Kisah Oemar Bakri Muda, Tetap Diupah Murah dengan Beban Kerja Melimpah
Sekelumit cerita para guru honorer muda di Bandung. Hari Guru mengingatkan pemerintah agar memperhatikan kesejahteraan mereka.
Penulis Salma Nur Fauziyah25 November 2024
BandungBergerak.id - Ini kisah tentang Oemar Bakrie muda di zaman yang jauh setelah lagu Iwan Fals itu pertama kali berkumandang. Awal Januari lalu menjadi sebuah titik awal Adinda Nur Alfie (24 tahun) yang menapaki profesi guru. Ia diterima di salah satu SMA swasta di Kota Bandung sebagai guru bahasa Indonesia, sesuai dengan kompetensi dirinya selama berkuliah.
Adinda baru saja lulus tahun 2023 lalu dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Saat hampir enam bulan berjalan, Adinda mencoba melamar kembali di salah satu SMK Swasta. Kebetulan saat itu pihak SMK sedang membuka lowongan untuk Guru Bidang Bahasa Indonesia.
“Jadi ya udahlah akhirnya saya ngelamar juga di bulan Juli kemarin,” ujar Adinda yang akhirnya mengambil kesempatan ini karena ia merasa jadwal di SMK dapat diatur menyesuaikan jadwalnya di sekolah lain. “Dan ternyata setelah mikco-teaching itu lolos, akhirnya jadi mengajar aja di dua sekolah.”
Mengajar di dua sekolah tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Adinda. Ia harus bangun pagi sekali dan harus berada di SMK jam 06.45 pagi. Di SMK, ia mengajar bahasa Indonesia dari jejang kelas 10, 11, dan 12.
Setelah mengajar kelas pagi, sekitar jam 11.00 atau 12.00, ia harus mulai bersiap untuk pergi ke SMA. Di sana, ia mengajar dari pukul 12.10 hingga bel pulang sekolah berbunyi (17.50). Untuk di SMA ia mengajar di kelas 11.
“Memang cukup struggle juga gitu ya dari pagi sampai sore itu ngajar. Dan ngeliat anak-anaknya juga, antara anak SMK sama anak SMA, mungkin terbilang cukup berbeda juga,” terang guru muda itu.
Perbedaan yang mencolok itu adalah pada bagian bahan ajar atau materi yang akan diberikan pada siswa. Hal ini didasari fokus atau output pendidikannya. Bagi siswa SMK, fokus utama mereka adalah dunia industri. Sedangkan SMA adalah mempersiapkan diri masuk ke dalam jenjang perkuliahan.
Tentu pendekatan yang diberikan pun berbeda. Materi pelajaran Bahasa Indonesia kelas 11 SMA dan kelas 11 SMK pun tidak sama.
Terlebih, ia juga harus memikirkan bagaimana cara mengajar mereka agar tidak bosan dan tidak mengantuk selama jam pelajaran. Apalagi saat jam-jam terakhir yang rawan mengantuk.
“Jadi itu harus mikir keras gitu sih biar pembelajarannya jadi lebih menarik,” jelas Adinda.
Guru Berkomunitas
Fauziansyah Hartadi menjalani kesehariannya sebagai seorang guru honorer di sebuah Sekolah Dasar Negeri yang terletak di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Karena hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, ia selalu jalan kaki saat berangkat ke sekolah.
Saat ini ia diamanahi untuk menduduki posisi wali kelas kelas lima. Dari hari Senin hingga Sabtu, ia harus engajar dari pukul tujuh hingga dua belas siang. Sehabis mengajar, tepat setelah jam dua belas siang, adalah waktu kosong bagi Fauziansyah untuk aktif mengikuti kegiatan komunitas.
Salah satu komunitas yang ia ikuti adalah Komunitas Edan Sepur, sebuah komunitas pecinta kereta dan sering melakukan operasi atau pemantauan keselamatan lalu lintas di beberapa titik perlintasan kereta. Bahkan jika saat hari Kamis ada waktu luang, ia akan menyempatkan diri mengikuti Aksi Kamisan Bandung.
Fauziansyah menyempatkan ikut Aksi Kamisan Bandung karena terdorong oleh kenyataan. Saat SMA, ia mengetahui fakta bahwa sang ayah pernah menjadi korban PHK massal tanpa pesangon di masa krisis moneter melanda Indonesia.
Hal itu memicu kesadaran bahwa pemerintah banyak memiliki andil dalam pemotongan hak masyarakat. Selain itu ia juga tidak ingin melewatkan kesempatan berjejaring dan mendapatkan informasi mengenai hak masyarakat.
“Jadinya, harus sebisa mungkin atur waktu. Supaya nggak bentrok dengan kerja,” akunya saat menjelaskan bagaimana ia bisa membagi waktu antara bekerja dan berkomunitas.
