• Berita
  • PeaceGeneration dan Campaign di Bandung: Enam Komunitas Bersiap Mempromosikan Keberagaman dan Toleransi di Sekolah-sekolah di Jawa Barat dan Sumatra.

PeaceGeneration dan Campaign di Bandung: Enam Komunitas Bersiap Mempromosikan Keberagaman dan Toleransi di Sekolah-sekolah di Jawa Barat dan Sumatra.

Kegiatan lintasagama ini berisi edukasi tentang keberagaman dan toleransi. Memahami cara mengatasi konflik dengan saling memaafkan.

Kegiatan Breaking Down The Walls (BDW) Community Bootcamp, diselenggarakan oleh Peace Generation dan Campaign dengan dukungan JISRA, di Bandung, Senin, 11 November 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul13 November 2024


BandungBergerak.id“Perbedaan ekonomi itu bukan hal yang membuat kita menjadi mendiskriminasi orang lain. Karena sebagai makhluk sosial, kita saling membutuhkan, baik miskin maupun kaya,” ungkap salah seorang peserta kegiatan Breaking Down The Walls (BDW) Community Bootcamp, diselenggarakan oleh PeaceGeneration Indonesia dan Campaign dengan dukungan JISRA, di Bandung, Senin, 11 November 2024.

Mengenakan jeans, kaos biru, dan cardigan hitam, peserta perempuan tersebut menanggapi materi yang disampaikan oleh lima peserta lainnya yang memberikan micro-teaching tentang “Kaya Gak Sombong Miskin Gak Minder”. Ia juga menyatakan, menghargai seseorang seharusnya bukan berdasarkan apa yang dimiliki. Sebab, baik seorang yang miskin maupun kaya, keduanya memiliki godaan.

Rangkain micro-teaching ini merupakan salah satu metode pembelajaran dalam kegiatan Community Bootcamp untuk empat orang perwakilan dari masing-masing enam komunitas asal Jawa dan Sumatra yang diselenggarakan selama empat hari, Minggu-Rabu, 10-13 November 2024. Enam komunitas terpilih ini nantinya akan melakukan kegiatan Breaking Down The Walls di daerahnya masing-masing, menyasar tiga sekolah dengan latar belakang berbeda. Setelah pemberian micro-teaching, para peserta pun mendapat masukan, feedback, dan apresiasi dari trainer PeaceGen.

“Lingkaran pertemanan, semakin ke tengah akan semakin banyak potensi konfliknya. Kalau semakin keluar, juga potensi konfliknya semakin kecil,” jelas trainer Intan memberikan materi tentang “Memilih Teman dan Bersikap Inklusif”, salah satu dari 12 Nilai Dasar Perdamaian (NDP) yang diajarkan kepada para peserta.

Intan menerangkan, lingkaran bagian dalam biasanya terdiri dari satu hingga lima orang terdekat yang benar-benar memahami diri kita dan menyimpan rahasia terdalam. Biasanya disebut sebagai sahabat. Lingkaran kedua (median) adalah orang yang disukai, karena kesamaan hobi atau aktivitas. Lingkaran ini akan semakin berkurang jumlahnya seiring kegiatan dan aktivitas yang berubah. Biasa disebut teman.

Sementara lingkaran luar adalah yang paling dinamis. Bersama orang-orang ini, kita bisa tertawa bersama, tetapi tidak berbagi pemahaman dan rahasia diri yang mendalam. Mereka disebut kenalan. “Jangan hanya berteman dengan sesama kamu, tetapi harus terbuka. Karena keanekaragaman itu adalah anugerah,” ujar Intan kepada para peserta.

Setiap peserta dibekali modul 12 NDP yang disesuaikan dengan agamanya masing-masing. Perbedaan modul itu terletak pada ayat dan doa saja, sementara sisanya sama. Bootcamp itu berjalan dengan suasana yang cair. Materi disampaikan bukan dengan pemberian penjelasan saja, tetapi dibarengi dengan pendekatan permainan partisipatif dan kreatif.

