Risiko Politik Populisme di Balik Fenomena Naturalisasi Artis di Gelanggang Pilkada Serentak 2024
Para artis yang sebelumnya tidak pernah mengkritik pemerintah, tiba-tiba berjanji akan mewujudkan apa yang didambakan masyarakat.
Penulis Hanifa Paramitha Siswanti26 November 2024
BandungBergerak.id - Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia memiliki belasan artis yang turut berlaga dalam kontestasi Pilkada 2024, baik dalam level provinsi maupun kota dan kabupaten. Potensi suara dari generasi Z selaku pemilih pemula yang aktif di media sosial menjadi salah satu faktornya. Fenomena pencalonan artis ini pun dapat dikatakan sebagai dinamika politik yang semakin berpusat pada daya tarik personal ketimbang gagasan atau kapabilitas.
Isma (21 tahun), seorang mahasiswa sebuah kampus swasta di Kota Bandung, mengungkapkan faktor keterkenalan dari pasangan calon (paslon) artis cukup berpengaruh terhadap dirinya. “Alasannya karena dari segi visual sudah pernah lihat,” ujarnya.
Namun faktor tersebut tak serta merta membuatnya terpengaruh dalam memutuskan pilihan. Terdapat faktor lain seperti pandangan teman dan keluarga yang memperluas perspektifnya.
“Saya cukup jarang mencari informasi dan hanya tahu berita politik dari media sosial. Saat buka Tiktok sudah lewat laman FYP (for your page) dengan sendirinya. Teman dan keluarga saya juga punya pandangan berbeda untuk masing-masing pilihannya, tapi itu jadi menambah perspektif saya supaya lebih paham,” paparnya.
Warga yang berdomisili asli di Kabupaten Bandung ini mengaku pada akhirnya tetap melihat sinkronisasi antara visi misi, janji kerja, dan latar belakang paslon yang ingin memberikan hal terbaik kepada daerah.
“Saya ingin anak muda nanti diperhatikan dan dilibatkan dalam program atau keputusan-keputusan karena kami juga siap kok membantu daerah supaya lebih maju,” tukas Isma.
Mahasiswa lainnya, Nisrina (20 tahun), mengatakan akan memilih paslon dengan mempertimbangkan partai pengusung dan latar belakang paslon, khususnya terkait ada atau tidaknya pengalaman di dunia politik. Namun ia tidak menampik status artis dari paslon mempengaruhi penilainnya.
“Tentu ada pengaruh seperti memunculkan pertanyaan mengenai kelayakan dalam memberi kontribusi untuk masyarakat. Di satu sisi, dengan adanya popularitas yang dimiliki juga dapat memberi harapan untuk menggerakkan masyarakat menuju perkembangan yang lebih baik. Popularitas paslon artis cukup untuk memastikan mereka mampu memimpin dengan baiik apabila artis tersebut sering kali membawa pengaruh positif,” paparnya.
Mahasiswa dari sebuah kampus di kawasan Jatinangor Kabupaten Sumedang ini menambahkan bahwa opini teman dan orang tua juga masih menjadi penrtimbangan baginya dalam memilih nanti.
“Tapi siapa pun nanti yang terpilih, baik itu aspek pendidikan, ekonomi, maupun pembangunan lainnya saya hanya berharap adanya pemerataan tanpa merugikan suatu pihak. Ada peningkatan supaya masyarakat bisa merasakan kehidupan yang lebih baik dengan kehadiran pemimpin baru,” ujar Nisrina.
Sementara itu sebagai siswa yang menjadi pemilih untuk pertama kali pada tahun ini, Athaya (17 tahun) cukup getol mencari beragam informasi terkait para paslon di wilayahnya. Ia cermat membaca visi misi masing-masing paslon yang menjadi acuan untuk program kerja yang akan dijalankan. Dalam mendapatkan gambaran bagaimana kinerja dari masing-masing paslon jika seandainya terpilih, ia memperhatikan riwayat dan personal branding para paslon.
“Jika dibandingkan secara pengalaman, mungkin seseorang yang memiliki pengalaman sebagai politikus mungkin akan lebih baik. Namun tidak menutup kemungkinan juga jika seorang artis mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang sama. Menurut saya status artis dari seorang paslon tidak berpengaruh apa-apa. Hanya karena terkenal bukan berarti kinerja dari seorang artis tersebut tergolong baik,” jelasnya.
