Menyesalkan Kerusakan Ekologis Gunung Manglayang, Padahal Kearifan Lokal Mengingatkan Kita agar Hidup Harmonis dengan Alam
Meningkatnya alih fungsi lahan hutan di Gunung Manglayang dikhwatirkan menurunkan resapan air dan menuai bencana banjir dan longsor.
Penulis Iman Herdiana30 November 2024
BandungBergerak.id - Gunung Manglayang salah satu benteng ekologis bagi cekungan Bandung (Bandung Raya) yang kini mengalami kerusakan serius. Menurut data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, luas hutan di kawasan Gunung Manglayang yang rusak mencapai 13,85 hektar pada tahun 2020. Selain itu, kerusakan juga terjadi pada beberapa sumber air di kawasan gunung dengan ketinggian 1.804 mdpl. Sungai dan mata air pun tercemar sampah atau limbah.
Demikian hasil penelitian Riyandi dan Yeti Mulyati yang terbit di jurnal Bina Gogik Volume 10 No. 2 September 2023. Kedua peneliti dari Universitas Pendidikan Indonesia ini memaparkan peran budaya dalam melestarikan Gunung Manglayang, yakni praktik tradisi upacara adat ruwatan.
Dalam prosesi ruwatan Gunung Manglayang, masyarakat melakukan serangkaian praktik seperti membersihkan sampah menanam pohon dan melakukan penyucian air. Praktik-praktik ini diharapkan dapat memperbaiki kerusakan lingkungan yang telah terjadi dan membantu menjaga kelestarian alam di kawasan Gunung Manglayang.
“Melalui upacara adat ini, masyarakat juga dapat memperkuat kepercayaan spiritual dan mengedukasi generasi muda tentang pentingnya menjaga lingkungan,” terang Riyandi dan Yeti Mulyati, diakses dari jurnal berjudul “Nilai Ekologis Dalam Upacara Adat Ruwatan Gunung Manglayang”, diakses Kamis, 28 November 2024.
Riyandi dan Yeti Mulyati mengutip Endraswara (Sya’adah, 2021) bahwa praktik ruwatan memiliki nilai edukatif yang tinggi bagi masyarakat agar mempunyai kesadaran kolektif, berbuat baik, bersedekah, memperhatikan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Praktik upacara adat ruwatan Gunung Manglayang juga memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan, dan sebagai sarana refleksi manusia untuk senantiasa menyadari bahwa alam tanpa manusia akan tetap lestari, sedangkan manusia sangat bergantung pada alam.
“Upacara adat ruwatan gunung manglayang menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan melakukan tindakan nyata untuk mengurangi kerusakan lingkungan. Dengan demikian, upacara adat ini menjadi salah satu upaya dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang telah terjadi di kawasan Gunung Manglayang,” papar kedua peneliti.
Isu Lingkungan Perspektif Sunda
Kerusakan lingkungan Gunung Manglayang juga menjadi sorotan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dalam kuliah umum bertajuk “Konservasi Air dari Perspektif Kearifan Sunda”, Senin, 18 November 2024. Acara ini menghadirkan dua narasumber yang kompeten, yaitu Enjang Dimyati atau yang akrab disapa Abah Njum, seorang seniman tradisional Sunda sekaligus pegiat konservasi lingkungan, serta Alfonsus Sutarno, antropolog dan dosen filsafat.
Abah Njum melakukan konservasi di sekitar Gunung Manglayang. Ia menemukan banyak alih fungsi lahan hutan di kaki Gunung Manglayang menjadi lahan pertanian sayur-sayuran.
“Di ketinggian 1.500 hingga 1.600 meter di atas permukaan laut, kawasan itu seharusnya menjadi hutan konservasi, bukan ladang bawang,” kata Abah Njum, diakses dari laman Unpar.
Menurutnya, alih fungsi tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas resapan air dan meningkatkan risiko banjir serta tanah longsor. Ia pun mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk terlibat dalam konservasi dengan tindakan nyata seperti menanam pohon.
Baca Juga:Mengundang Banjir dari Menyusutnya Sawah Gedebage
Lemahnya Sistem Drainase Jadi Penyebab Banjir Kota Bandung
Titik Banjir Mengepung Bandung, Tanggul di Kampung Braga Jebol
Konservasi Air
Khusus mengenai konservasi air, Abah Njum mengungkapkan bahwa praktik ini bukan hanya persoalan ekologis, melainkan juga bagian dari tanggung jawab budaya masyarakat Sunda. “Orang Sunda memiliki tanggung jawab besar karena ajaran Sunda bukan hanya soal budaya dan bahasa, tetapi juga soal menjaga harmoni dengan alam,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa konsep hubungan antara manusia dan alam sudah lama tertuang dalam naskah-naskah Sunda kuno, seperti yang tercantum dalam Amanat Galunggung. “Dalam naskah itu disebutkan bahwa manusia harus mengikuti aliran sungai—tidak mengubah, tetapi menjaga dan menghormati alurnya,” jelasnya.
Alfonsus Sutarno atau yang akrab disapa Romo Tarno memaparkan, aspek filosofis dari air dalam perspektif kearifan Sunda. Ia menjelaskan bahwa air adalah simbol kehidupan dan kasih sayang.
“Dalam tradisi Sunda, air sering diidentikkan dengan perempuan, sebagai lambang kesuburan, kemakmuran, dan kehidupan,” paparnya. Ia juga mengutip makna air dari kosmologi Hindu, yakni Tirta Anumerta, yang berarti air anti kematian. “Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, kita kehilangan nyawa, dan maknanya jauh melampaui nilai materi,” tambahnya.
Romo Tarno juga mengungkapkan bahwa masyarakat Sunda sejak masa Kerajaan Tarumanegara sudah memahami pentingnya konservasi air. “Pada abad ke-4, raja-raja Tarumanegara sudah memanfaatkan air sebagai sumber kehidupan masyarakat melalui pembangunan kanal dan irigasi,” tuturnya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya menjaga filosofi Tri Tangtu dalam tata kelola lingkungan, yang membagi kawasan gunung menjadi tiga bagian: larangan untuk konservasi, tutupan sebagai wilayah penyangga, dan garapan untuk aktivitas manusia. Ia mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat dari hilangnya kesadaran manusia terhadap makna air sebagai bagian dari kehidupan.
Melalui pengalamannya di lapangan, Abah Njum menceritakan hasil penelusurannya di aliran Sungai Cipulus, tempat ia menemukan berbagai masalah pencemaran, seperti limbah peternakan, sumur bor ilegal, dan sedimentasi. Ia memaparkan bahwa pencemaran ini merusak kualitas air dan ekosistem di sekitarnya.
“Di beberapa titik, kami menemukan air yang tidak layak konsumsi karena tingginya kandungan polusi dari limbah domestik,” jelasnya. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa tingkat polusi pada air yang telah terkontaminasi limbah mencapai 216 ppm, jauh di atas ambang batas aman.
Menutup sesi pemaparan, Abah Njum dan Romo Tarno mengajak audiens untuk merefleksikan kembali peran manusia dalam menjaga ekosistem air. “Jika kita salah jalan, kembalilah ke tempat awal kita memulai. Menghargai air berarti menghargai kehidupan,” pesan Romo Tarno.
Senada dengan Romo Tarno, Abah Njum menegaskan, “Dengan menanam satu pohon, kita tidak hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga masa depan anak cucu kita.”
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain tentang lingkungan atau ekologi dalam tautan ini