• Opini
  • Bagaimana Sebaiknya Kita Menempatkan Ujian Nasional dan Asesmen Nasional dalam Pikiran kita?

Bagaimana Sebaiknya Kita Menempatkan Ujian Nasional dan Asesmen Nasional dalam Pikiran kita?

Bagaimana menjadikan agar sistem evaluasi ini menjadi adil bagi semua pihak serta peserta didik di seluruh kawasan Indonesia?

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi. Pendidikan berperan penting bagi kemajuan suatu bangsa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

15 November 2024


BandungBergerak.id – Hampir semua negara saat ini sudah meninggalkan sistem Ujian Nasional. Namun, dalam beberapa waktu terakhir ini justru Ujian Nasional menjadi satu perbincangan hangat yang mencuat, bahkan kembali dipertimbangkan untuk diadakan kembali. Dipicu oleh salah satu unggahan media sosial mengenai kualitas lulusan Indonesia mengalami penolakan di universitas di luar negeri. Kemudian media sosial diramaikan tentang anak-anak yang tidak bisa membaca, tak bisa melakukan operasi matematika sederhana, padahal sudah berada di tingkat SMA. Sekilas pandangan saya, warganet menyimpulkan implikasi dari tidak adanya Ujian Nasional.

Ujian Nasional dihapuskan oleh Menteri Pendidikan melalui Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021. Dilansir dalam situs Kemendikbud, Ujian Nasional dihilangkan sebab bermasalah mengenai soal yang bersifat hafalan. Kondisi yang sedang terjadi pagebluk, menjadikan penghapusan Ujian Nasional memudahkan siswa untuk lulus. Kemudian Kemendikbud merancang sistem evaluasi baru bernama Asesmen Nasional.

Wacana pengadaan kembali Ujian Nasional disambut oleh petisi penolakan pengadaan kembali Ujian Nasional. Di antara alasannya adalah tidak ada otonomi guru, menimbulkan tekanan psikososial, dan dampak-dampak yang telah terjadi selama Ujian Nasional diberlakukan di negara ini. Lalu, bagaimana sebaiknya memandang Ujian dari sudut pandang evaluasi pendidikan?

Washback Effect dalam Ujian Nasional

Sejarah pengujian dalam dunia pendidikan memiliki akar cukup dalam, dengan China sebagai pelopor utamanya. Sebagai negara tertua yang menerapkan sistem testing dalam pendidikan, China telah mengalami evolusi signifikan dalam metode penilaiannya. Meskipun pada awalnya menggunakan sistem penilaian tradisional, seiring berjalannya waktu China pun mengadopsi sistem penilaian dari Barat yang berbasis psikometri, menandai sebuah transformasi penting dalam sejarah evaluasi pendidikan.

Dalam konteks Ujian Nasional, kita mengenal istilah "Washback Effect/Backwash Effect" yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti "dampak balik".Washback Effect merujuk pada dampak yang ditimbulkan sistem pengujian terhadap tiga aspek fundamental pendidikan: desain kurikulum, proses belajar-mengajar, dan perilaku belajar siswa. Fenomena ini memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang: positif dan negatif.  

Istilah lain yang serupa dipopulerkan oleh Popham pada tahun 1987 melalui istilah "measurement-driven instruction". Idealnya, evaluasi merupakan cara yang ditempatkan di bagian akhir pembelajaran agar bisa mengetahui seberapa efektif pembelajaran yang selama ini dilaksanakan. Namun, pembelajaran yang seharusnya sesuai dengan kebutuhan siswa berubah menjadi pembelajaran yang memiliki acuan kepada soal-soal yang akan keluar di Ujian Nasional. Bukan hanya menggeser fungsi pembelajaran, tetapi juga menggeser kebutuhan siswa dan apa yang harus diketahui ketika mereka belajar di sekolah menjadi apa saja yang akan keluar pada ujian nasional. 