Ia mengaku sudah cukup mendapatkan informasi mengenai pilkada dari sekolah seperti regulasi dan tata cara memilih sejak tahun lalu. Alhasil hal tersebut menjadi salah satu bahan obrolan bersama teman-temannya.
“Mungkin saya tergolong jarang untuk mencari informasi mengenai paslon karena jika sudah masuk musim pemilihan, informasi mengenai paslon bisa didapatkan melalui media sosial seperti video yang lewat di FYP Tiktok. Namun, terkadang informasi mengenai paslon bisa didapatkan melalui teman. Opini teman tentu berpengaruh karena bisa menjadi sebuah alasan untuk rekonsiderasi,” ungkap warga yang tinggal di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat ini.
Meskipun dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber, Athaya mengatakan tidak ada pengaruh tertentu dari orang tua dan sanak saudara di rumah. Menurutnya, dalam hal memilih ia berpegangan pada pasal 22E Ayat (1) dan pasal 18 Ayat (4) bahwasanya saya mempunyai hak tersendiri untuk memilih secara bebas dan demokratis.
Ia menambahkan, paslon terpilih harus langsung kerja nyata dan memenuhi janji dalam merealisasikan semua program kerja. “Berharap anak muda dilibatkan dalam hal pengembangan ide yang bisa dilakukan dengan cara forum komunikatif yang juga bisa dipakai dalam pembangunan daerah, sehingga bisa memperluas lapangan pekerjaan. Bisa juga dengan cara mendanai karang taruna agar bisa memajukan daerah,” sambung Athaya.
Tekankan Rasionalitas Ketimbang Popularitas
Dalam kontestasi Pilkada Serentak 2024, fenomena pencalonan figur publik seperti artis semakin marak dan menimbulkan perdebatan di kalangan pengamat politik dan masyarakat umum. Di satu sisi, popularitas artis sering kali menjadi modal besar yang mengantarkan mereka ke dalam arena politik. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mengenai sejauh mana kapabilitas mereka dalam memimpin dan menghadapi berbagai tantangan politik dan sosial yang kompleks di daerah masing-masing.
"Setiap masyarakat memiliki hak memilih dan dipilih, termasuk artis. Tetapi apakah mereka punya kompetensi untuk menerapkan kebijakan sesuai isu sosial di masyarakat?” ungkap Annisa Alfath, peneliti Perludem.
Penempatan artis sebagai calon wakil kepala daerah sering kali menjadi strategi partai politik untuk melengkapi pasangan calon kepala daerah yang kurang populer. Langkah ini menunjukkan bagaimana popularitas dijadikan alat untuk menarik perhatian pemilih. Annisa menilai, idealnya partai politik bertugas meningkatkan popularitas kader internal yang berpotensi, bukan bergantung pada figur artis. Penempatan artis sebagai wakil kepala daerah cukup berisiko jika perannya sekadar simbol tanpa kompetensi dalam kebijakan.
“Bahayanya adalah jangan sampai keterpilihan wakil ini hanya sebagai simbol. Nanti bagaimana pembuatan kebijakannya? Apakah artis itu akan disetir dalam mengimplementasikan kebijakan? Itu berisiko sekali,” tegasnya.
Annisa menambahkan, jika pembagian tugas antara calon kepala daerah dan wakilnya dilakukan dengan jelas, seperti kepala daerah berfokus pada ide dan wakil pada isu sosial, maka risiko penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan.
“Ongkos politik di Indonesia cukup mahal karena sistem pemilunya dan banyak hal lain. Kaderisasi partai harus diperbaiki agar kader yg dicalonkan memiliki ideologi yang sama dan bukan sekadar punya popularitas. Ini bisa jadi wadah untuk kader yang loyal dan berkompeten. Saran saya untuk parpol supaya ada syarat untuk minimal batas waktu seorang kader bisa dicalonkan,” ujar Annisa.
Menurutnya, parpol secara ideal harus punya kriteria dalam proses kaderisasinya. Mereka yang memiliki gagasan dan dekat dengan masyarakat harus dirangkul untuk mendapatkan pendidikan politik, fasilitas melakukan kampanye, serta diperkenalkan kepada masyarakat.
