Alarm dari Sejarah Danau Purba Bandung, Cadangan Air Dikhawatirkan Menipis karena Kerusakan Lingkungan di Daerah Resapan
Selain penurunan muka tanah, Bandung yang bekas danau purba menghadapi bencana rutin banjir dan krisis air bersih karena tak terkendalinya pengeboran air tanah.
Penulis Iman Herdiana12 November 2024
BandungBergerak.id - Bagi sebagian orang mungkin sudah tahu bahwa Bandung dulunya danau purba. Hampir 90 ribu tahun lamanya Bandung tergenang oleh aliran Sungai Citarum. Danau Bandung yang terbentuk kira-kira 100.500 tahun lalu muncul setelah Gunung Sunda meletus dahsyat. Apa relevansinya sejarah danau purba dengan kondisi Bandung saat ini?
Penurunan muka tanah, banjir, dan krisis air bersih menjadi beberapa jenis bencana yang perlu diantisipasi warga Bandung kini. Topik ini disinggung oleh pegiat Geotrek Mata Bumi T Bachtiar di acara Sabtu Sore Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu, 2 November 2024. Geografiwan ini baru saja menerbitkan peta Danau Bandung Purba.
Pak Bach, demikian alumnus UPI ini akrab disapa, menjelaskan bahwa Gunung Sunda terbentuk setelah letusan Gunung Jayagiri. Gunung Sunda memiliki ketinggian 4.000 meter dari dasar sampai puncak kerucutnya. Sekitar 100.500 tahun lalu Gunung Sunda meledak dan materialnya menyumbat Sungai Citarum.
Lahar dari letusan Gunung Sunda tumpah ke kawasan Cimahi Utara sampai daerah Pematang Tengah dengan kedalaman lebih dari 40 meter. Sungai Citarum pun terbendung hanya dalam tempo semalam, bahkan mungkin beberapa menit saja.
“Seperti dongeng Sangkuriang. Citarum menggenang dan menjadi danau dari Cicalengka sampai ke Rajamandala. Batas rekonstruksinya adalah kontur 725 (mdpl) adalah batas air tertinggi,” terang Pak Bach.
Hampir seluruh Cekungan Bandung (Bandung Raya) terendam. Di saat danau purba ini menguasai wilayah Bandung Raya, lahirlah Gunung Tangkubanparahu sebagai generasi ketiga dari Gunung Sunda.
Saat ini peninggalan letusan Gunung Sunda masih bisa ditemui, antara lain di Curug Sigay yang masuk wilayah kampus UPI. Pak Bach berharap, Curug Sigay yang posisinya di belakang kampus UPI menjadi laboratorium geologi. Ada juga lava basal Pahoehoe di kawasan Tahura Djuanda, Dago, kemudian Kapulaga di dekat Ciater, Lembang.
Pak Bach menduga, bobolnya Danau Bandung disebabkan gaya sesar ataupun gempa yang merontokkan “bangunan beton” yang terbentuk selama erupsi Gunung Sunda. Lokasi jebolnya danau purba diperkirakan terjadi di sekitar Sanghyang Heuleut.
Selama ini, banyak yang meyakini bahwa jebolnya dinding danau purba terjadi di Sanghyang Tikoro di sekitar Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat. Namun menurut Pak Bach, keyakinan tersebut sulit diterima logika karena bendungan yang bobol posisinya lebih hulu lagi, yakni di Sanghyang Heuleut.
Setelah jebol, air danau purba tidak seluruhnya surut. Danau Bandung meninggalkan kawasan berair atau rawa. Tak heran jika di Bandung banyak daerah dengan nama ranca seperti Rancacili, Rancabadak, Rancanumpang, Rancamanyar, dan sebagainya. Artinya, kata Pak Bach, toponimi (nama tempat) berkembang sesuai perkembangan tempat.
Salah satu pencaharian yang tumbuh dari banyaknya ranca adalah perikanan. Di kawasan Bandung banyak warga yang memiliki kolam-kolam ikan atau balong. “Dulu ada varietas ikan mas majalaya yang enak dipepes,” kata Pak Bach.
