Integrasi Pesantren dan Sekolah Umum dalam Pandangan Abdurrahman Wahid
Integrasi antara pendidikan pesantren dan sekolah umum menjadi langkah strategis yang penting untuk mengatasi dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Irfan Limbong
Bisa diajak ngobrol tentang puisi esai sambil ngopi, walau tidak merokok. Sedang menyantri di Ndalem Wongsorogo.
14 November 2024
BandungBergerak.id – Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya, termasuk dalam hal sistem pendidikan. Di antara berbagai sistem pendidikan yang berkembang di negara ini, pendidikan pesantren dan pendidikan formal seperti sekolah umum atau perkuliahan merupakan yang paling dominan. Pesantren, sebagai salah satu bentuk pendidikan nonformal, dianggap sebagai sistem pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren telah ada jauh sebelum munculnya pendidikan dengan sistem sekolah. Lembaga pesantren tumbuh sebagai bentuk strategi umat Islam untuk mempertahankan keberadaannya dari pengaruh penjajahan Barat, serta akibat dari surau, langgar, atau masjid yang tidak lagi mampu menampung jumlah anak-anak yang ingin belajar agama. Selain itu, munculnya pesantren juga didorong oleh keinginan untuk lebih mengintensifkan pendidikan agama bagi anak-anak. Pendidikan formal seperti sekolah, madrasah, dan lembaga pendidikan formal lainnya baru berkembang setelah kemerdekaan. Pesantren, yang diakui sebagai model pendidikan Islam pertama di Indonesia, hingga kini masih eksis dan mampu mempertahankan reputasinya di masyarakat. Namun, beberapa pesantren saat ini mungkin masih memiliki peran yang terbatas karena kurangnya kredibilitas dan minimnya fasilitas yang tersedia (Susilo & Wulansari, 2020).
Karena sejarahnya yang lahir jauh sebelum adanya sekolah umum, pesantren sering dianggap sebagai lembaga pendidikan yang sudah ketinggalan zaman. Banyak orang beranggapan bahwa pesantren sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini sering terdengar di kalangan masyarakat tertentu yang lebih mengutamakan pendidikan formal, terutama sekolah umum. Mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan yang paling relevan saat ini adalah yang diberikan di sekolah atau perguruan tinggi. Sebaliknya, ada kelompok lain yang juga ekstrem. Kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama dan memandang rendah pendidikan formal atau setidaknya menempatkan pesantren di posisi kedua. Mereka sangat fanatik terhadap kehidupan pesantren dan menolak keras pendidikan formal. Mereka berpendapat bahwa pendidikan formal, seperti sekolah dan perkuliahan, adalah tradisi Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, mereka menolak integrasi antara pendidikan pesantren dan sekolah umum. Pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan ilmu agama ini dipegang oleh sebagian tokoh atau ulama, terutama sejak mulai munculnya pertentangan antara ilmu agama dan ilmu filsafat, yang pada akhirnya menimbulkan resistensi terhadap "ilmu-ilmu umum," bahkan sampai pada pelarangan untuk mempelajarinya.
Melihat adanya opini yang saling bertentangan tersebut, tampaknya diperlukan sosok yang dapat menjadi penengah di antara kedua pandangan tersebut. Salah satu tokoh yang mencoba meluruskan pemahaman ini adalah Abdurrahman Wahid, seorang pembaru dalam pendidikan pesantren. Abdurrahman Wahid secara tersirat berpendapat bahwa kedua jenis pendidikan tersebut sama-sama penting. Dalam salah satu bukunya, ia menjelaskan bahwa bahkan dalam sistem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswa dapat "dibentuk" menjadi ulama atau ahli agama. Oleh karena itu, tidak ada salahnya menerima kehadiran "sekolah umum" di lingkungan pesantren. Kepada siswa-siswa di sekolah umum ini, pendidikan agama dapat diberikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang diatur sesuai dengan jenjang pendidikan mereka. Sementara itu, bagi mereka yang ingin menjadi ulama, masih terbuka peluang untuk mempelajari ilmu agama secara mendalam, baik melalui pendidikan formal di madrasah maupun melalui pengajian sebagai bentuk pendidikan nonformal (Bahri, 2018).
