• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #15: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (13)

MULUNG TANJUNG #15: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (13)

Bagi anak-anak, pemakaian bulao dalam proses mencuci tampak aneh. Bahkan secara tradisional bulao dianggap bisa menyembuhkan penyakit gondongan.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Ilustrasi. Mencuci di masa lalu dilakukan dengan cara-cara tradisional. (Foto: My Ninja AI)

16 Desember 2024


BandungBergerak.idDi Ciguriang terdapat beberapa keluarga yang menyediakan jasa mencuci. Dari beberapa orang dobi yang tinggal di seputar Ciguriang itu, sebagian besarnya masih terikat keluarga, yaitu Abah Mulya, Abah Ilim, Aki Oyo, Aki Baedi, Aki Ending, aki Ajeng, Wa Dahlan, dan Wa Maman. Dari penuturan Ambu, Abah Mulya adalah ayah Abah Salim/Abah Ilim, Aki Oyo masih terhitung sepupu dari Abah Ilim, Aki Baedi adalah ipar Abah Ilim, atau adiknya Ma Abah, Aki Ending, dan Aki Ajeng juga masih terhitung baraya, atau keluarga, Wa Maman, putra pertama Abah Ilim, Wa Dahlan juga masih termasuk keluarga besar kami.

Memang waktu kecil, jika sesekali bermain ke rumah Aki Baedi, saya sering mengamati satu bagian rumah yang juga menempatkan satu alas setrika serupa dengan yang kami punya. Juga sering nampak beberapa seprai terbentang di tali jemuran yang berjajar di tiang pipa besi.

Tentang jemuran yang selalu penuh cucian di halaman rumah kami, sesekali kami bermain petak umpet dan bersembunyi di balik seprai-seprai yang membentang lebar. Atau berlarian di antara ilalang yang dijadikan tempat mengelantang seprai-seprai tersebut. 

Peralatan mencuci pun tak lepas dari perhatian kami, para anak, sesekali peralatan itu dijadikan media bermain yang menyenangkan. Bahkan tenyata bukan hanya kami yang senang bermain dengan alat-alat mencuci itu, orang tua kami pun melakukan hal yang sama di masa kecilnya. Kata Ambu, ketika mereka masih kanak-kanak, Ambu dan teman-temannya sering menggunakan sundung untuk bermain rumah-rumahan.

“Sundung na teh dua, direndengkeun, ditiungan ku samping nu disampaykeun kana dua sundung eta, minangka na mah hateup, ngarah iuh [Sundungnya dua, diletakkan berdekatan, lalu diberi atap memakai kain samping yang disampirkan pada dua pemikulnya],” cerita Ambu.

Dan ternyata hal seperti itu pula yang saya lakukan waktu kecil, sasaungan dengan menggunakan sundung dan kain samping. Lalu bermain mobil-mobilan di dalam tahang dengan suara yang dibuat sendiri.

Jika mengingat masa kecil itu, saya jadi teringat cerita Ua Us Tiarsa yang bermain di antara bangkai kapal yang dibuang di Ciguriang.  

Barudak téh baroga akuan mobil hiji séwang. Ari kapal mah hiji téh ku tiluan atawa opatan. Asa kacida reueusna, umur nincak lima taun geus ngasaan numpak kapal udara jeung "boga" mobil. Méh kabéh deuih barudak nu sok arulin dina kapal, nyarahona téh kapal udara mah paragi perang. Éta meureun pédah ngalaman, kudu nyumput dina lombang mun kapal ngadérédéd lembur atawa ngaragrag-ragragkeun bom. Nu matak arulinna di jero kapal tèh, nyeta-nyeta jadi soldadu wé. Mun tiluan, nu saurang jadi pilot, nu saurang purah ngabekaskeun bedil mesin, nu saurang deui tukang ngaragragkeun bom. Nu jadi pilot teu eureun ngahéang, niron sora kapal bari dangdak-déngdék ka ditu ka dieu. Nu ngabekaskeun bedil mesin teu eureun dédérédédan. Ari bomber mah, susuitan terus jejeleguran bari meungpeukan ceuli sorangan (Us Tiarsa, Basa Bandung Halimunan).

Nah, jika pada masa itu Ua dan teman-temannya bermain menggunakan bangkai-bangkai kapal, Ambu dan saya di masa kecil kami masing-masing memanfaatkan peralatan mencuci itu sebagai alat bermain dengan imajinasi kami masing-masing. 

Hal yang juga sempat mengundang pertanyaan saya adalah penggunaan bulao pada pakaian putih.

“Naha Bah, bet nganggo bulao, atuh engke acukna janten biru,” tanyaku pada Abah, sambil bermain mengobok-obok air yang nampak membiru di dalam raupan tangan. Ya, ada ketidakmengertian mengapa baju putih harus direndam sejenak di dalam air larutan bulao, menurut logika anak kecil yang sedang mengganggu kakeknya mencuci itu. Baju putih itu pasti akan berubah menjadi biru, bukan menjadi semakin putih.

“Pan ngarah awet bodasna,” jawab Abah. Dan tetap menurut pikiran anak kecil itu, jawaban Abah membingungkan. 

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #12: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (10)
MULUNG TANJUNG #13: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (11)
MULUNG TANJUNG #14: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (12)

Di dalam bulao atau blau dalam bahasa Indonesia, warna birunya memberikan efek bersih dan lebih cerah pada kain berwarna putih. Tapi jika takarannya berlebihan tentu saja malah akan membuat kain putih berubah warna menjadi kebiruan. Jadi air blau yang digunakan untuk merendam, cukup biru pucat saja aggar hanya didapat efek mencerahkan, bukan merubah warna. Yang berfungsi sebagai pembersih bisa jadi karena adanya kandungan sodium citrate atau tepung soda pada blau atau bulao.

Tetapi ada penggunaan bulao yang unik di kalangan masyarakat Indonesia, yaitu menggunakan bulao sebagai obat penyakit gondongan dengan membalur bengkak gondongan dengan bulao yang dilarutkan dalam sedikit air sehingga menyerupai pasta. Lalu apakah memang benar bulao menyembuhkan gondongan? Dalam satu artikel kesehatan yang pernah saya baca, tidak ada hubungan antara gondongan dengan bulao, hanya saja kemungkinan penggunaan pasta bulao sebagai balur pada gondongan berfungsi sebagai kompres dingin untuk mengurangi nyeri.

Tapi di kalangan masyarakat Sunda zaman dulu ada lagi kebiasaan mengatasi penyakit gondongan yang unik yaitu dengan mengompreskan sekepal nasi hangat di bagian yang terkena gondongan lalu melemparkan kepalan nasi itu pada anjing, dengan maksud agar kepalan nasi itu dimakan anjing, sehingga gondongannya menghilang, konon berpindah atau dibawa oleh sang anjing. Dan entah kebetulan atau bukan, biasanya setelah dibalur bulao dan atau mengompres gondongan dengan sekepal nasi hangat yang kemudian nasi tersebut dimakan anjing, maka gondongan yang diderita bengkaknya akan berangsur berkurang. Pertanyaannya mengapa harus anjing? 

Pada satu postingan pak Djoemena Gorgan di grup Napak Tilas Bandung Tempo dulu, juga disebutkan bahwa bulao pun sering digunakan sebagai bahan campuran kapur untuk mengapur dinding agar hasil pengapurannya lebih bagus, dan tentu saja lebih putih cemerlang.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//