MEMOAR BUKU #13: Menerbitkan Kembali Buku Pers dan Massa Karya Njoto
Buku Pers dan Massa saya dapat dari lapak buku online asal Malang. Di lembar awal terdapat tanda tangan Bakri Siregar, sastrawan sekaligus petinggi Lekra tahun 1965.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
26 November 2024
BandungBergerak.id – Salah satu perkembangan teknologi yang bisa mendatangkan keuntungan secara ekonomis, yakni memanfaatkan teknologi untuk memasarkan atau menjual suatu barang tertentu yang menjadi kebutuhan konsumen. Hari ini orang bisa menjual berbagai produk di berbagai media sosial yang ada hanya cukup dengan memfoto barang yang akan dijual dengan dibumbui caption menarik, lalu posting di laman Facebook, Instagram, Marketplace, dll. Saya sendiri termasuk orang yang menggunakan media sosial untuk membeli atau menjual barang, terutama yang terkait dengan buku.
Banyak buku-buku yang saya dapatkan dari para penjual online. Satu di antaranya ketika saya mendapatkan buku bagus dan langka. Saat itu sekitar lima tahun lalu salah satu lapak online Facebook asal Malang Jatim mem-posting buku Pers dan Massa tulisan Njoto dengan harga sekitar Rp 100.000, tak lama setelah postingan muncul, dengan gerak cepat saya langsung memesannya. Di samping harganya yang relatif “murah” dan juga bukunya yang langka sehingga banyak yang berminat. Tak kurang 10 orang yang ikut berkomentar, bahkan ada yang menyerukan untuk di posting ulang dengan sistem lelang. Tetapi untungnya yang menjual bersifat amanah, dan saya pun tak lama menebusnya dengan mentransfer sesuai harga ditambah biaya ongkos kirimnya.
Kurang dari sepekan buku yang dibeli secara online ini sudah sampai di tangan, dan saya mulai membuka-buka untuk membacanya. Di lembar awal buku terdapat tanda tangan Bakri Siregar seorang sastrawan yang juga ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat ( Lekra) di tahun 1965. Rupanya buku yang saya dapatkan itu merupakan koleksi pribadinya.
Sebenarnya pertama kali membaca resensi buku Pers dan Massa ini pada tahun 2001 dari tulisan seorang mahasiswa Petra Surabaya dengan judul Harian Rakyat: Penggerak dan Pendokumentasi Sejarah Indonesia. Tulisan tersebut dimuat di majalah Suara Pelopor edisi : No.VIII /April Tahun 2001. Suara Pelopor sendiri merupakan majalah yang diterbitkan oleh organ gerakan mahasiswa LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi). Adapun untuk membacanya secara utuh baru bisa dilakukan setelah mendapatkan fisik bukunya.
Buku Pers dan Massa diterbitkan pertama kali oleh N.V. Rakjat pada tahun 1958 dengan format kecil berukuran ± 18 x 12 cm. Buku yang terdiri dari 8 Bab dengan dua pokok bahasan yakni Bab 1: Pers dan Massa; serta Bab 2: Lenin, Pers dan Kita; selebihnya adalah pidato-pidato serta sambutan-sambutan pada ulang tahun surat kabar Harian Rakjat. Semula tulisan dan sambutan-sambutan yang terkait dengan pers dan Harian Rakjat ini tidak disiapkan untuk menjadi buku, tetapi atas banyaknya permintaan dari teman sejawat dan pertimbangan memperluas cakupan Harian Rakjat baik secara nasional maupun internasional, maka buku ini diterbitkan juga.
Baca Juga: MEMOAR BUKU #10: Mengurai Hubungan Islam dan Komunisme Haji Misbach
MEMOAR BUKU #11: Buku Yang Mempengaruhi (1) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi
MEMOAR BUKU #12: Buku Yang Mempengaruhi (2) Mendirikan Lembaga Studi Analisa & Informasi
Selintas Harian Rakjat
Harian Rakjat (HR) terbit pada 31 Januari 1951, beberapa bulan sebelumnya pada Agustus 1950 Aidit dan M. H. Lukman menerbitkan majalah Bintang Merah dengan kocek patungan. Setiap dua pekan sekali mereka juga menerbitkan Suara Rakjat dalam bentuk stensilan, Suara Rakjat ini juga yang menjadi cikal bakal lahirnya HR sebelum berkembang besar dengan oplah yang tinggi.
Bergabungnya Njoto pada awal-awal terbitnya HR menjadi kekuatan tersendiri, meskipun begitu Njoto bukan bagian pendiri HR. Dalam buku seri Orang Kiri Indonesia edisi Njoto yang diterbitkan majalah Tempo menyebut: “Sungguhpun Harian Rakjat (HR) lekat dengan nama Njoto, ia bukan pendiri corong resmi Partai Komunis Indonesia tersebut. Pendirinya Siauw Giok Tjhan (1914-1981), wartawan majalah Liberty dan Pemuda. Ia anggota konstituante, pendiri Baperki, organisasi massa warga keturunan Tionghoa yang kemudian dilarang pasca G30S”. (2010, hal:43)
Meskipun begitu tidak bisa dipungkiri HR menjadi besar berkat tangan dingin Njoto sebagai dewan redaksinya yang banyak melakukan perubahan-perubahan baik dari segi pemberitaan maupun dengan gaya bahasa yang disampaikan ke publik. HR menggunakan bahasa yang sederhana, tidak bertele-tela, dan lugas bahkan sampai konfrontatif. Mengingat HR media yang bersifat harian jadi menghindari informasi ataupun berita-berita panjang dengan bahasa yang memutar sehingga kebenaran dalam setiap berita sering tidak sampai ke pembaca. Padahal Njoto sering menegaskan bahwa “Jika kebenaran objektif diberitakan secara sederhana (jelas) dan hidup, tidak ada lagi yang sempurna dari pada itu”. Tentang kebenaran suatu berita sangat ditekankan karena itu akan mendidik pembaca dan menghalau berita-berita hoaks.