Dari sisi positif, Washback Effect telah mendorong berbagai pembaharuan dalam dunia pendidikan. Hal ini terlihat dari munculnya buku-buku teks baru yang lebih komprehensif, pengembangan metode pengajaran yang lebih inovatif, dan pencapaian tujuan pembelajaran yang lebih terukur. Hasil Ujian Nasional juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan penting, seperti penentuan syarat kelulusan, pemetaan kualitas pendidikan secara nasional, dan seleksi peserta didik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Namun, berdasarkan penelitian meta-sintesis yang dilakukan oleh Au pada tahun 2007, pengujian berisiko tinggi seperti Ujian Nasional dapat membawa dampak negatif yang signifikan. Dampak tersebut meliputi penurunan kualitas pengajaran karena guru cenderung terfokus pada materi yang akan diujikan, dominasi pendekatan instruksional yang terpusat pada guru, dan pembatasan kreativitas dalam proses pembelajaran.

Dalam konteks Indonesia, implementasi Ujian Nasional masih menghadapi berbagai tantangan serius terkait integritas. Sepanjang sejarah pelaksanaannya, masih sering ditemui kasus-kasus menyontek massal dan kecurangan yang sudah bersifat struktural. Situasi ini diperparah dengan adanya ketimpangan fasilitas dan sumber daya antar daerah, serta tekanan psikologis yang dirasakan baik oleh siswa maupun guru.

Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang Washback Effect, seharusnya pemangku kebijakan dan komponen yang bergerak di bidang pendidikan memiliki kesadaran terkait hal-hal seperti ini. Fokus utama seharusnya bukan hanya pada hasil akhir, tetapi juga pada bagaimana ujian dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Inilah salah satu penyebab mengapa Ujian Nasional mulai ditinggalkan oleh negara-negara di Eropa selain untuk kepentingan tertentu.

Sejarah panjang penyelenggaraan Ujian Nasional di Indonesia, seharusnya bisa dievaluasi. Dengan berbagai macam nama dan berubah mekanismenya, sering kali kebanyakannya tanpa pengawasan dari sekolah.

Bagaimana cara mengukur bahwa peserta didik sudah mencapai standar? Bagaimana standar ini bisa diterjemahkan ke dalam operasional yang teramat praktis. Bukan hanya berupa butir-butir soal yang kemudian jalan pintasnya adalah kembali kepada hafalan. Ini yang perlu menjadi perhatian lebih. Seperti kompetensi mengenai karakter siswa, keterampilan membaca dan menulis, keterampilan berpikir kritis. 

Baca Juga: Reformasi Pendidikan sebagai Jawaban atas Terpaan Gelombang Digitalisasi di Indonesia
Pendidikan Indonesia dan yang Mungkin Telah Luput darinya
Perkara Sastra di Ruang Pendidikan Kita

Apakah Diganti dengan Asesmen Nasional Menjadi Lebih Baik?

Perubahan bentuk evaluasi, berubah menjadi Asesmen Nasional. Sesuai edaran, Asesmen nasional berfungsi untuk mengukur beberapa aspek dan komponen seperti Asesmen Kompetensi Minimum, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.  AN merupakan salah satu respon pemerintah dalam menghadapi skor PISA yang berkaitan dengan Literasi yang begitu rendah.

Meskipun memiliki format yang berbeda, permasalahan pemeringkatan yang terjadi dalam Ujian Nasional (UN) juga ditemukan dalam Asesmen Nasional (AN). Jika UN memberikan tekanan kepada satu angkatan secara keseluruhan, AN justru membebani segelintir murid yang dipilih oleh pemerintah pusat.

Niatan pemerintah untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional melalui AN sering kali tidak dapat terwujud secara akurat. Hal ini dikarenakan adanya "tuntutan" tak tertulis dari masing-masing sekolah yang ingin memenuhi ekspektasi pemerintah. Hal ini disebabkan karena AN dijadikan acuan untuk penilaian sekolah dan akreditasi.

Menurut Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Khaeri, AN memiliki format yang berbeda namun ceritanya sama, yaitu tekanan psikologis dan komersialisasi. Masih dalam tulisan yang sama, ia menerangkan bahwa jika Indonesia tidak menggunakan AN maka sebetulnya di sanalah kesempatan Indonesia terlepas dari jerat standar Internasional.