Pandangan Abdurrahman Wahid menunjukkan betapa ia adalah seorang tokoh yang sangat moderat. Meskipun ia lahir dan besar di lingkungan pesantren, ia tidak menjadi fanatik terhadap pesantren, apalagi sampai menolak keberadaan sekolah umum. Menurut Abdurrahman Wahid, pendidikan Islam memiliki berbagai model pengajaran, baik dalam bentuk pendidikan formal di sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti pengajian, arisan, dan lain sebagainya. Keragaman jenis dan corak pendidikan Islam ini jelas terlihat di Indonesia saat ini. Ketidakmampuan untuk memahami realitas ini, yaitu dengan menganggap bahwa hanya lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah yang merupakan institusi pendidikan Islam, justru akan mempersempit pandangan tentang pendidikan Islam itu sendiri. Pandangan semacam itu hanya menekankan satu sisi pendidikan Islam, yaitu pendidikan formal, dan melupakan sisi lainnya, yaitu pendidikan non-formal. Tentu saja, hal ini menjadi tantangan besar bagi para perencana pendidikan Islam. Oleh karena itu, penulis merasa penting untuk menguraikan pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai integrasi antara pendidikan pesantren dan sekolah, khususnya sekolah umum. Alasan penulis memilih pemikiran Abdurrahman Wahid, meskipun ada tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid dan Zamakhsyari Dhofier, adalah karena keunikan pemikirannya. Unik dalam arti bahwa Abdurrahman Wahid, meskipun berasal dari lingkungan pesantren, tidak fanatik terhadap pesantren, tetapi justru sangat mendukung keberadaan sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren, bahkan berupaya menjadikan sekolah-sekolah tersebut bagian dari pesantren.
Baca Juga: Mengenal Pendidikan Pesantren Ala K.H. Hasyim Asy’ari
Meninjau Pemikiran Hasan Hanafi Mengenai Oksidentalisme Menjawab Invasi Budaya Barat
Menyelami Konsep Teologi Revolusioner Hassan Hanafi
Perspektif Abdurrahman Wahid
Mengenai integrasi antara pesantren dan sekolah umum, Abdurrahman Wahid dalam salah satu bukunya yang berjudul “Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren“ menyatakan: (Abdurrahman Wahid, 2010)
"... saatnya bagi kita semua untuk merencanakan dan melaksanakan pendirian 'sekolah-sekolah umum' secara luas di lingkungan pesantren dengan cara yang baik dan hati-hati. Kita semua akan merasakan manfaat dari program semacam ini dalam jangka panjang, terutama dalam mengurangi dualisme pendidikan di negara kita secara bertahap, tanpa merugikan pihak manapun yang terlibat dalam dunia pendidikan."
Meskipun Abdurrahman Wahid tidak secara eksplisit menyebutkan keinginannya untuk mengintegrasikan kedua sistem pendidikan di Indonesia, pernyataannya menunjukkan bahwa ia mendukung integrasi ini. Ia secara jelas mengajak masyarakat, terutama pemerintah, untuk mulai mendirikan sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren. Sekolah-sekolah umum yang dimaksud Abdurrahman Wahid adalah yang tidak berorientasi pada pendidikan agama, seperti SD, SMP, dan SMA.
Sebagai seorang tokoh yang lebih dikenal sebagai politikus, pandangan Abdurrahman Wahid mengenai pendidikan sangat penting untuk dipahami. Hal ini karena tidak banyak tokoh yang, meskipun dikenal dalam bidang tertentu, masih peduli terhadap aspek atau bidang lain. Sikap toleransi tinggi yang dikenal pada dirinya juga tercermin dalam pandangannya mengenai pendidikan. Pernyataannya yang menginginkan tidak adanya pihak yang merasa dirugikan menunjukkan komitmennya terhadap toleransi. Meskipun pandangannya dinilai sangat baik, ia tidak memaksakan pendapatnya.
Bukti tambahan bahwa Abdurrahman Wahid mendukung integrasi antara pesantren dan sekolah adalah pandangannya bahwa pesantren harus berkembang dan mampu bersaing di era modern. Untuk dapat bersaing dalam zaman yang serba maju ini, pesantren perlu mengikuti perkembangan zaman. Namun demikian, sebagai lembaga pendidikan yang mandiri, pesantren harus tetap mempertahankan keautentikan dan ciri khasnya.
