• Opini
  • Menyelami Pesantren Melalui Kacamata Nurcholish Madjid, Kritik terhadap Pendidikan Tradisional

Menyelami Pesantren Melalui Kacamata Nurcholish Madjid, Kritik terhadap Pendidikan Tradisional

Nurcholish Madjid mengemukakan berbagai gagasan untuk meningkatkan dan mengembangkan citra pesantren yang merupakan sistem pendidikan asli Indonesia.

Irfan Limbong

Bisa diajak ngobrol tentang puisi esai sambil ngopi, walau tidak merokok. Sedang menyantri di Ndalem Wongsorogo.

Suasana kompleks Pesantren Nurul Iman di jam istirahat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 November 2024


BandungBergerak.id – Pendidikan Islam telah lama dikenal oleh masyarakat sebagai bagian penting dalam kehidupan umat Islam, berfungsi untuk mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam. Melalui pendidikan ini, umat Islam berupaya mempelajari, mendalami, meyakini, mengamalkan, dan menyebarkan ajaran-ajaran tersebut guna mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, baik secara material maupun spiritual. Oleh karena itu, sejak dulu hingga kini, umat Islam terus berusaha menyelenggarakan pendidikan Islam dalam berbagai bentuk, jenis, dan tingkatan kelembagaan. Salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran historis yang signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa adalah pesantren (Susilo & Wulansari, 2020).

Pesantren pada awalnya muncul sebagai lembaga untuk mentransmisikan ajaran Islam tradisional yang tercantum dalam kitab-kitab klasik, yang dikenal sebagai kitab kuning, kepada umat Islam dengan tujuan khusus untuk memperdalam ajaran Islam. Pada dasarnya, pesantren dianggap sebagai tempat pembentukan individu religius yang penuh dengan nilai-nilai keislaman. Di Indonesia, pondok pesantren dianggap sebagai salah satu model dan bahkan pilar pendidikan. Lembaga ini berkembang dan diakui oleh masyarakat, dengan sistem asrama atau pondok di mana para santri menerima pendidikan dari seorang atau beberapa kyai yang memiliki ciri khas karismatik serta mandiri dalam segala aspek.

Pada masa kolonial, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang paling dekat dengan masyarakat, sehingga sering dianggap sebagai institusi pendidikan kalangan bawah yang sangat terintegrasi dengan kehidupan rakyat. Menurut Sartono, akibat dari konsolidasi kekuasaan Belanda, para pemimpin pribumi akhirnya hanya menjadi alat bagi Belanda. Hal ini memperlebar jurang antara rakyat dan pemimpin pribumi. Keterlibatan pemimpin pribumi dalam kekuasaan Belanda juga menyebabkan mereka terisolasi dari masyarakat (Abdullah, 2013).

Hal ini juga menjadi salah satu faktor yang memicu kebencian rakyat terhadap Belanda. Ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan pendidikan modern, kalangan pesantren meresponsnya dengan resistensi yang kuat terhadap kebijakan tersebut. Padahal, pemerintah Belanda sebenarnya bermaksud baik dengan ingin melibatkan rakyat dalam peradaban modern. Namun, para ulama malah merespons dengan mendirikan lebih banyak pesantren yang menjauhkan diri dari kemodernan.

Nurcholish Madjid berpendapat bahwa jika Indonesia tidak mengalami penjajahan, pertumbuhan sistem pendidikan mungkin akan mengikuti jalur yang ditempuh oleh pesantren. Seperti di negara-negara Barat, di mana banyak universitas terkenal awalnya berasal dari lembaga pendidikan yang berorientasi keagamaan (Iddian, 2021).

Pada sekitar tahun 1900 hingga pertengahan abad ke-20, madrasah-madrasah dan perguruan di Minangkabau serta Jawa mulai berkompromi dengan sistem pendidikan modern. Pembaruan dalam lembaga-lembaga pendidikan ini diperkenalkan oleh tokoh-tokoh seperti Haji Rasul, Abdullah Ahmad, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya dengan mengadopsi gaya pembaruan pendidikan Muhammad Abduh di Mesir.