“Waktu untuk mempersiapkan seseorang agar dikenal itu waktunya panjang dengan banyaknya massa yang dimiliki. Aktor politik yang sudah terkenal untuk turut memperkenalkan. Parpol bertugas juga melakukan pendidikan politik agar peduli dengan visi misi program dan isu politik lainnya, sehingga ketika memilih untuk calon kepala daerah itu berdasarkan rasionalitas, bukan karena popular dan sering lihat di televisi,” papar Annisa.
Tidak Ada Iklim Menguji Gagasan
Pencalonan artis sebagai kepala daerah bukanlah fenomena baru dalam politik Indonesia. Sejak era Orde Baru, keterlibatan seniman dalam politik telah terjadi meskipun mekanisme pemilihan saat itu berbeda. Wakil Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jabar Muhammad Ramdan Maulana berpendapat bahwa dalam politik hari ini, isu yang diangkat lebih mengarah pada politik popularitas yang kental dengan nuansa populisme.
"Dari zaman Orde Baru, partai-partai politik memang melibatkan kalangan seniman. Namun, titik poinnya selalu harus kembali pada kompetensi. Sayangnya, politik hari ini lebih banyak memainkan isu populisme dibandingkan gagasan substantif," ujarnya.
Ramdan memandang fenomena ini sebagai bentuk kegagalan kaderisasi di dalam parpol. Apalagi para politisi partai juga kurang dikenal karena jarang berinteraksi dengan masyarakat dan hanya terjun saat kampanye.
“Artis menjadi ban serep saja karena fungsi mereka untuk membantu politisi menempati kursi jabatannya. Dalam undang-undang, fungsi wakil mengisi kekosongan kepala daerah ketika berhalangan hadir. Di luar itu tidak ada kebijakan eksekutif. Kita bicara soal arah negara mau dibawa ke mana. Kalau para pengisi di pos eksekutif dan legislatif tidak punya kompetensi, ide, dan gagasan untuk berjuang dan hanya andalkan popularitas, saya rasa kita mundur ke belakang. Dalam politik kita kurang ada iklim soal menguji ide. Saya belum pernah melihat adanya konvensi untuk menguji ide dan gagasan hingga rasional untuk diwujudkan. Hal seperti ini perlu diperhatikan parpol jika kita serius bernegara,” papar Ramdan.
Jawa Barat akan memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2035, dengan dominasi penduduk berusia produktif, yaitu 17-39 tahun yang mencapai 70 persen. Menurut Ramdan, saat ini terdapat banyak persoalan di Jabar, tetapi sayangnya minim solusi. Kondisi tersebut tentu membutuhkan pemimpin yang memiliki kompetensi, integritas, dan niat tulus untuk mengabdi. Indonesi Emas tidak akan dicapai jika terjadi bencana demografi akibat kehadiran pemimpin yang inkompeten dalam kebijakan pembangunan.
Naturalisasi Artis
Pengaruh popularitas terhadap daya tarik kandidat sering kali terbentuk melalui strategi komunikasi politik yang rapi. Media sosial dan penyiaran menjadi platform utama yang dimanfaatkan oleh para artis untuk membangun citra positif dan mendekatkan diri dengan pemilih.
Ketua Komite Politik Jabar Harris Aufa menyoroti kekacauan sistemik dalam proses pencalonan artis. "Masalahnya bukan pada status mereka sebagai artis, tetapi pada dasar pencalonan itu sendiri. Apa modal utama yang mereka miliki selain popularitas? Parpol yang seharusnya menjadi pusat ide dan gagasan kini malah mengedepankan figur yang dikenal luas, tanpa memprioritaskan kompetensi," jelasnya.
Harris juga menekankan kelemahan partai dalam membina kader internal. Menurutnya, partai politik gagal melakukan ideologisasi terhadap kadernya, sehingga mereka mengajukan orang luar yang dikenal publik seperti artis.
“Tentu saja tidak ada masalah kalau ada kader yang juga figur publik. Tapi yang sering terjadi sekarang adalah artis yang dinaturalisasi menjadi kader partai. Artis yang selama hidupnya tidak pernah membicarakan gagasan apa pun, tidak mengkritik pemerintah, tidak pernah menyampaikan apa yang harus dilakukan negara, tetapi tiba-tiba mereka muncul ke publik dan berkata akan mewujudkan apa yang didambakan masyarakat. Ibarat ada teman yang tidak pernah memasak kemudian menawarkan memasak," tambahnya.