Di samping itu, ia masih berstatus mahasiwa tingkat akhir di jurusan PGSD, UPI. Saat ini ia tengah menyusun skripsinya.
Fauziansyah terjun ke profesi guru berawal dari MBKM. Ia ditempatkan di salah satu SD di Rancaekek, tempat pertama ia bekerja sebelum mengajar di sekolah yang sekarang.
“Biasanya MBKM tuh berkelompok. Kalau aku kebetulan daftarnya terakhir jadi sendiri di sekolah itu. Terus karena memang kekurangan guru dan memang kayaknya kepakai. Dilanjutin, ditawarin,” ceritanya.
Karena masih berstatus mahasiswa, ia kemudian ditarik menjadi guru bahasa Inggris di sana. Hingga kini, Fauziansyah telah menekuni profesi ini hampir tiga tahun lamanya sejak ia menapaki profesi ini sejak 2022.
Baca Juga: CERITA GURU: Mengapa Guru Sulit Merdeka?
CERITA ORANG BANDUNG #52: Nevi Aryani, Pengabdian Seorang Guru Honorer
Perjuangan Tanpa Ujung Seorang Guru Honorer
Harus Punya Pekerjaan Sampingan
Kelahiran Persatuan Guru Indonesia (PGRI) pada 25 November juga diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hal ini diberlakukan bedasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, sebagai bentuk penghormatan pada para 'pahlawan tanpa tanda jasa' tersebut.
Meski sudah tiga puluh tahun diperingati, dunia profesi guru ini tetap saja memiliki isu tersendiri dalam peta pendidikan Indonesia. Salah satu yang begitu banyak disoroti saat ini adalah mengenai guru honorer khususnya terkait tunjangan dan kesejahteraan mereka.
Ketika ditanya perihal tunjangan atau gaji yang diberikan, baik Fauziansyah dan Adinda, mengaku bahwa mengandalkan gaji guru masih belum mencukupi kehidupan sehari-hari.
Sebagai guru honorer swasta, Adinda diupah per jam. Di SMA ia diupah 40.000 rupiah per jam. Sedangkan di SMK, ia mengajar sebanyak 27 jam per minggu dengan upah 50.000 rupiah per jam dengan itungan jam mati. Ketika ia tidak hadir mengajar pun, gaji itu tidak akan terpotong.
Perhitungan gajinya adalah total ia mengajar selama seminggu (24/27 jam). Ketika satu minggu sudah mengajar penuh selama 24 atau 27 jam, maka sebesar itulah gaji yang ia dapatkan selama sebulan.
Hal ini tentu tidak cukup dengan kebutuhannya sehari-hari. Setiap hari ia menggunakan angkot dan juga ojek online saat pergi mengajar. Adinda perlu mengalokasi gajinya untuk ongkos angkutan umum. Di tambah terpotong dengan uang makan.
Menyiasati hal itu Adinda mencoba peruntungan dengan mengajar di dua sekolah berbeda. Selain itu ia juga mencari pendapatan lain dari freelance.
“Itu bisa mendukung setidaknya dari sampingan itu, dari gaji dua sekolah itu kan bisa mencukupi keseharian saya. Nah, dari freelance itu bisa jadi tabungan buat saya. Jadi saya kerja itu nggak cuma untuk mencukupi aja, tapi kan pasti namanya orang butuh tabungan gitu ya, buat pegangan entah biaya tak terduga nantinya,” jelas Adinda yang mengambil sampingan sebagai model dan kreator konten.
Di sisi lain, Fauziansyah pun mengalami hal yang sama. Sebagai pengguna transportasi umum, gajinya sekarang sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
“To be honest ya. Duit 500 ribu sebulan untuk saya seorang yang masih mahasiswa akhir. Jujur gak cukup. Habis untuk ongkos,” aku Fauziansyah.
Gaji 500 ribu rupiah per bulan ini ia dapatkan setelah resmi menjadi wali kelas. Sebelumnya ia mengajar menjadi guru bahasa Inggris di dua sekolah yang berbeda. Dari dua sekolah itu, ia dapat menghasilkan 600 ribu rupiah per bulan.
Dengan upah yang begitu minim, Fauziansyah mesti bekerja laiknya seorang guru dengan status PNS. Setelah mengajar, ia harus mengerjakan semua pekerjaan administrasi, mulai dari membuat silabus, modul ajar, lalu memeriksa hasil ujian anak-anak.
“Banyak pekerjaan sekolah yang dilakukan di luar jam sekolah. Tapi ya itu kalau masalah upah sih, gimana kamu kerja sebulan udah pasti segitu,” terang guru honorer muda yang masih berstatus mahasiswa ini.
Kini ia sudah berstatus guru honorer yang tedaftar dalam sistem Dapodik. Hal ini memberikan keuntungan lainnya, karena selama per tiga bulan ia akan mendapatkan insentif sebanyak 300 ribu rupiah.
