CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #71: Stasiun Cicalengka, Ketika Sejarah Luruh di antara Pilar-pilar Modern
Modernisasi Stasiun Cicalengka menggusur sesuatu yang tak hanya berwujud fisik, tetapi juga berwujud makna.
Andrian Maldini Yudha
Pegiat Literasi di RBM Kali Atas
11 November 2024
BandungBergerak.id – Di antara deretan kota kecil yang terhampar di sepanjang jalur kereta api Jawa Barat, Cicalengka punya keistimewaan tersendiri. Kota kecil tersebut memiliki stasiun kereta api sendiri, Stasiun Cicalengka yang sudah berdiri sejak zaman kolonial. Stasiun Cicalengka lebih dari sekadar bangunan transit, ia adalah monumen bisu yang mengisahkan masa lampau. Berdiri sejak akhir abad ke-19, Stasiun Cicalengka dulunya hadir sebagai penjaga sejarah, bangunan tua yang penuh kenangan dengan arsitektur kolonial yang kokoh. Pilar-pilarnya, pintu kayu yang klasik, hingga atap melengkung elegan, semuanya membawa kita ke masa lalu yang megah dan penuh cerita. Namun kini, semua itu tak lagi ada.
Proyek modernisasi yang datang bak badai telah meruntuhkan seluruh jejak masa lalu. Gedung modern dengan kaca yang memantulkan sinar matahari dan desain yang serba minimalis kini berdiri di tempat yang sama. Gedung baru ini jelas nyaman dan berfungsi lebih efisien untuk kebutuhan zaman kini, tetapi bangunan yang berdiri di atas puing-puing sejarah itu seolah kehilangan ruh. Tak ada lagi kehangatan arsitektur lama yang penuh karakter, tak ada lagi dinding-dinding tebal yang menyimpan gema cerita dari masa lampau.
Dulu, Stasiun Cicalengka adalah tempat yang ramai oleh penumpang dan kisah-kisah kehidupan yang tak terhitung jumlahnya. Generasi demi generasi telah menyaksikan peristiwa di stasiun ini: tentara yang berangkat perang, keluarga yang berkumpul kembali setelah lama terpisah, hingga pedagang kecil yang menawarkan jajanan khas daerah. Bagi warga Cicalengka, bangunan tua itu bukan sekadar stasiun, melainkan jantung yang berdetak lambat tapi pasti, menyatukan masa lalu dan masa kini. Setiap sudutnya memiliki kisah yang terukir tak terlihat, tapi sangat terasa.
Tetapi sayang, cerita itu kini tinggal kenangan. Gedung baru yang berdiri megah menggantikan bangunan lama seolah menjadi simbol dari berakhirnya era yang lain. Ruang tunggu dengan lantai marmer berkilau tak lagi menyisakan ubin tua yang pudar oleh waktu, pilar-pilar baja yang kaku menggantikan kayu jati yang kokoh namun hangat. Di balik keanggunannya, gedung modern ini seolah dingin, tanpa jiwa. Tak ada lagi sejarah yang terpatri dalam dindingnya, tak ada lagi jejak-jejak masa yang tersisa.
Dalam proses ini, kita tak bisa mengelak dari perasaan kehilangan. Seperti mencabut pohon tua yang telah mengakar dalam, modernisasi ini menggusur sesuatu yang tak hanya berwujud fisik, tetapi juga berwujud makna. Stasiun Cicalengka dulunya adalah bagian dari cerita hidup masyarakatnya, bagian dari identitas kota kecil ini. Kini, kita seolah kehilangan sepotong jati diri yang selama ini tak kita sadari begitu penting.
Ironisnya, gedung modern ini memang tampak lebih "mewah" dan terkesan "maju." Ia menawarkan kenyamanan bagi para penumpang dan menjadi kebanggaan bagi yang mengidamkan wajah kota yang lebih segar. Tetapi, apakah kemajuan selalu harus datang dengan harga sebesar ini? Apakah modernisasi harus selalu meninggalkan cerita lama begitu saja? Di antara sorotan lampu LED dan gedung yang tampak lebih modern, ada rasa pilu yang membekas. Kita seolah sedang melangkah maju, namun sebenarnya kehilangan pijakan yang pernah menjadi akar kita.