Menurut Harris, persoalan mendasar bukan hanya tentang kerja atau eksekusi karena semua orang bisa belajar dan bekerja. Sebagai pemimpin, hal yang dibutuhkan adalah ide besar dan kemampuan untuk mengomunikasikan ide tersebut. Ia menilai banyak artis yang tidak memiliki kapasitas ini karena pengalaman mereka sebelumnya tidak relevan dengan tantangan kepemimpinan.
“Mungkin iya benar artis punya kemampuan finansial, tapi hal esensial yang tidak mereka miliki adalah gagasan. Selama artis tidak menonjolkan mimpi luhur, mereka tidak layak bahkan untuk menduduki kursi pelengkap sebagai wakil saja,” pungkasnya.
Harris melihat bahwa sistem merit dan demokrasi seutuhnya tidak terjadi di Indonesia. Politisi dan profesional yang sudah banyak kerja justru jarang dikenal di tengah masyarakat.. Hal ini dinilai karena masyarakat dididik untuk tidak melihat dan tertarik kepada ide karena parpol tidak memberikan pendidikan politik. Ia pun menyarankan agar para paslon dari kalangan artis harus mampu melihat apa saja problem yang akan dihadapi, tidak hanya dalam periode mereka menjabat, tetapi juga masa yang lebih jauh.
“Masyarakat harus cermat menimbang apa saja risiko saat memilih artis dan memberikan jabatan publik kepada orang yang tidak berpengetahuan dan tidak berpengalaman. Percaya diri itu penting, tapi sadar diri juga penting. Dapatkah artis mengabstraksi fenomena yang akan terjadi di masa depan? Dengan cara apa mereka mengurai problem ini? Bagaimana mereka mempertimbangkan opsi yang tepat? Simulasi itu harusnya mereka mulai dari lingkup ketatanegaraan yg paling kecil, misalnya RT dan RW. Kalaupun gagal, dampaknya bisa diminimalisasi,” tukas Harris.
Baca Juga: PILKADA JABAR 2024: Orang Muda Memiliki Kekuatan Suara untuk Melahirkan Pemimpin Berkualitas
PILKADA JABAR 2024: Menakar Kualitas Demokrasi dari Tren Meningkatnya Partisipasi Pemilih di Bandung
PILKADA JABAR 2024: Jawa Barat Membutuhkan Pemimpin Beretika dan Mau Mendengar Suara Kelompok Minoritas
Jabar Barometer Politik Nasional
Koordinator Wilayah Democracy and Election Empowerment Partnerhsip (DEEP) Indonesia Jawa Barat Fauziah Hanifah mendapati bahwa kultur di Jabar masih melihat ketokohan laki-laki atau perempuan. Padahal menurutnya hal terpenting bukan jenis kelamin, melainkan isi gagasan.
“Kredibilitas paslon harus dilihat dari latar belakangnya. Ada yg berpengalaman politik dan juga ada yang populer tapi belum pengalaman di politik. Parpol sebagai mesin kaderisasi harus melahirkan kader berintegritas yang mapan untuk menjadi pemimpin daerah,” ujar Fauziah.
Di sisi lain, Fauziah memandang bahwa dinamika politik di Jabar cukup besar karena merupakan barometer politik nasional. Hal ini ditinjau dari banyaknya jumlah daftar pemilih tetap (DPT), strategis wilayah, tingkat partisipasi, sosial politik, dan titik kerawanan. Apalagi Bawaslu juga mencatat tingginya indeks kerawanan di Jabar.
“Tugas masyarakat saat ini adalah melihat dan memantau proses dari tahapan ke tahapan. Saya kira ini adalah harapan baru karena nama paslon yang ada itu merupakan nama baru dan bukan petahana. Hal ini bisa menjadi parameter pemilu,” ucapnya.
Fauziah mengingatkan agar jangan sampai ada kekerasan karena berbeda pandangan dan pilihan karena hal tersebut mengindikasikan tingkat demokrasi yang menurun drastis. Ia menuturkan, momen pilkada seharusnya menjadi ajang bertukar ide dan gagasan untuk menyelesaikan isu problematik.