Namun permasalahan lainnya datang dari sumber pendanaan upahnya yang bergantung pada dana BOS. Yang tentu akan cair dengan waktu yang tidak menentu.
“Kalau cairnya per 3 bulan lancar, bisa aja guru honornya per bulan dia dapet segajinya itu. Tapi kalau (dana) bosnya mampet nih, kayak SD SMP kan dipegangin sama kabupaten. Kalau mampet dari sananya, ya gaji honor pun mampet. Kayak misalnya dirapel per 3 bulan, sama kayak insentif,” jelas Fauziansyah, yang juga sering mengalami rapel gaji.
Ia mengaku pemberian upah rapel begitu untuknya yang belum menikah masih tergolong aman. Fauziansyah bercerita, rekannya yang sudah menikah mesti mengajar di dua dan tiga sekolah lain untuk mendapatkan tambahan pemasukan untuk keluarga.
Sama seperti Adinda, Fauziansyah juga melakukan kerja sampingan. Ia membuka jasa menggambar (ilustrasi) di media sosia X. Range harganya menyesuaikan. Jika sang konsumen menginginkan gambar ilustrasi orang dari kepala sampai pundak (headshot), ia akan dikenakan biaya 80.000 rupiah. Pun untuk gambar setengah badan (half body) seharga 100.000 rupiah, dan satu badan (full body) seharga 130.000 rupiah.
“Saya sih berapa pun saya ambil. Tapi ya sampai sekarang paling banyak nerima dua sih. Dua orang yang pesan per bulan,” ujarnya yang terkadang selama satu bulan itu ia tidak menerima permintaan jasa gambar apa pun.
Karier ke Depannya
Saat ditanya apakah akan tetap menjadi guru atau tidak, Fauziansyah mengaku ia ingin menapaki karier lainnya ketika sudah lulus kuliah. Sejak awal ia tidak berencana menjadi guru dan menjadi seorang PNS. Bekerja di media merupakan salah satu yang sejujurnya ia ingin tekuni saat ini.
Namun, ketika ditanya akan sampai kapan menjadi guru honorer, ia hanya bisa menjawab sampai waktu yang ditentukan. Jika suatu saat guru honorer akan dihapuskan, ia baru akan berhenti.
“Kalau memang impian aku gak bisa terwujud banget, baru aku daftar PNS. Jadi itu kayak plan C, plan terakhirnya banget deh,” katanya.
Meski dengan upah minim dan beban kerja yang berat, Adinda tetap yakin ingin melanjutkan profesinya sebagai guru. “Sejauh ini sih masih ada keinginan untuk lanjut jadi guru gitu ya. Karena saya ngerasanya sudah sampai di tahap ini. Sudah sejauh ini,” ujarnya.
Tentu Adinda merasa lelah menjalani rutinitas dengan beban kerja berat dan upah minim. "Jadi guru jujur mengabdi memang makan hati," demikian keluh kesah Oemar Bakrie dalam lagu Iwan Fals. Namun, hal yang membuat Adinda semangat adalah dari anak-anak yang diajarnya. Apalagi saat masuk kelas, mereka terlihat antusias untuk belajar. Itu yang membuat mood-nya naik.
Dari mereka, Adinda merasa bukan hanya murid-muridnya saja yang belajar. Ia pun ikut belajar.
Pemerintah sendiri sudah membuka peluang bagi para honorer dengan membuka pendaftaraan PPPK. Di sisi lain, pemerintah juga berjanji akan memberikan tunjangan untuk para guru honorer yang sudah bersertifikasi. Adinda melihat hal ini sebagai hal yang bagus. Pada akhirnya, pemerintah mulai mawas dengan isu guru honorer ini.
Namun, ia memilih untuk tidak terlalu berharap dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
“Ya saya sih berharapnya segera direalisasikan, tapi saya juga nggak mau berharap lebih. Karena takutnya kan kalau kita terlalu berharap malah jadinya kecewa juga gitu ya dengan keputusan aslinya itu seperti apa. Jadi berharap tapi ya udahlah pasrah juga gitu,” ujar Adinda.
Ia hanya akan terus berusaha untuk meningkatkan kompetensinya dan mengikuti alur persyaratan yang ada untuk mengikuti CPNS dan seleksi PPPK, agar sepenuhnya dapat menjadi guru dengan jaminan hidup yang lebih baik.
Ke depan, Adinda berharap pemerintah tidak hanya mawas dengan kebijakan tentang upah dan fasilitas guru tetapi juga memberikan perlindungan sosial. Ia pun berharap yang terbaik bagi rekan-rekan guru di luar sana.
“Semoga hal-hal yang mereka usahakannya juga itu tidak sia-sia. Proses yang mereka lewati, usaha yang mereka lewatinya itu bisa terbayar," kata Adinda.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel tentang Guru