• Liputan Khusus
  • Perjalanan Ambu Wiwin dalam Harmoni dan Resep Keluarga

Perjalanan Ambu Wiwin dalam Harmoni dan Resep Keluarga

Ambu Wiwin lahir dari keluarga dengan agama beragam. Ayahnya penghayat kepercayaan. Hidup damai dalam perbedaan.

Ambu Wiwin (44 tahun), penghayat Aliran Kebatinan Perjalanan yang membuka usaha katering bersama keluarga, 22 November 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah17 Desember 2024


BandungBergerak.id - Saban hari Wiwin (44 tahun) bergelut dengan berbagai kegiatan. Kadang menjadi ibu rumah tangga dan merawat anak-anak, lalu menjalankan usaha katering nasi kotak yang merupakan sumber penghasilannya. Sebagai orang tua tunggal, Wiwin harus bekerja keras membagi waktu untuk anak-anaknya dan mencari nafkah buat masa depan mereka. Selain itu, ia juga masih bisa menyediakan waktu aktif di komunitas keberagaman. 

Setiap pagi Wiwin biasa mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Setiap Rabu dan Jumat ia mengantarkan anaknya sekolah bulutangkis. Pun saat ditemui bandungbergerak di rumahnya daerah Sukasari, Bandung, 22 November 2024, perempuan yang akrab disapa Ambu Wiwin sedang sibuk menyiapkan perlengkapan anak-anaknya yang akan berlatih bulutangkis. 

Sebelum membuka katering, Ambu Wiwin sudah beberapa kali membuka usaha untuk menghidupi keluarga. Jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda, ia membuka usaha kecil cuci motor yang ia lakoni selama delapan tahun. Dari situ, ia kemudian beralih usaha jualan seblak di depan rumahnya.

Usaha Wiwin berjualan kuliner sejuta umat itu tidak lama. Setelah memutar otak, ia banting stir berjualan jajanan anak sekolah, cilok, lalu jualan bawang goreng. Dari cilok dan bawang goreng Wiwin merasa mantap. Kedua produknya telah mengantongi izin dan label halal.

Wiwin aktif berjejaring dengan komunitas lintas iman Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub). Dari sejak muda, ia juga tercatat aktif di organisasi penghayat kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) Bandung. Dari komunitas ini ia menjejaki usaha katering nasi bok.

“Buka nasi boks itu tidak sengaja. Awalnya dari Kang Wawan Jakatarub katanya kalau setiap kegiatan meminta pengin masak dari penghayat. Dan bilang saya jago masak, awalnya di situ,” cerita Ambu Wiwin.

Bermula dari lingkaran pertemanan dengan Kang Wawan (Wawan Gunawan, pendiri Jakatarub) itulah Ambu Wiwin menekuni usaha katering. Ia lalu menggandeng keponakannya sendiri untuk terlibat dalam bisnis kuliner ini.

Kebetulan, keponakannya memiliki minat dan bakat yang sama dengan Wiwin, yaitu memasak. “Dari sana Kang Wawan juga bilang, nanti kalau ada orderan lagi pasti diarahkan ke sini,” cerita Ambu Wiwin.

Bisnis nasi kotak Ambu Wiwin berjalan sampai saat ini. Tidak ada media sosial Instagram atau Facebook untuk mengenalkan bisnis kateringnya. Murni dari mulut ke mulut. Ambu Wiwin pun belum punya waktu dan tenaga untuk mengelolanya. “Orderan sekarang masih mulut ke mulut, karena itu tea geningan,” ujarnya, sembari tersenyum kecil.

Meski tanpa pemasaran digital, orderan katering Ambu Wiwin lumayan ramai. Selalu ada saja yang mengontaknya untuk memesan beberapa nasi boks. Pesanan datang terutama dari mahasiswa yang sering mengadakan kegiatan atau organisasi lintas iman.

Ambu Wiwin membuka sistem pemesanan dengan cara membayar setengah dari pesanan atau bayar dimuka. Hal ini dilakukan demi mengurangi kerugian. Jumlah orderan yang diterimanya rata-rata paling kecil 30 bok. “Kalau orderan sampai lima ratus boks mah belum, aamin itu mah,” kata Ambu Wiwin.