Integrasi Kurikulum pada Pesantren dan Sekolah Umum
Kurikulum yang diterapkan di pesantren selama ini menunjukkan pola yang konsisten. Pola tersebut dapat dirangkum dalam beberapa poin berikut: (a) kurikulum dirancang untuk membentuk ulama di masa depan; (b) struktur dasar kurikulum mencakup pengajaran pengetahuan agama pada semua tingkatannya serta memberikan bimbingan pribadi kepada santri oleh guru atau kiai; (c) secara umum, kurikulum bersifat fleksibel, artinya santri memiliki kesempatan untuk menyusun kurikulum mereka sendiri, baik sepenuhnya maupun sebagian, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka, bahkan di pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun (Wicaksono, 2022).
Saat ini, pesantren dihadapkan pada kompetisi yang semakin ketat dengan institusi pendidikan lainnya. Dalam persaingan pendidikan di Indonesia, pesantren harus berusaha meningkatkan kualitas output pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan utama masyarakat, khususnya umat Islam. Untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja di era modern, pesantren perlu membuka diri terhadap sistem baru yang ada. Salah satu langkah inovatif yang diperlukan adalah pendirian sekolah umum di lingkungan pesantren. Hal ini penting karena dunia kerja di Indonesia umumnya mengakui ijazah pendidikan formal. Oleh karena itu, agar pesantren dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, perlu adanya lembaga pendidikan yang dapat memfasilitasi tujuan ini.
Program ini berlandaskan pada penilaian bahwa pesantren sebaiknya mendirikan sekolah-sekolah non-agama di lingkungan mereka, daripada hanya mengandalkan madrasah seperti yang umumnya dilakukan oleh banyak pesantren. Fokus pada pendirian sekolah umum bertujuan untuk memastikan transfer ilmu-ilmu umum lebih efektif, sementara transfer ilmu agama tetap dapat dilakukan melalui pesantren itu sendiri. Dengan mengintegrasikan sekolah non-agama ke dalam sistem pendidikan pesantren tradisional, diharapkan santri dapat menguasai pengetahuan dasar agama saat mereka menyelesaikan pendidikan non-agama di pesantren.
Seiring dengan perubahan arah kurikulum tersebut, Abdurrahman Wahid juga menekankan pentingnya menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, dengan syarat ilmu agama tetap mendapat porsi yang signifikan dalam kurikulum pesantren. Porsi ini sebaiknya diberikan secara kualitatif, bukan hanya kuantitatif. Dengan kata lain, seperti yang diungkapkan oleh Abuddin Nata dalam kutipan Abdullah, modernisasi kurikulum pesantren harus tetap mempertahankan jati dirinya, agar pesantren tidak kehilangan identitasnya. Namun, pada akhirnya, semua ini bergantung pada kemauan pengelola pesantren.
Integrasi Tujuan Pendidikan pada Pesantren dan Sekolah Umum
Di Indonesia, tujuan pendidikan diatur dalam rumusan yang dikenal sebagai tujuan pendidikan nasional, yang tercantum dalam Undang-jundang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya adalah agar peserta didik dapat berkembang menjadi individu yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.”
Selain tujuan pendidikan secara umum yang telah disebutkan, terdapat pula tujuan khusus dari pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai ibadah kepada Allah dalam kehidupan individu dan masyarakat. Ibadah kepada Allah tidak hanya terbatas pada ritual ibadah mahdah (ibadah yang bersifat khusus), tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan. Salah satu bentuk ibadah gairu mahdah (ibadah yang tidak bersifat khusus) yang bernilai ibadah adalah mencari nafkah. Di Indonesia, kebutuhan akan lulusan pendidikan formal dalam dunia kerja sangat tinggi, sehingga penting bagi pesantren untuk menyertakan sekolah umum di dalamnya. Tujuan utamanya adalah agar pesantren dapat menyeimbangkan pembelajaran tentang ibadah mahdah dengan pendidikan yang mempersiapkan santri untuk dunia kerja.
Menurut Abdurrahman Wahid, tujuan pendidikan pesantren tidak hanya berfokus pada upaya tafaqquh f? al-d?n (pendalaman ilmu agama) yang menghasilkan individu dengan pengetahuan agama setingkat ulama, tetapi juga pada integrasi antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Dengan demikian, lulusan pesantren diharapkan memiliki kepribadian yang utuh dan seimbang, yaitu seseorang yang memiliki keimanan yang kuat dan pengetahuan yang seimbang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan menurut Abdurrahman Wahid adalah untuk mencetak individu yang cerdas secara intelektual dan spiritual (Wicaksono, 2022).