HR tidak mengikuti minsdet pers pada umumnya yang harus bersikap “objektif dan independen” karena dengan sikap seperti itu justru menempatkan pers pada posisi yang ambigu serta pragmatis. Menurut HR, pers harus memihak kepada rakyat dan berpegang pada kebenaran. “kita mesti setia pada kebenaran. Kebenaran nomor satu, faktor-faktor lainnya boleh menyusul”. demikian ungkap Njoto kepada awak HR.
Dengan komitmen dan prinsip-prinsip yang kuat itu, keberadaan HR sudah banyak dirasakan manfaatnya. HR telah banyak menerangkan kehidupan, penderitaan dan juga perlawanan rakyat terhadap sistem dan kelompok-kelompok yang selama ini memeras rakyat. Meskipun begitu HR tak luput juga dari kelemahan-kelemahannya. Di antaranya kurang berhasil dalam mendidik dan memajukan koresponden-koresponden dari kalangan buruh dan rakyat pada umumnya sebagai basis hubungan yang kuat, karena apa yang dinamakan Pers dan Massa itu adalah bagaimana keduanya saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Seiring dengan laju waktu, kehidupan pers yang sebelumnya begitu dinamis dan bergemuruh itu harus terbenam dalam senjakala kematiannya menyusul terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta.
Menerbitkan Buku
Di tengah wabah pandemi Covid 19 yang banyak menghentikan berbagai aktivitas, kami tetap berusaha untuk bertahan dengan buku. Pada awal Juni 2021 saya menerbitkan kembali buku Pers dan Massa melalui penerbitan independen yang dikelola secara mandiri. Saya dan saudara saya (Doddi Permana) mendirikan Penerbit Bandong pada tahun 2018 dengan maksud awalnya untuk menerbitkan atau mencetak naskah-naskah yang terkait dengan kota Bandung ataupun Jawa Barat. Tetapi dalam perjalanan kami juga menerbitkan buku dengan tema lain yang tidak terkait dengan tujuan awal.
Menerbitkan kembali buku Pers dan Massa yang ditulis oleh salah seorang tokoh sentral Partai Komunis Indonesia ini tentunya tidak serta merta karena semuanya bersandar pada argumentasi yang kami sepakati bersama. Penerbit Bandong merasa penting untuk menerbitkan kembali buku tipis ini dengan berbagai pertimbangan. Pertama buku ini merupakan buku sejarah yang terkait dengan pers dan jurnalistik pada umumnya sehingga publik ataupun generasi muda mendatang mempunyai hak untuk mengetahuinya. Kedua membuka ruang untuk menjadi bahan pelajaran bersama karena ini terkait dengan surat kabar partai terlarang yang sebelumnya sulit diakses, maka dengan terbitnya buku ini semakin memperluas khazanah literatur yang bisa dipelajari secara akademis. Sedangkan ketiga dari sisi bisnis yang potensial, peminat buku-buku yang dianggap “kiri” mempunyai pasarnya tersendiri. Buku Pers dan Massa ini tidak hanya ditulis oleh orang kiri tetapi juga belum pernah terbit lagi sejak pertama kalinya tahun 1958 sehingga mengundang banyak orang yang ingin mengetahui isi bukunya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan itu kami memutuskan untuk menerbitkannya kembali. Adapun untuk pembagian tugas disepakati sebagai berikut: penulisan ulang, layout, dan cover buku dikerjakan oleh Doddi Permana; sedangkan saya sendiri selain menyiapkan naskah buku aslinya juga memberi dua kata pengantar sekaligus. Pertama sebagai representasi dari penerbit Bandong dan kedua sebagai pendokumentasi surat kabar lawas. Dalam pembuatan cover buku, kami memakai gambar saat Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) melakukan aksi demonstrasi memperingati hari perempuan Internasional di Jakarta tahun 1960, lalu dikombinasikan dengan potongan koran Harian Rakjat edisi hari buruh 1 Mei 1964. Secara filosofis itu dapat memberi gambaran tentang judul bukunya Pers dan Massa.
Meskipun buku ini membahas tentang Harian Rakjat sebagai surat kabar resmi PKI, tetapi kami menghindari simbol ataupun lambang-lambang partai, ini sebagai komitmen penerbit Bandong bahwa cetak ulang buku ini hanya untuk kepentingan bahan pembelajaran, diskusi, kajian sejarah, dan kepentingan akademis lainnya yang diharapkan berguna bagi generasi mendatang. Setelah semua rancangan buku selesai dan siap naik cetak, baru kami patungan modal untuk mencetak ± 100 eksemplar dulu. Sekitar 2 pekan akhirnya buku kami terima dari sebuah percetakan di Jogjakarta dengan hasil yang cukup memuaskan dan siap untuk diedarkan. Buku ini juga sempat masuk ke gerai Toko Buku Togamas yang ada di Jalan Supratman dan Jalan Buah Batu Bandung. Sedangkan untuk penjualan baik yang dilakukan secara online ataupun offline grafiknya sangat bagus, sehingga stok buku bisa habis terjual semuanya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Buku