Usaha katering Ambu Wiwin bersama keluarga di Bandung, 22 November 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Usaha katering Ambu Wiwin bersama keluarga di Bandung, 22 November 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Harmoni Hidup di Tengah Perbedaan

Ambu Wiwin lahir dari keluarga beragam. Ayahnya seorang penghayat kepercayaan atau penganut agama nenek moyang, dan ibunya merupakan muslim yang taat, demikian juga dengan kepercayaan keponakanya yang sering membantu berbisnis nasi boks.

Dari delapan bersaudara, ia dan kakaknya yang kedua mengikuti langkah bapaknya sebagai penghayat. Menurut Wiwin, di keluarganya tidak ada paksaan dalam menganut agama atau keyakinan. Ayahnya lebih mengedepankan sikap demokratis. “Bapak demokratis pisan. Setiap anak dikasih pilihan, tapi harus tanggung jawab dengan pilihannya itu,” jelas Wiwin.

Hal yang sama ditunjukkan oleh sang ibu yang memandang tidak ada yang salah dari setiap agama. Kesalahan justru dilakukan oleh para penganut-penganutnya.

Saur mamah oge, agama mah sadayana ge ngajarkeun kasaean, nu lepat mah biasana ge jalmina (Kata Mamah, agama semuanya mengajarkan kebaikan, yang salah biasanya orangnya),” kata Wiwin.

Sejak usia muda, Wiwin aktif di Angkatan Muda Perjalanan, sayap kepemudaan Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP). Ia selalu meminta untuk dilibatkan dalam segala kegiatan. “Mungkin karena saya tuh orangnya, ekstrovert jadi selalu pengen dilibatkan,” terang Wiwin.

Meski berbeda keyakinan, ia tetap akrab dan guyub dengan adik serta kakaknya. Ia menceritakan bagaimana adik dan kakaknya yang muslim begitu terpukul saat ayahnya meninggal. Para tetangga berniat menyolatkan dan memandikan jenazah ayahnya.

“Tapi kan di sini, pada tau bapak dan menghargai bapak. Jadi gak menyolatkan, tapi kakak saya itu kayak ambek (marah) gitu, tapi itu emang begitu kanyaah, kasih sayangnya dan cintanya,” jelas Wiwin.

Almarhum ayah Ambu Wiwin kemudian dipulasara secara Islam. Sang istri, ibunda Wiwin lantas mengusulkan prosesi tahlilan.

Baca Juga: Melihat Orang-orang Muda Bandung dari Kelompok Minoritas Merajut Demokrasi
Susah Payah Kaum Penghayat Bandung dan Cimahi dalam Meraih Kesetaraan
Lika-liku Jalan Penghayat Kepercayaan di Bandung Raya untuk Mendapatkan Pengakuan dari Negara

Usaha katering Ambu Wiwin di Bandung, 22 November 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Usaha katering Ambu Wiwin di Bandung, 22 November 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Aliran Kebatinan Perjalanan dan Sebuah Tantangan 

Di Sukasari tahun 1980-an, Wiwin menceritakan jumlah penghayat kepercayaan mencapai 100 kepala keluarga. Kini mereka tersisa 15 jiwa orang saja. Pengurangan penganut kepercayaan terjadi karena banyak faktor, antara lain karena orang tua para penghayat tidak mentransferkan keilmuannya pada anak-anaknya dan terkadang ada juga yang menikah dengan nonpenghayat kemudian mengikuti agama pasangannya. Tantangan tersebut terjadi juga pada orang muda penghayat kepercayaan saat ini. 

“Ini juga terjadi di pemuda urang sekarang yang katanya, pacaran beda agama,” jelas Ambu Wiwin.

Ambu Wiwin mengajari anak-anaknya mengenai ajaran penghayat kepercayaan. Tujuannya agar mereka mengenal apa keyakinan yang dianut ibunya. “Tapi kalau udah dewasa, mereka punya jalan masing-masing juga gak apa-apa, yang penting mereka tahu ibunya itu penghayat,” katanya.