Barangkali, kemajuan dan sejarah sebenarnya tak perlu selalu bertentangan. Seperti lintasan kereta yang terdiri dari dua rel, modernisasi dan pelestarian sejarah pun bisa berjalan beriringan. Andai saja ada sedikit ruang bagi bagian-bagian lama stasiun untuk tetap bertahan –mungkin satu ruang tunggu klasik atau sebuah museum mini di salah satu sudut gedung modern ini– barangkali kita masih bisa menyambung benang merah antara masa lalu dan masa kini.
Stasiun Cicalengka yang baru mungkin memang lebih efisien dan mengikuti perkembangan zaman. Namun, di balik kilau bangunan kaca dan logamnya, ada kehampaan yang sulit terisi. Sejarah yang dulu berdetak di setiap sudut bangunan lama itu kini hanya hidup dalam ingatan mereka yang pernah menyaksikannya. Kita boleh saja membangun sesuatu yang baru dan canggih, tetapi jangan lupa bahwa sesungguhnya bangunan adalah cerita; dan cerita yang besar lahir bukan dari bahan bangunan terbaik, melainkan dari makna yang ia simpan.
Ketika kita memandang gedung modern ini, mungkin kita juga perlu merenung: apa arti dari kemajuan jika ia mengorbankan akar kita? Sejarah, seberapa pun tuanya, selalu punya cara untuk mengingatkan kita akan asal usul kita. Seperti stasiun yang menjadi persinggahan dalam perjalanan panjang, bangunan bersejarah adalah persinggahan bagi jiwa kita, yang mengikat masa lalu dan masa depan. Kini, di tempat di mana Stasiun Cicalengka lama pernah berdiri, kita hanya bisa berharap bahwa modernisasi tak terus menerus melupakan pentingnya menjaga warisan, agar generasi mendatang tak hanya mengenal kisah-kisah kita dari buku sejarah semata, tapi bisa merasakannya di setiap sudut kota yang mereka tempati.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #68: Cerita Jalan Raya Baron Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #69: Cicalengka dan Dewi Sartika
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #70: Pasar Sehat Sabilulungan Cicalengka, Penjaga Identitas Lokal di Tengah Modernisasi
Sejarah dan Nilai Budaya
Stasiun Cicalengka bukan sekadar infrastruktur transportasi; ia adalah simbol dari perjalanan panjang bangsa ini. Sejak pertama kali dibangun, stasiun ini telah berfungsi sebagai saksi bisu bagi berbagai peristiwa bersejarah, dari perjalanan para pejuang kemerdekaan hingga arus urbanisasi yang semakin deras. Setiap gerbong yang melintas adalah kisah baru, dan setiap penumpang yang turun membawa harapan serta mimpi yang berbeda. Sejarah yang terkandung dalam bangunan tua ini seakan meresap ke dalam tanah tempat ia berdiri, memberikan makna yang dalam bagi warga yang merasakannya.
Namun, modernisasi yang kini menghapus jejak-jejak tersebut ibarat menyapu bersih lapisan cat yang telah memudar pada lukisan sejarah. Dalam prosesnya, kita tak hanya mengubah wajah fisik stasiun, tetapi juga melupakan cerita-cerita yang telah mengakar dalam masyarakat. Dalam sebuah kota, bangunan bersejarah adalah jembatan yang menghubungkan generasi, dan dengan menghancurkannya, kita memutus tali yang mengikat kita pada masa lalu. Seperti kehilangan bab penting dalam sebuah novel, hilangnya bangunan lama ini menyisakan kekosongan yang tak terisi.
Pihak yang mendukung rekonstruksi sering kali berargumen bahwa modernisasi adalah kebutuhan. Dalam era di mana kecepatan dan efisiensi menjadi prioritas, memang fasilitas yang lebih baik adalah langkah yang harus diambil. Gedung baru Stasiun Cicalengka menawarkan kenyamanan yang belum pernah ada sebelumnya. Ruang tunggu yang lebih luas, aksesibilitas yang lebih baik, dan teknologi terkini memberikan nilai lebih bagi para pengguna jasa kereta api. Hal ini menjadi angin segar bagi penumpang yang mengharapkan pengalaman perjalanan yang lebih baik.