Dalam usahanya untuk memperbarui pendidikan di Mesir, Muhammad Abduh mencoba mensintesiskan sistem pendidikan Barat dengan sistem pendidikan Islam tradisional, dan kemudian merumuskan kembali tujuan serta sistem pendidikan. Pola ini kemudian diadopsi dan dikembangkan di Minangkabau dan Jawa. Usaha-usaha pembaruan yang dilakukan oleh para reformis tersebut dianggap sangat berhasil pada masanya. Namun, para pembaharu berikutnya mulai mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam gerakan tersebut, terutama dalam kaitannya dengan konsep masyarakat madani. Pembaruan ini dinilai telah mengakibatkan pemiskinan intelektual karena mengabaikan khazanah kitab-kitab Islam klasik.

Untuk mengatasi kelemahan ini, Nurcholish Madjid, seorang cendekiawan Muslim Indonesia, mengemukakan berbagai gagasan untuk meningkatkan dan mengembangkan citra pesantren. Dalam upaya menuju masyarakat madani, pesantren dijadikan sebagai fondasi utama, karena selain menyimpan khazanah Islam klasik, pesantren juga merupakan sistem pendidikan asli Indonesia. Bagaimana konsep dan gagasan Nurcholish Madjid tentang pembaruan pendidikan pesantren ini? Tampaknya menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Baca Juga: Meninjau Pemikiran Hasan Hanafi Mengenai Oksidentalisme Menjawab Invasi Budaya Barat
Menyelami Konsep Teologi Revolusioner Hassan Hanafi
Integrasi Pesantren dan Sekolah Umum dalam Pandangan Abdurrahman Wahid

Pemikiran Cak Nur

Menurut Mulyadhi Kartanegara, pemikiran Nurcholish Madjid didasarkan pada beberapa dasar filosofis. Pertama adalah Relativisme, yang berpendapat bahwa kebenaran dalam penafsiran agama bersifat relatif terhadap perkembangan ruang dan waktu. Oleh karena itu, selalu diperlukan upaya reinterpretasi ajaran agama yang sesuai dengan konteks saat ini. Kedua adalah Realisme, yang menekankan bahwa pembaruan harus dimulai dari realitas atau kenyataan yang ada, dan baru kemudian berfokus pada ajaran-ajaran normatif. Ketiga adalah pendekatan Kontekstualisme, yang merupakan konsekuensi dari pandangan realistik, di mana pembaruan akan lebih efektif dan komunikatif jika dilakukan sesuai dengan konteks yang aktual. Keempat adalah pendekatan historis atau konteks kesejarahan, yang menyatakan bahwa pembaruan harus dilakukan sesuai dengan konteks sejarah setempat (Muyadhi, 2001).

Pemikiran Nurcholish Madjid pada dasarnya merupakan dialektika dari tiga ide yang bersatu, yaitu: Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Menurut Nurcholish Madjid, kemodernan dan modernitas adalah realitas sejarah yang tak bisa dihindari. Kemodernan bukanlah sebuah pilihan dan juga bukan monopoli kelompok tertentu, karena sejarah telah membuktikan bahwa manusia atau kelompok lain selalu memiliki peluang untuk mencapainya (Iddian, 2021).

Dengan konsep ini, modernitas atau modernisasi tidak dianggap sebagai perlawanan antara dua wilayah, seperti Timur melawan Barat atau Asia melawan Eropa, dan apalagi bukan sebagai konflik antara dua agama, yaitu Islam melawan Kristen. Di sisi lain, Nurcholish Madjid juga menyesalkan para modernis yang memiliki pemahaman terbatas terhadap khazanah dan tradisi Islam. Oleh karena itu, ia mengimbau cendekiawan Muslim Indonesia untuk menggali kembali kekayaan intelektual Muslim masa lalu yang begitu luas.

Menurut Nurcholish Madjid, yang mengutip pendapat Robert N. Bellah, Islam sejak awal sudah bersifat modern. Nabi Muhammad SAW telah berhasil membangun masyarakat yang modern, yaitu masyarakat Madinah, yang bahkan sangat modern pada masanya. Namun, kondisi Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan infrastruktur sosial yang diperlukan untuk mendukung tatanan sosial modern yang telah dirintis oleh Nabi SAW, sehingga tidak bertahan lama setelah wafatnya Nabi (Madjid, 1992).

