buku otobiografinya Les Mots yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kata-Kata. Sedangkan untuk pemilihan diksi yang akan disablonkan pada kaos diserahkan kepada kawan Riki Yusuf Hamdani untuk menentukannya. Di halaman 44, Sartre menulis: “Agamaku telah kutemukan: tidak ada yang lebih penting daripada buku. Aku memandang perpustakaan sebagai tempat ibadah”.  Kalimat itu juga yang akhirnya kami sepakati untuk disablonkan di bagian belakang kaos.  Tentunya dengan interpretasi yang berbeda, tidak seabsolut dengan apa yang ditulis Sartre. Adapun pertimbangan kenapa filsuf Prancis itu yang dinukil karena pada saat itu nama Jean Paul Sartre selain keren juga merupakan representasi dari sebuah pertanyaan tentang suatu keberadaan, dan itu sejalan sebangun dengan kami di “Lestari” yang berkutat dengan dialektika dan logika.  

Tentang buku Kata-Kata ini, saya pertama membelinya di toko buku Anggrek yang berada di kawasan Pasar Buku Palasari dengan harga ± Rp 25.000 setelah mendapatkan diskon untuk setiap pembelian buku. Sartre menulis buku ini pada usia yang terbilang lanjut 60 tahun, isinya menceritakan periode masa kecilnya ketika tinggal dengan keluarganya yang  borjuis di kota Paris. Selain itu buku yang diterjemahkan oleh Jean Couteau ini juga menelusuri minat dan bakat Sartre dalam menyusun kata-kata. Sehingga isi bukunya juga hanya membahas dua poin, yakni: Membaca dan Menulis.

Sejak kecil Sartre sudah bersentuhan dengan buku, melalui cerita-cerita yang dituturkan ibunya. Belum lagi kakeknya Charles Schweitzer memiliki perpustakaan pribadi yang lengkap, sehingga membuat Sartre sudah akrab dengan buku sejak dini. Salah satu penulis favoritnya adalah Jules Verne yang banyak menulis tentang novel fiksi dan petualangan, seperti : Petualangan Michel Strogoff , 80 Hari Mengelilingi Dunia, Perjalanan Menuju Pusat Bumi, dll. Sedangkan dalam proses menulis, Sartre menyebut bahwa novel pertama yang ditulisnya adalah Pour un Papillon (Demi Seekor Kupu-kupu) yang menceritakan seorang ilmuwan, putrinya dan seorang penjelajah muda yang bertualang sampai ke hulu Sungai Amazon untuk mencari kupu-kupu langka. Novel itu menggambarkan betapa kuatnya alam imajinasi anak dalam mengelaborasi berbagai watak manusia. Dia bisa membangun berbagai karakter tokoh- tokoh yang ditulisnya secara hitam dan putih, baik dan buruk dengan bahasa dan perasaan seorang anak.

Keterampilannya menulis membuat Sartre semakin produktif menghasilkan karya seperti: Being and Nothingness, The Age of Reasons, Huis Close, dsb. Sehingga di tahun 1964 ia mendapat hadiah Nobel Kesusastraan tetapi ditolaknya karena menganggap akan mengaburkan makna dari apa yang ditulisnya selama ini. Tugasnya hanya menulis dan memberi suatu manfaat untuk sesama manusia, sebagaimana diungkapkannya: “Menulis adalah suatu kebiasaan dan juga pekerjaan untukku. Lama sekali aku menganggap penaku adalah pedang. Kini aku sudah tahu para penulis tidak dapat berbuat apa-apa. Tapi itu tidak penting, yang penting: aku menulis, aku akan menulis buku-buku. Buku harus tetap ada, harus ada, karena bagaimanapun berfaedah”. (Kata-Kata, Hal.: 203)

Berpose dengan tokoh oposisi Sri Bintang Pamungkas dalam sebuah acara diskusi. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)
Berpose dengan tokoh oposisi Sri Bintang Pamungkas dalam sebuah acara diskusi. (Foto: Dokumentasi Indra Prayana)

Bubarnya “Lestari”

Tadinya kami di “Lestari” ingin juga menerapkan sebagaimana Jean Paul Sartre terapkan yakni menjadikan menulis itu sebagai kebiasaan, sehingga bisa menghasilkan karya secara bersama-sama. Tetapi semuanya tidak bisa dipaksakan, karena keunikan dan kehendak setiap anggota yang berbeda.

Meski berbagai kegiatan “Lestari” terkadang mengalami inkonsistensi dan dari sisi administrasi organisasi belum tertata secara rapi, kami tetap bermetamorfosis untuk ke arah lebih baik. Salah satunya dengan menggelar kongres pertama “Lestari” pada sekitar bulan Maret 2002 yang dilaksanakan di Rancaekek Kabupaten Bandung. Atas kebaikan salah satu anggota kami bernama Beni yang bersedia memfasilitasi tempat dan segala logistik yang diperlukan selama kongres berlangsung di kediamannya yang cukup luas dan asri.

Kongres itu sendiri digelar untuk membahas AD/ART “Lestari” sebagai pedoman untuk menjalankan organisasi. Pasca kongres geliat langkah “Lestari” semakin dinamis dan banyak melakukan kolaborasi dengan lembaga formal di kampus maupun dengan berbagai komunitas di luar kampus. Di antaranya berdiskusi bareng dengan Toko Buku Ultimus ketika buka pertama kalinya di Jalan Karapitan, tak jauh dari kampus UNLA. Kami juga bekerja sama dengan BEM FISIP mendatangkan tokoh oposisi Sri Bintang Pamungkas ke kampus yang notabene milik Yayasan Polri.        

Seiring berjalannya waktu “Lestari” tidak teregenerasi secara berkesinambungan. Tidak ada estafet kepemimpinan yang mengoordinasikan roda organisasi untuk tetap berjalan sehingga cepat atau lambat ia akan menemui “ajalnya” ditelan kenyataan. Memang salah satu yang patut disesali tentang keberadaan kelompok diskusi “Lestari” itu adalah tidak terjadinya proses institusionalisasi ke dalam lembaga FISIP UNLA yang seharusnya bisa dijadikan role model oleh pihak fakultas sebagai lembaga research atau kajian strategis yang dikelola secara profesional. Tetapi sejarah tetap mencatatnya sebagai salah satu “perintis” kelompok kajian diskusi di kampus UNLA, yang sedikit banyaknya telah berkontribusi besar pada proses tumbuh dan berkembangnya kelompok yang tercerahkan, khususnya bagi yang pernah terlibat dan aktif dengan lembaga ini.  

Terlalu banyak yang luput dari ingatan dan belum tertuliskan, terutama manfaat yang dirasakan para alumninya setelah mempunyai kehidupan masing-masing. Banyak dari mereka yang sekarang  mempunyai jabatan strategis di masyarakat, ada yang sudah menjadi lurah, anggota dewan, dosen, guru, aktivis, dll. yang semuanya itu sedikit banyaknya sempat bersinggungan dengan idealisme, diskusi-diskusi dan buku-buku yang ditanamkan oleh “Lestari”. 

Wallahualam Bishawwab. 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//