Namun, di balik semua kemudahan ini, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab: “Apakah modernisasi ini membuat kita lebih baik sebagai masyarakat? Atau justru menjauhkan kita dari identitas yang telah terbangun selama ratusan tahun?” Dalam konteks ini, kita bisa mengibaratkan Stasiun Cicalengka sebagai pohon yang telah berakar kuat. Dengan menggantinya menjadi gedung modern, kita memang menambah keindahan visual, tetapi kita juga mencabut akar yang mendukung pertumbuhannya.
Ketika kita melangkah ke gedung baru yang megah, kita mungkin merasakan kebanggaan. Namun, perasaan itu tak sebanding dengan kerugian yang kita tanggung. Menggusur bangunan bersejarah berarti mengabaikan nilai-nilai yang telah terbangun di dalamnya. Bangunan-bangunan tua bukan hanya sekadar fisik, melainkan simbol dari sejarah, budaya, dan identitas lokal. Setiap goresan dan retakan pada dindingnya menyimpan cerita-cerita tentang perjuangan dan harapan, yang sayangnya kini hilang begitu saja.
Hilangnya Stasiun Cicalengka yang lama membuat kita kehilangan ruang untuk berinteraksi dengan sejarah. Seolah kita dipaksa melupakan babak-babak penting dalam kehidupan kita sendiri. Bangunan tua seharusnya menjadi ruang refleksi bagi masyarakat, tempat di mana kita bisa merenung dan belajar dari pengalaman masa lalu. Kini, gedung baru ini mungkin menawarkan kemudahan, tetapi juga menghadirkan kesepian yang mendalam –kesepian yang muncul ketika kita tidak lagi memiliki tempat untuk merenungkan kekayaan nilai sejarah yang ada.
Sangat disayangkan jika kita harus memilih antara kemajuan dan pelestarian. Seharusnya, kedua hal ini dapat berjalan beriringan. Dalam banyak kasus, bangunan bersejarah yang dilestarikan bisa menjadi daya tarik wisata yang mendatangkan keuntungan ekonomi sekaligus menjaga identitas budaya. Misalnya, di banyak negara, bangunan bersejarah diubah menjadi museum atau pusat budaya yang tidak hanya memperlihatkan sejarah, tetapi juga menjadi tempat interaksi sosial yang hidup.
Mengapa tidak melakukan hal yang sama di Stasiun Cicalengka? Mengapa tidak mempertahankan sebagian dari bangunan lama, lalu mengintegrasikannya dengan modernisasi yang sedang berlangsung? Seperti sebuah jalinan kain yang indah, di mana setiap benang mewakili sejarah dan modernitas, kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih bermakna. Mungkin kita bisa memiliki satu ruang kecil yang menceritakan sejarah stasiun ini, menampilkan foto-foto lama, dan memberikan pengunjung kesempatan untuk merasakan jejak masa lalu sebelum melanjutkan perjalanan mereka di dunia yang semakin cepat ini.
Dengan cara ini, kita tidak hanya menjaga ingatan akan masa lalu, tetapi juga memberi makna baru pada kemajuan yang kita capai. Seperti pepatah yang mengatakan, "Tak kenal maka tak sayang," kita perlu mengenal sejarah kita untuk bisa menghargai masa kini dan merencanakan masa depan dengan lebih bijak.
Dalam menghadapi tantangan modernisasi, kita perlu merenungkan nilai-nilai yang telah hilang dan bagaimana kita dapat menjaganya. Sejarah adalah warisan yang tidak boleh kita lupakan. Stasiun Cicalengka, yang kini telah kehilangan jiwanya, adalah pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara inovasi dan pelestarian. Melalui refleksi ini, kita diharapkan dapat mengambil langkah-langkah ke depan yang lebih bijak, sehingga kita bisa mengubah wajah kota tanpa mengorbankan identitas yang telah terbangun selama ini.
Dengan langkah kecil menuju pelestarian, kita tidak hanya menjaga sejarah, tetapi juga menyiapkan fondasi bagi generasi mendatang. Mari kita terus merajut kisah yang telah terputus, agar Stasiun Cicalengka, meski baru dan modern, tetap menyimpan jejak-jejak sejarah yang abadi.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.