CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #69: Cicalengka dan Dewi Sartika
Cicalengka bukan sekadar tempat pengasingan, tetapi menjadi ladang tempat Dewi Sartika menanam benih-benih perubahan dengan pendidikan untuk kaum perempuan.
Andrian Maldini Yudha
Pegiat Literasi di RBM Kali Atas
22 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Cicalengka laksana baskara yang membiaskan cahaya di ufuk timur Bandung. Bersinar dengan pesona perjuangan yang telah mengakar semenjak zaman dahulu. Di setiap sudut kota kecil ini, seolah-seolah udara yang segar membawa bisikkan para pendahulu, sosok yang memperjuangkan ilmu, pengetahuan, dan perubahan seperti embun yang menyegarkan dedaunan setiap pagi. Semangat pendidikan di Cicalengka menyaratkan dan membasahi hati dan pikiran generasi muda, untuk membuat mereka tumbuh dengan harapan dan tekad.
Ladang-ladang hijau di Cicalengka tak hanya menghasilkan padi, tapi juga menghendaki untuk melahirkan insan-insan yang berkarakter yang ditempa oleh bumi dan nilai-nilai luhur. Pendidikan di Cicalengka, tidak boleh hanya dipandang sebagai kewajiban saja, melainkan sebagai jalan hidup yang membentuk setiap pribadi untuk menjadi lebih baik. Bagaikan sungai yang mengalir tiada henti, perjuangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa di Cicalengka haruslah mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Siapa yang tidak kenal dengan Dewi Sartika, sosok perempuan tangguh yang namanya terukir indah dalam lembaran sejarah. Dari ujung pelosok desa hingga kota besar, namanya dikenal luas, menggema melalui kontribusinya yang luar biasa dalam memperjuangkan hak pendidikan dan emansipasi perempuan. Ia adalah perempuan yang lahir dari kalangan bangsawan, namun dengan hati yang melekat kuat pada nasib rakyat jelata, terutama perempuan-perempuan yang terpinggirkan dari akses pendidikan.
Di tengah masyarakat yang terkungkung oleh patriarki dan ketidakadilan, Dewi Sartika berdiri teguh, menantang arus dan menghendaki perubahan. Seperti purnama yang bersinar terang di malam kelam, ia menerangi jalan perempuan-perempuan di zamannya untuk meraih hak mereka akan ilmu, pengetahuan, dan kemandirian.
Sosok Dewi Sartika adalah salah satu teladan yang mewarnai perjalanan pendidikan di Cicalengka. Dengan dedikasi yang tiada tara, beliau menanamkan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, menciptakan landasan kuat, yang sampai saat ini haruslah beresonansi. Pantikan semangat yang didepak oleh Dewi Sartika laksana mercusuar, memancarkan sinar terang di tengah gelapnya keterbatasan, membuka jendala dunia bagi banyak orang yang gandrung akan ilmu pengetahuan.
Seperti yang dihayati oleh Dewi Sartika dengan pandangannya terhadap pendidikan. Kalau kita kesinambungkan penghayatannya, maka Di Cicalengka pendidikan tidak boleh hanya menyentuh aspek intelektual saja, tetapi harus menyentuh jiwa dan harus berakar kuat pada nilai-nilai kemanusiaan. Setiap ruang kelas adalah medan bagi tumbuhnya nilai-nilai moral, budi pekerti, dan rasa cinta kepada tanah air.
Lantas bagaimana dan seperti apakah jejak dan langkah yang dilakukan Dewi Sartika dalam kiprahnya di Cicalengka untuk memperjuangkan pendidikan? Dan nilai-nilai apa saja yang diwariskan oleh beliau kepada kaum generasi muda Cicalengka untuk diteladani?
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #66: Perjalanan Membuat SejarahCATATAN DARI BANDUNG TIMUR #67: Pesona Cicalengka dan Cerita di Balik Perbaikan InfrastrukturnyaCATATAN DARI BANDUNG TIMUR #68: Cerita Jalan Raya Baron Cicalengka
Cicalengka, Tempat Pengasingan dan Medan Perjuangan Dewi Sartika
Sejujurnya, sangat sulit untuk menemukan literatur sejarah yang menceritakan Dewi Sartika di Cicalengka secara detail. Mengingat Cicalengka, hanya sebagai tempat transit pada masa-masa beliau menjalani pengasingan karena kisruh politik yang terjadi pada waktu itu. Saya merujuk pada sebuah buku yang berjudul Ensiklopedia Tokoh Nasional: Dewi Sartika yang ditulis oleh Sylvie Tanaga (2024).
Di dalam buku itu ada satu fase yang menceritakan kehidupan Dewi Sartika pada saat diasingkan di Cicalengka. Waktu itu, media untuk menyampaikan pesan adalah dengan surat-menyurat. Satu waktu, Dewi Sartika berkumpul dengan teman-teman sebayanya dan menerima surat cinta dari seorang pria yang ditunjukkan pada teman sebayanya. Namun, pada saat itu, yang hanya bisa membaca dan menulis hanyalah Dewi Sartika saja sehingga ia selalu diminta oleh teman sebayanya untuk membacakan surat cinta yang ditujukan pada teman-temannya itu.