Tujuan tersebut secara jelas menunjukkan keinginan pesantren untuk mengintegrasikan pendalaman ilmu agama dengan pengetahuan umum. Lebih jauh lagi, pencapaian tujuan ini didukung oleh upaya konkret seperti pendirian sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren. Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan lulusan pesantren dapat memenuhi kebutuhan dunia kerja dengan lebih baik.
Pentingnya Integrasi Pesantren dan Sekolah Umum dalam Pandangan Gus Dur
Integrasi antara pendidikan pesantren dan sekolah umum bukan hanya merupakan sebuah proses tersendiri, tetapi juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi perkembangan komponen agama dan non-agama di pesantren. Contohnya, beberapa pesantren telah mendirikan sekolah-sekolah non-agama seperti SMP dan SMA dalam lingkungan pesantren, dengan mengikuti kurikulum yang sama seperti sekolah umum di luar pesantren. Namun, tidak semua pesantren telah berhasil mengembangkan kedua komponen ini secara efektif, dan beberapa mengalami kesulitan dalam upaya pengembangan ini (Wicaksono, 2022).
Menurut Abdurrahman Wahid, terdapat beberapa kesalahan dasar dalam pengembangan komponen non-agama di pesantren, yaitu:
- Upaya yang lebih banyak berfokus pada intelektualisme verbal yang dipenuhi teori-teori kompleks namun tidak mampu menyelesaikan masalah praktis. Terlalu banyak teori sering kali membuat peserta didik hanya terfokus pada pengetahuan kognitif, padahal pendidikan harus mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan adanya Kurikulum 2013 yang lebih menekankan aspek afektif, penting untuk memastikan bahwa materi pendidikan tidak hanya diajarkan secara teori tetapi juga diterapkan secara praktis di lapangan.
- Penanganan kurikulum yang dilakukan secara terpisah-pisah, tanpa pendekatan multidisipliner yang menyeluruh. Pendekatan ini seharusnya menggabungkan berbagai disiplin ilmu, baik agama maupun non-agama, untuk menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan nyata di masyarakat. Dengan bekal berbagai disiplin ilmu, lulusan diharapkan tidak merasa terkejut saat menghadapi situasi di lapangan.
- Kurangnya integrasi yang utuh antara komponen agama dan non-agama. Integrasi yang diharapkan tidak hanya terjadi di pesantren, tetapi juga pada sekolah umum. Pesantren yang terintegrasi akan lebih terbuka terhadap masukan demi kemajuan, begitu pula dengan sekolah umum yang akan lebih mudah berkolaborasi dengan pesantren. Tujuan akhir dari pengembangan ini adalah menciptakan lulusan dengan kepribadian yang utuh, menggabungkan keimanan yang kuat dan pengetahuan yang seimbang, serta memiliki cakrawala pemikiran yang luas dan keterampilan praktis untuk memecahkan masalah.
Penutup
Integrasi antara pendidikan pesantren dan sekolah umum merupakan langkah strategis yang penting untuk mengatasi dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia. Abdurrahman Wahid, sebagai tokoh berpengaruh, mendukung integrasi ini dengan mendorong pendirian sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren. Walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan keinginannya untuk menyatukan kedua sistem pendidikan, pandangannya menunjukkan dukungan terhadap integrasi tersebut, dengan tujuan mengurangi perbedaan antara pendidikan agama dan umum.
Kurikulum pesantren yang selama ini berfokus pada pembentukan ulama perlu diadaptasi untuk menghadapi persaingan di era modern. Dengan mendirikan sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMA di lingkungan pesantren, diharapkan pesantren dapat memenuhi kebutuhan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas output pendidikan. Hal ini mencakup pengintegrasian ilmu agama dan pengetahuan umum, sehingga lulusan pesantren tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang mendalam, tetapi juga keterampilan dan pengetahuan umum yang relevan dengan tuntutan dunia kerja.
Abdurrahman Wahid juga menggarisbawahi beberapa kesalahan dalam pengembangan pendidikan non-agama di pesantren, seperti fokus berlebihan pada teori yang tidak aplikatif, penanganan kurikulum secara terpisah-pisah, dan kurangnya integrasi antara komponen agama dan non-agama. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang seimbang, pesantren perlu mengadopsi pendekatan multidisipliner dan memastikan kurikulum yang mengintegrasikan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Dengan demikian, lulusan pesantren akan memiliki kepribadian yang utuh, keterampilan praktis, dan pandangan yang luas, serta siap menghadapi tantangan di masyarakat.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pemikiran Islam