Karena Islam sudah modern dan bahkan menjadi sumber modernitas, umat Islam juga harus menjadi umat yang modern; modern dalam cara pandang terhadap kemanusiaan, cara berpikir, ilmu pengetahuan, etos kerja, kehidupan sosial, dan karakteristik modernitas lainnya. Dengan sikap modern inilah, diharapkan umat Islam dapat berperan aktif dalam pembangunan bangsa.

Dalam konsep integrasi antara keislaman dan keindonesiaan, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaannya memerlukan pemahaman mendalam tentang lingkungan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Nurcholish menekankan bahwa keanekaragaman Indonesia, baik dari segi fisik sebagai negara kepulauan maupun dalam hal keagamaan, bukan hanya sekadar sesuatu yang "diberikan," tetapi juga harus "diperhitungkan." Oleh karena itu, setiap langkah dalam melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus selalu mempertimbangkan kondisi sosial budaya yang ditandai oleh pertumbuhan, perkembangan, dan keberagaman (Madjid, 1997).

Untuk mencapai hal ini, Nurcholish Madjid menekankan pentingnya umat Islam memiliki kesadaran historis, yakni kesadaran bahwa tatanan kehidupan manusia selalu terkait dengan perbedaan zaman dan tempat. Dengan argumen ini, Nurcholish menegaskan bahwa Islam membuka kemungkinan adanya solusi lokal untuk masalah lokal tanpa kehilangan esensi ajaran Islam yang bersifat universal. Berdasarkan hal tersebut, tidak perlu ada ketegangan antara visi keislaman dan keindonesiaan. Dalam pandangan agama, Islam dapat berjalan seiring dengan dimensi kebangsaan, karena perjuangan mengemban misi Islam tidak terpisah dari kerangka kebangsaan. Islam dipandang sebagai nilai universal, sedangkan keindonesiaan merupakan wadah untuk mengaktualisasikan nilai tersebut.

Kritik Cak Nur terhadap Pendidikan Pesantren

Terkait dengan upaya pembaruan pendidikan di pondok pesantren, Nurcholish Madjid mengidentifikasi beberapa area yang memerlukan perbaikan. Pertama, terkait dengan perumusan tujuan pendidikan. Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa visi dan tujuan pesantren sering kali lemah. Banyak pesantren yang belum secara sadar merumuskan tujuan pendidikannya atau menyusunnya dalam bentuk rencana kerja atau program yang jelas. Hal ini terjadi karena tujuan pesantren sering kali berkembang secara improvisasi oleh kyai secara intuitif, disesuaikan dengan perkembangan pesantren itu sendiri, atau bahkan terinspirasi dari kepribadian pendirinya (Madjid, 1992).

Nurcholish Madjid juga mencatat bahwa otoritas kyai yang berlebihan dalam pesantren dapat berdampak negatif bagi keberlangsungan lembaga tersebut. Kyai sebagai individu memiliki kapasitas terbatas dalam hal pengetahuan dan kemampuan, yang dapat menghambat respons terhadap perkembangan masyarakat. Akibatnya, pesantren mungkin dianggap kurang mampu untuk beradaptasi dan mempengaruhi kehidupan modern.

Kedua, terkait dengan kurikulum. Nurcholish Madjid menilai bahwa pelajaran agama masih sangat dominan di pesantren, sering kali hanya mencakup materi-materi berbahasa Arab. Dia membedakan antara materi pelajaran "agama" yang bersifat formal dan ilmiah dengan materi "keagamaan" yang lebih berkaitan dengan semangat dan rasa keagamaan. Menurutnya, materi keagamaan sering kali dipelajari secara sepintas lalu, padahal aspek ini lebih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini dibandingkan dengan fikih, ilmu kalam, atau bahasa Arab. Selain itu, ilmu pengetahuan umum diajarkan secara kurang mendalam, sehingga pengetahuan santri dalam bidang ini masih sangat terbatas.

Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang materi pelajaran di pesantren dan kritik-kritik yang diajukan oleh Nurcholish Madjid, berikut adalah uraian rinciannya.

a. Nahwu-Sharaf.