Ambu Wiwin mengajarkan sikap toleransi pada anak-anaknya. Dan ia juga berharap solidaritas lintas iman bisa memberikan pengajaran nilai-nilai toleransi pada anak-anak, tidak hanya orang muda. Agar anak-anak bisa memahami arti perbedaan. Meski anak-anak sering bertengkar kecil, mereka akan berdamai kemudian.

“Anak kecil mah kan polos ya, jadi harapannya bisa juga menyasar gitu ke anak-anak,” imbuhnya.

Kolom agama di surat identitas kependudukan Wiwin dan anak-anaknya tertulis Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, beberapa hambatan masih sering mereka alami. Misalnya, ketika mengisi suatu formulir ada pihak yang tidak percaya dan meminta penjelasan terkait Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Kalau ngisi form digital masih sulit saat ngisi kolom agama. Kadang juga ada yang meminta KTPnya, jadi saya jelasin aja pelan-pelan,” katanya.

Tesa Amyata Putri, Bintarsih Sekarnigrum, dan Muhammad Fedryansyah dalam Gerakan Sosial dan Mobilisasi Sumber Daya dalam Memperjuangkan Pengakuan Kepercayaan Berbeda mengatakan, AKP di Bandung berhasil melakukan gerakan sosial yang membuat mereka diakui oleh negara melalui keputusan Mahkamah Konstitusi pada No 97/PUU-XIV/2016. Keputusan ini mengizinkan kelompok kepercayaan mengisi kolom agama di surat identitas kependudukan dengan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Aliran kebatinan kepercayaan merupakan kelompok penganut satu keyakinan spiritual yang dianut hingga kini oleh sebagian kelompok masyarakat Indonesia. Keberadaannya diakui serta diatur dalam Undang Undang 23 tahun 2006. Meski demikian, sebelum putusan MK, para penghayat kesulitan mengisi kolom agama. Ada yang terpaksa mengisinya dengan agama mayoritas atau mengosongkannya.

“Organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan di Kota Bandung secara gerakan sosial dapat berhasil dan tetap eksis akibat ketersediaan sumber daya yang terus dirawat bahkan diperluas demi tujuan yang ingin dicapai,” tulis Tesa dkk, diakses di Jurnal Socius Jurnal of Sociology Research and Education volume 9 nomor 2022.  

Tesa dkk menyatakan, keberhasilan dari gerakan sosial dapat terwujud apabila organisasi mampu memaksimalkan sumber daya yang dimiliki untuk fokus pada pencapaian tujuan bersama, melalui kerja sama anggota kelompok. 

Tesa dkk menuturkan, aliran kebatinan perjalanan didirikan pada 17 September 1927 oleh tiga orang pendirinya yaitu Mei Kertawinata, M.Rasid, dan Sumitra. Ajaran yang dideklarasikan di Kampung Cimerta, Subang, Jawa Barat ini lahir dari wangsit yang diterima pendirinya. Wangsit merupakan suara gaib yang diterima sebagai suatu petunjuk. 

Para peneliti Unpad tersebut ini menjelaskan, nama perjalanan diambil dari kata ngamplah yang berarti mewujudkan segala cita-cita dan usaha apa pun bersifat kelahiran dan kebatinan haruslah menjalani atau dilampahi.

“Hal tersebut digambarkan sebagai air yang menetes keluar dari sumber yang mengalir terlebih dahulu ke selokan, ke sungai kemudian sampai ke samudera. Perjalanan yang harus ditempuh oleh air dari sumber sampai ke samudera mendatangkan manfaat bagi kehidupan,” terang Tesa dkk. 

Pada dasarnya, setiap manusia sedang menempuh perjalanan. Untuk mewujudkan cita-cita atau mencapai tujuan akhir mereka harus meleburkan diri dengan kehidupan masyarakat. Mereka harus bermanfaat bagi dirinya serta orang lain. Jalan ini yang ditempuh Ambu Wiwin bersama keluarganya.

*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//