Enam Komunitas “Terbaik”

Learning and Product Development Manager PeaceGeneration Indonesia, Linda (29 tahun) menerangkan, enam komunitas yang mengikuti bootcamp adalah komunitas terpilih yang akan mengimplementasikan program BDW di daerahnya. BDW adalah inisiatif untuk membangun sebanyak mungkin ruang perjumpaan dengan identitas yang berbeda melalui sekolah menengah pertama (SMP). Enam komunitas ini nantinya akan mendampingi dan berkolaborasi dengan sekolah dengan identitas agama yang berbeda.

“Misalnya, sekolah Kristen nanti berkolaborasi dengan sekolah dari Muslim, atau Yayasan Budha, negeri, maupun pesantren. Karena ini juga gak lepas dari fokusnya PeaceGen, kita percaya bahwa kalau sekolah-sekolah ini bisa berkolaborasi antara guru dan siswanya, peacebuilding ini bisa disemai sedini mungkin,” ungkapnya di sela-sela kegiatan.

Empat perwakilan dari masing-masing komunitas ini akan melakukan pelatihan kepada guru-guru dari tiga sekolah yang akan berkomitmen untuk berpartisipasi dalam program BDW. Selanjutnya, komunitas bersama para guru akan melaksanakan pelatihan kepada siswa SMP, dengan target 10 siswa yang akan mewakili sekolahnya masing-masing.

“Nanti guru akan kita aktivasi sebagai fasilitator. Jadi bareng-barenglah komunitas dengan guru bikin pelatihan buat siswa. Setelah itu nanti siswa akan kita kasih challenge, bikin mini proyek kolaborasi yang berisi anggota dari sekolah yang berbeda. Jadi nanti mereka bisa bikin mini proyek dan mereka bisa menghasilkan output bersama, misal untuk menjawab permasalahan di bidang perdamaian, entah anti-bully, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, dan sebagainya,” jelas Linda.

Enam komunitas dari Jawa dan Sumatra ini dibekali 12 NDP selama bootcamp. Modul 12 NDP, kata Linda, merupakan formula yang sudah terbukti selama 17 tahun PeaceGen berkarya. Modul ini disusun dengan melihat konteks keberagaman di Indonesia dan potensi konflik yang membersamai karena adanya keberagaman itu. 12 NDP ini disusun ke dalam tiga bagian, yaitu cara pandang terhadap diri sendiri dan orang lain, soal prasangka, dan resolusi konflik.

“Kita gak ingin konflik, tapi namanya hidup pasti akan selalu penuh dengan potensi konflik. Yang menjadi masalah itu adalah ketika orang-orang memilih untuk mengatasi konflik dengan cara kekerasan. Makanya bagian yang terakhir itu kita memperkenalkan cara-cara penyelesaian konflik non-kekerasan. Jadi sembilan langkah menyelesaikan konflik dari mulai bar-bar sampai yang damai. Bagian terakhir itu adalah formula yang sangat powerful untuk mengatasi konflik yaitu adalah tentang memaafkan dan memberi maaf,” ungkapnya.

Sementara Project Lead untuk Program #Friendship4Peace dari Campaign, Benaya Jonatan (25 tahun) menerangkan, enam komunitas yang terpilih itu, merupakan hasil seleksi dari 20 komunitas/organisasi terbaik yang melakukan kampanye sosial melalui aplikasi Campaign #ForABetterWorld. Enam komunitas itu adalah 1001 Mimpi Bocil, Charity Maintenance Reality (CAMAR), Inspiration House, Kompas Iman, Nasyiatul Aisyiyah Lampung, dan PBHI Sumatra Barat.

Campaign merupakan startup pengembang aplikasi kampanye sosial bernama Campaign #ForABetterWorld yang berfokus pada isu pendidikan, kesetaraan, lingkungan dan kesehatan. Aplikasi ini mendorong tiga pihak utama, yaitu sponsors atau funders, organizers, dan supporters. Organizers akan mendapatkan donasi dari sponsors jika supporters (pengguna aplikasi) menyelesaikan kampanye sosial tersebut.

Keenam komunitas dari 20 yang terpilih itu merupakan hasil kurasi, tiga terbaik dari Pulau Jawa dan Sumatra dalam menjalankan kampanye sosial selama beberapa bulan di dalam platform Campaign. Keenam komunitas terpilih ini lantas mendapatkan grant untuk menjalankan kegiatan BDW di daerahnya masing-masing, yang diawali dengan pembekalan melalui bootcamp.