“Di Jabar masih banyak masalah ketimpangan pendidikan, kekerasan seksual, dan sebagainya dan itu naik signifikan. Ini menjadi tugas bersama. Saya membaca visi misi tentang pembangunan ekonomi. Ada juga paslon yang bicara kekerasan terhadap perempuan dan anak. Saya kira itu secercah harapan untuk menuntut janji yang disampaikan,” sambungnya.
Isu problematik seharusnya tidak bicarakan sekadar secara simbolik. Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan mengungkapkan bahwa berdasarkan berbagai kajian, isu ekonomi menjadi isu prioritas Jabar seperti harga kebutuhan pokok, lapangan pekerjaan, kemiskinan, dan pengangguran. Ia pun menilai wajar jika visi misi para paslon terkait hal tersebut.
“Nah yang jadi pertanyaan adalah apa diferensiasi antar kandidat kalau semua bicara hal itu. Tentu ini tergantung pada segmen. Misalkan pemilih muda yang jumlahnya mayoritas 54 persen punya problem lapangan kerja. Lalu bagaimana paslon punya agenda kebijakan yang konkret terkait lapangan kerja yang menyentuh kebutuhan prioritas mereka. Pemerataan pembangunan juga sudah banyak ditawarkan, tapi belum selesai soal kesenjangan Jabar utara dengan Jabar selatan. Bagaimana para paslon ini punya gagasan visioner,” kata Firman.
Ia menambahkan, karakteristik pemilih di Jabar terbilang unik karena cenderung memiliki perubahan pilihan di saat terakhir (last minute voter). Para pemilih butuh diyakinkan dengan tawaran hal menarik yang dapat menyelesaikan persoalan secara konkret. Selain itu, karakteristik pemilih Jabar juga terbagi di wilayah perkotaan dan pedesaan. Pemilih perkotaan dipandang lebih kritis karena punya informasi cukup dan tertarik dengan isu agenda kebijakan yang ditawarkan. Sedangkan pemilih di perdesaan sering kali hanya menerima informasi yang terbatas pada popularitas yang bersifat pencitraan dan penampilan fisik.
“Ada hal lain terkait kualitas kepemimpinannya, kompetensinya karena masalah jabar banyak, integritasnya, dan rekam jejak harus dimunculkan. Jadi pemilih juga belajar untuk melihat isu substansial. Partisipasi tergantung teknis. Ada juga warga yang kritis, tidak percaya paslon punya agenda konkret atau tidak percaya dengan sistem penyelenggaraannya. Maka penting menjaga sejak proses awal yang berintegritas,” papar Firman.
Ia menuturkan, pekerjaan rumah lainnya terkait tingkat kepercayaan publik kepada parpol, sehingga harus ada kontrol dari parpol kepada para kader. Apalagi Jabar menjadi provinsi tertinggi mengenai para pejabat yang tersadung kasus korupsi.
“Dulu kalau ditanya karakter pemimpin yang diinginkan, biasanya yang survei teratas adalah yang merakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Sekarang nomor satu adalah pemimpin bersih, integritas, dan tidak terkait korupsi. Sudah ada kesadaran publik bahwa integritas itu penting. Kalau figur elite partai tidak menunjukkan, tingkat kepercayaan dan partisipasi publik menurun,” terang Firman.
Selain popularitas dan elektabilitas, kapabilitas kandidat juga perlu menjadi pertimbangan utama bagi pemilih. Dalam kontestasi politik, kapabilitas seorang calon dinilai dari rekam jejak kepemimpinan, pengalaman, dan visi misi untuk masa depan daerah. Edukasi politik bagi masyarakat sangat diperlukan agar mereka dapat memilih kandidat yang tidak hanya populer, tetapi juga kompeten dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang penuh kompleksitas dan menuntut integritas.
Dengan tingkat keragaman dan kompleksitas masalah yang tinggi, masyarakat Jawa Barat membutuhkan pemimpin yang lebih dari sekadar populer semata. Gagasan besar dan tawaran solusi harus menjadi pijakan utama dalam memilih pemimpin. Namun, bagaimana agar masyarakat mampu menyaring informasi di tengah banjir propaganda politik? Inilah yang dinamakan ujian kecerdasan kolektif karena para calon pemilih harus jeli melihat sesuatu di balik pencitraan dan menemukan sosok yang benar-benar layak untuk memimpin.
*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.