Kekhawatiran Iman pun menjadi kenyataan. Penyelenggaraan AN ternyata menimbulkan efek serupa dengan UN. Muncul banyak bimbingan belajar khusus untuk mempersiapkan peserta didik yang terpilih mengikuti asesmen. Beberapa siswa merasa terbebani, sementara beberapa sekolah melakukan "bimbingan khusus" untuk anak-anak yang ditugaskan mengikuti AN.

Dalam masa transisi ini, pemanfaatan hasil AN dan rapor pendidikan sekolah masing-masing belum berjalan optimal. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi dan perbaikan yang menyeluruh agar AN dapat benar-benar menjadi alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara adil dan komprehensif.

Niat awalnya, Asesmen Nasional ingin melakukan evaluasi sistem pendidikan yang lebih menyeluruh bukan individual sehingga tekanan psikologis pada siswa berkurang. Penilaian bersifat komprehensif, bukan hanya hasil yang terdapat pada hasil belajar siswa, tetapi juga iklim lingkungan belajar, dan iklim yang terdapat di sekolah. Selain itu, AN diharapkan bisa menjadi sebuah evaluasi dan diagnostik yang lebih baik yaitu memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kualitas pembelajaran di sekolah dan area perbaikan yang dibutuhkan.

Dalam masa transisi ini, AN mengalami beberapa kendala di antaranya adalah kesenjangan infrastruktur yang ada di berbagai daerah yang belum memiliki fasilitas yang memadai, kebergantungan pada jaringan internet. Terakhir, adalah pemanfaatan hasil AN.

Pemanfaatan hasil AN untuk evaluasi diri, memang diperlukan sebagai alternatif pemetaan kondisi kualitas pendidikan nasional. Hal ini bermasalah ketika nilai AN menjadi acuan dan tolak ukur bagi baik atau tidaknya sebuah sekolah. Pada akhirnya, permasalahan AN menjadi satu obsesi baru bagi para warga sekolah baik peserta didik, guru, dan bahkan dinas pendidikan masing-masing daerah.

Fokus kepada Tujuan

Kualitas guru dan pembelajaran merupakan faktor kunci dalam mencapai standar pendidikan yang diharapkan, terlepas ada atau tidaknya Ujian Nasional. Assesmen perlu, penilaian perlu, namun bagaimana menjadikan agar sistem evaluasi ini menjadi adil bagi semua pihak serta peserta didik di seluruh kawasan Indonesia. Salah satu kekhawatiran adalah ketika peserta didik diuji atas hal-hal yang tidak pernah mereka pelajari sebelumnya. Atau situasi di mana sebagian murid harus menanggung ekspektasi seluruh sekolah. Situasi-situasi seperti ini jelas tidak mencerminkan keadilan.

Sudah saatnya dunia pendidikan berbenah agar evaluasi sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Baik untuk memetakan kualitas pendidikan di berbagai penjuru negeri atau untuk menentukan kelulusan siswa. Tentu dengan pengawasan-pengawasan yang benar. Hamid Hasan, dalam bukunya Evaluasi Kurikulum, evaluasi tidak bisa dilepaskan dari konteks di mana ia tinggal. Konteks tentang letak geografis hingga keadaan sosial budaya. Sehingga, evaluasi yang dilakukan atas pembelajaran siswa perlu dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan siswa.

Dalam sejarah Ujian Nasional di Indonesia seperti EBTA, EBTANAS, Ujian Sekolah dan lain-lain, patut menjadi bahan kajian tentang apa yang telah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dan apa yang perlu disempurnakan. Salah satunya, pihak sekolah diberi wewenang untuk menentukan kelulusan peserta didik. 

Pendidikan yang diselenggarakan untuk semua dan diselenggarakan untuk seluruh warga negara, tentunya memerlukan kualitas yang sama dan bisa menggali potensi siswa sehingga peserta didik bisa menemukan potensi dirinya dan bisa hidup dengan layak serta menemukan kebahagiaan dalam dirinya. Jika memiliki tujuan lain, maka tes ini bisa dilaksanakan berdasarkan apa yang menjadi tujuannya. Baiknya, memang menimbang mudarat dan manfaat untuk semua kalangan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya dari Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel tentang pendidikan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//