Setelah surat itu dibacakan, acapkali teman-temannya meminta bantuan Dewi Sartika untuk menuliskan surat balasan untuk surat cinta dari pria itu, namun sering kali Dewi Sartika mempermainkannya dengan membalas suatu penolakan atas surat cinta yang ditujukan pada teman sebayanya itu. Kisah ini menunjukkan kondisi buruknya kualitas pendidikan pada zaman itu untuk kaum perempuan, sampai-sampai mereka tidak bisa membaca.
Atas fenomena yang terjadi itu, Dewi Sartika merasa prihatin dan bertekad mengajarkan teman-temannya agar bisa membaca. Pada waktu itu, perempuan dipandang rendah, perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan, perempuan cukup mendapat perlindungan serta jaminan kehidupan yang memadai lewat iming-iming pernikahan.
Kondisi inilah yang memantik hati Dewi Sartika untuk memperjuangkan posisi sosial kaum perempuan, yakni perempuan juga berhak atas pendidikan. Menurut pendapat Dewi Sartika, pendidikan dapat mengubah dan memperbaiki nasib kaum perempuan. Hal ini tersirat dalam nasihat dia kepada murid-muridnya di kemudian hari, ketika Sekolah Wanita berhasil didirikan.
“Ieuh barudak, ari jadi awewe kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup,” kata Dewi Sartika, (Tanaga, Syilvie 2024). Di kemudian hari, Dewi Sartika mengajarkan sedikit demi sedikit keterampilan membaca dan menulis kepada kawan-kawannya, dan berusaha menyadarkan bahwa mereka juga setara sebagai perempuan dalam kancah sosial.
Selama berada di Cicalengka, Dewi Sartika tetap menjalankan misinya dalam mengajarkan perempuan tentang pentingnya pendidikan. Ia mengajarkan keterampilan-keterampilan praktis seperti menjahit dan membaca, yang pada masa itu menjadi modal penting bagi perempuan untuk mandiri.
Meski dalam keterbatasan dan pengasingan di Cicalengka, Dewi Sartika tidak pernah berhenti menyebarkan gagasan bahwa pendidikan adalah hak yang harus diperjuangkan. Di Cicalengka, ia menjadi simbol kekuatan yang tak bisa diruntuhkan oleh jarak atau waktu, ia terus menyalakan api pendidikan di tengah masyarakat yang masih terbelakang.
Cicalengka, dengan segala keheningannya, menjadi tempat di mana Dewi Sartika terus mengasuh benih-benih perjuangan yang kelak tumbuh subur di hati banyak perempuan. Pengaruhnya dalam memperjuangkan hak pendidikan tidak akan pudar.
Warisan Dewi Sartika untuk Generasi Muda Cicalengka
Dewi Sartika hadir bagai mentari yang terbit perlahan, menyinari cakrawala jiwa-jiwa perempuan yang redup oleh kebodohan dan keterasingan. Meski diasingkan di Cicalengka, semangatnya tak pernah memudar. Cicalengka bukan sekedar tempat pengasingan, tetapi ladang tempat Dewi Sartika menanam benih-benih perubahan. Setiap langkahnya di Cicalengka, menggema bagai langkah sang pahlawan di medan pertempuran, melawan kebodohan yang selama ini membelenggu kaum perempuan.
Bagi Dewi Sartika, Cicalengka adalah kanvas kosong tempat ia melukiskan masa depan perempuan dengan kuas pengetahuan dan tinta keberanian. Di tanah yang hening itu, ia menenun mimpi-mimpi besar dari benang-benang ketidakmungkinan.
Warisan Dewi Sartika bagi generasi muda Cicalengka adalah seperti mentari pagi yang mengusir kabut kelam, menyinari jalan perempuan menuju hak-hak yang setara, terutama dalam bidang pendidikan. Seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir, ia membawa aliran perubahan yang perlahan namun pasti, mengikis batu-batu patriarki yang telah lama menghalangi perempuan untuk berdiri di panggung yang sama dengan laki-laki. Dalam setiap langkahnya, ia menanamkan benih pengetahuan dan kesadaran perempuan bukan hanya bayangan yang mengikuti, melainkan cahaya yang memimpin, membentuk dan mengubah dunia melalui pendidikan.
Perjuangannya adalah bunga yang mekar di taman sejarah, keharumannya harus bisa dicium oleh generasi muda Cicalengka saat ini, harus bisa membangkitkan semangat generasi muda Cicalengka untuk tidak hanya bermimpi, tetapi berani menggenggam mimpi itu dengan pendidikan sebagai sayapnya. Ia adalah angin lembut yang berbisik di antara dedaunan, menyuarakan pesan tak tergoyahkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk belajar, tumbuh, dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Warisannya bagi perempuan bagaikan pelangi setelah hujan deras, menjanjikan langit yang lebih cerah, di mana perempuan Cicalengka harus bebas melangkah sejauh apa pun yang mereka inginkan. Ia telah membuka pintu-pintu kesempatan, dan generasi muda Cicalengka perlu berani melangkah masuk, dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah kekuatan terbesar untuk mengubah nasib.
Dalam setiap kelas yang mereka duduki, setiap buku yang mereka baca, ada semangat Dewi Sartika yang terus hidup, membisikkan bahwa masa depan ada di tangan mereka, dan pendidikan adalah kunci emas yang akan membuka pintu menuju dunia yang lebih adil dan setara.
Generasi Muda Cicalengka kini haruslah berjalan dalam jejak langkah Dewi Sartika, membawa obor terang perjuangannya, dengan keyakinan bahwa perempuan dan pendidikan adalah dua sayap yang akan mengangkat bangsa menuju kejayaan.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.