“Jadi bukan berarti yang 20 itu bukan berperforma. Kami berusaha memastikan, ketika mereka sudah melaksanakan kampanye sosial itu, yang perform oke, yang selesai lebih baik dan lebih dari target, atau lebih cepat dari deadline, itu memang akan dipercayakan oleh PeaceGen untuk melaksanakan kegiatan ini secara langsung, offline. Kami membantu kurasi enam komunitas, sesuai gak latar belakang organisasi dengan tujuan BDW dan juga performa ketika kampanye sosial,” jelasnya.

Baca Juga: Belajar Filsafat dari Keberagaman
Membumikan Nilai Toleransi dan Keberagaman Gender pada Anak SMA
Tumbuh dalam Keberagaman

Metode Menarik dan Tantangan di Masing-Masing Daerah

Peserta dari PBHI Sumatra Barat, Sarah Azmi (25 tahun) menyatakan bahwa metode pelatihan yang diberikan tidak membosankan, ringan, dan materinya tersampaikan dengan baik. Menurutnya, 12 NDP yang akan menjadi bekal untuk disampaikan kepada guru dan siswa sangat relevan, meski ada beberapa hal yang perlu disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing.

“Aku bisa bertahan lama (selama pelatihan) karena metode fasilitatornya yang cukup keren menurutku. Mereka tidak membuat peserta bosan, kita menunggu, selanjutnya mereka punya metode apa lagi ya untuk mengajarkan kita. Di samping materinya itu juga tersampaikan dengan baik,” ungkapnya.

Sarah menjelaskan, di Sumatra Barat terdapat persoalan sulitnya membangun rumah ibadah bagi teman-teman Kristiani. Isu pembangunan rumah ibadah selalu dihadapkan dengan kekhawatiran akan mempengaruhi iman Umat Islam sebagai mayoritas di tanah Minangkabau. Stigma dan asumsi macam itu sudah tertanam di tengah-tengah masyarakat.

Ia berpendapat, cara berpikir seperti itu berbahaya. Makanya, perlu ada upaya untuk memastikan bahwa generasi mendatang memiliki pemikiran yang adil sejak dalam pikiran. Adapun untuk mencapai tahap ini, ia sependapat untuk menyalurkannya melalui sekolah.

“Penting menyasar anak-anak sekolah dan guru, karena itu kan salah satu tempat kedua selain rumah, mereka punya waktu banyak untuk belajar. Meskipun prosesnya barangkali tidak selesai 3 hari ya, tapi mereka harus tau dulu. Ayo kita adil dalam berpikir. Metode yang digunakan ke siswa-siswa itu dengan cara yang cukup ringan, tapi dia sampai. Aku punya keyakinan, dalam konteks keberagaman, sekolah punya pengaruh yang besar untuk memproduksi cara berpikir, makanya itu menjadi sasaran yang tepat,” ungkapnya.

Sementara peserta lainnya, Koordinator Kompas Iman Tasikmalaya, Rifqi Taufiq Sidqi (34), juga sependapat dengan Sarah. Menurutnya, metode pelatihan yang diberikan mudah dipahami dan sesuai dengan orang-orang muda. Hanya saja, dalam implementasi nanti di sekolah-sekolah, terutama di Tasikmalaya, pihaknya perlu berhati-hati dan menyusun strategi yang relevan. Sebab, di Tasikmalaya yang terbilang homogen, sangat rentan jika langsung menarasikan ajakan terkait perbedaan atau toleransi.

“Ini tools yang keren, dibawakan dengan cara yang keren dan memang ini pas kepada orang muda. Walaupun memang di beberapa tempat kita harus betul-betul menyesuaikan. Karena kadang, contoh, kita berbeda keyakinan kita berteman, itu lumayan agak sensitif. Makanya kita harus memikirkan bagaimana cara menggunakan tools yang 12 ini untuk diimplementasikan dalam kegiatan selanjutnya. Mungkin pinter-pinter ke pengemasannya aja sih,” jelasnya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Keberagaman dan Toleransi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//