Belajar dari Sejarah, Apa Bahaya ke Depan (Sekarang)?
Sejarah danau purba Bandung mau tak mau berpengaruh di masa kini. Di bagian bawah kawasan Bandung adalah lumpur dan air peninggalan danau purba. Pak Bach menjelaskan, Cekungan Bandung dikelilingi oleh patahan gempa aktif Sesar Lembang. Jika patahan ini bergerak, kondisi tanah Bandung Raya yang bekas danau purba menjadi sangat rentan.
“Kalau digoyang dengan kekuatan 5–6 (gempa), air yang di bawah Bandung itu dapat naik ke atas dan mungkin amblas,” ujarnya.
Pak Bach prihatin dengan fenomena pengeboran air tanah di Bandung yang tak terkendali. Pengambilan air tanah saat ini cenderung menyasar bagian terdalam air tanah demi mendapatkan air jernih. Padahal, jika air tanah di bagian dalam habis, maka alam akan kesulitan mengisi kembali cadangan airnya mengingat kondisi resapan air saat ini sudah rusak, belum lagi dengan alih fungsi lahan besar-besaran di kawasan Bandung.
Pengambilan air tanah bagian dalam hanya akan semakin mempercepat penurunan muka tanah. Pak Bach berharap, kalaupun ingin mengebor sumur sebaiknya mengambil air permukaan saja walaupun airnya tidak jernih.
“Hiduplah harmoni dengan alam, kalau airnya kuning dan bau, lebih baik difilter saja, karena kita menyedot air dari lumpur. Kalau disedot terus terusan, akan sulit untuk mengisi ulang air bawah tanahnya. Lingkungan sekitarnya sudah rusak,” katanya.
Baca Juga: Krisis Air Bersih Menerjang Bandung Timur
Masalah Air Bersih yang Menjadi Keluhan Berulang Masyarakat Bandung
Menyikapi Fatwa MUI tentang Perubahan Iklim di Tengah Ramalan Krisis Air Bersih dan Pangan di Indonesia
23 Centimeter Per Tahun
Penurunan muka tanah Kota Bandung sudah diperingatkan oleh banyak ahli. Angkanya mencapai 23 centimeter per tahun, seperti dipaparkan Silmi Fawzya Ludya, Irwan Gumilar, Hasanuddin Z. Abidin di jurnal “ITB Indonesian Journal of Geospatial Vol. 05, No. 1, 2016.
“Cekungan Bandung merupakan wilayah dengan tingkat penurunan muka tanah yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil survei sembilan GPS yang dilakukan dari tahun 2000 sampai 2011, beberapa lokasi di Cekungan Bandung mengalami penurunan muka tanah dengan laju rata-rata sekitar 8 cm/tahun dan dapat mencapai angka 23 cm/tahun pada lokasi-lokasi tertentu (Abidin, 2012),” demikian kata para peneliti.
Penyebab terjadinya penurunan muka tanah di Cekungan Bandung di antaranya pengambilan air tanah berlebihan, beban konstruksi, dan aktivitas tektonik. Fenomena penurunan muka tanah memiliki dampak langsung dan tidak langsung, yaitu retaknya bangunan, rusaknya infrastruktur, kerusakan lainnya, serta meluasnya area banjir.
“Dampak tersebut mengakibatkan kerugian baik dari segi ekonomi, pertanian, dan lingkungan. Bangunan yang rusak akibat tergenang banjir membutuhkan biaya pemeliharaan dengan jumlah yang tidak sedikit yang tentunya sangat merugikan dari segi ekonomi,” papar para peneliti.
Peneliti melihat dampak penurunan muka tanah dari aspek ekonomi. Penelitian dilakukan di Kelurahan Baleendah, Kabupaten Bandung. Hasilnya kerugian akibat penurunan tanah sebesar 633 miliar rupiah untuk isi bangunan dan 452 miliar untuk struktur bangunan. Kerugian ini baru dihitung dari satu kelurahan saja. Sementara di Bandung Raya ada ratusan kelurahan!
*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca artikel-artikel lainnya tentang Danau Bandung dalam tautan ini