Nurcholish Madjid berpendapat bahwa seseorang tidak bisa disebut agamawan hanya karena keahlian mendalam dalam bahasa Arab atau nahwu-sharaf. Ilmu-ilmu alat seperti nahwu-sharaf seharusnya digunakan untuk mempelajari agama, namun sering kali para santri terlalu fokus pada mempelajari alat tersebut dan mengabaikan tujuan utama, yaitu mendalami ilmu agama itu sendiri.

b. Fiqh

Pengetahuan fiqh yang dimiliki para santri sering kali didominasi oleh hukum-hukum fiqh hasil ijtihad dari masa lalu. Banyak santri dan kyai yang belum mampu mengkontekstualisasikan fiqh tersebut dengan kondisi kekinian, sehingga pembelajaran fiqh di pesantren sering kali kurang relevan dengan situasi saat ini.

c. Aqa’id

Meskipun akidah adalah bidang pokok, perhatian terhadapnya di pesantren sering kali kalah dibandingkan dengan fiqh. Kurangnya perhatian ini disebabkan oleh akses yang terbatas dibandingkan dengan ilmu fiqh yang merupakan cabang.

d. Tasawuf

Tasawuf, yang berfokus pada masalah batin dan religiusitas, dianggap penting namun masih kurang dipahami dengan baik. Banyak pelaku tasawuf tidak dapat menjelaskan secara gamblang tentang tasawuf dan hanya tahu tentang tarekat, suluk, dan wirid, serta mungkin mengenal tokoh-tokoh seperti Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Hal ini menunjukkan kedangkalan pemahaman mereka tentang tasawuf.

e. Tafsir

Nurcholish Madjid mencatat bahwa tafsir adalah bidang keahlian yang jarang dikembangkan di pesantren, padahal tafsir dapat menjelaskan keseluruhan ajaran Islam sesuai dengan cakupan Al-Qur'an. Kurangnya perhatian terhadap tafsir membuka peluang penyelewengan dalam penafsiran. Banyak pesantren yang kurang berminat mempelajari tafsir, terbukti dari jumlah kitab tafsir yang terbatas, seperti hanya tafsir Jalalain. Martin Van Bruinessen juga mengamati bahwa pada abad ke-19, hanya sekitar 8 kitab tafsir yang digunakan di pesantren, dengan tafsir Jalalain sebagai yang paling umum.

f. Hadis

Penguasaan santri di bidang hadis, baik dalam riwayah maupun dirayah, juga masih kurang. Padahal, hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an sangat penting dalam pengembangan pengetahuan agama.

g. Bahasa Arab

Nurcholish Madjid mengamati adanya perkembangan positif dalam penguasaan bahasa Arab di pesantren. Banyak pesantren yang berhasil mencetak santri dengan kemampuan bahasa Arab yang baik, baik secara aktif maupun pasif.

Penutup

Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid mengenai pendidikan pesantren menyoroti pentingnya reinterpretasi ajaran agama sesuai dengan konteks waktu dan ruang melalui pendekatan relativisme, realisme, kontekstualisme, dan historis. Madjid menekankan bahwa modernitas harus dipahami sebagai proses yang menyatu dengan keislaman dan keindonesiaan, bukan sebagai konflik antara Timur dan Barat atau antara agama. Ia mengkritik pendidikan pesantren dengan menunjukkan bahwa banyak pesantren belum memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan cenderung fokus pada bahasa Arab serta materi agama, sementara ilmu pengetahuan umum dan materi keagamaan relevan dengan kehidupan sehari-hari kurang mendapat perhatian.

Kritiknya mencakup area materi pelajaran seperti nahwu-sharaf yang dianggap tidak cukup untuk menyebut seseorang sebagai agamawan tanpa pemahaman mendalam tentang agama, fiqh yang sering kali terbatas pada hasil ijtihad masa lalu, aqa’id yang kurang diperhatikan dibandingkan fiqh, tasawuf yang kurang dipahami secara mendalam, tafsir yang jarang dikembangkan, hadis yang penguasaannya masih kurang, dan bahasa Arab yang, meskipun ada kemajuan, masih perlu ditingkatkan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pemikiran Islam

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//