Arah Transisi Energi Indonesia Belum membuahkan Hasil Positif
Bauran energi fosil terus naik, pasokan listrik dari PLTU batu bara mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan energi terbarukan masih rendah.
Penulis Awla Rajul20 Desember 2024
BandungBergerak.id - Arah transisi energi di Indonesia dinilai belum membuahkan hasil yang membanggakan. Pemerintah berjanji untuk mengurangi emisi dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. Namun begitu, sorotan Institute for Essential Services Reform (IESR) menemukan fakta kebalikannya, bauran energi fosil terus naik, pasokan listrik dari PLTU mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir, sedangkan pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah.
“IESR menilai transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon,” ungkap pernyataan resmi IESR, dalam ringkasan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025.
IESR mencatat bahwa keragu-raguan dalam menentukan arah dan laju transisi energi dapat mengancam pencapaian target net zero emission (NZE) sebelum 2050, seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pernyataannya pada KTT G20 di Brasil, sekaligus melemahkan peluang Indonesia menjadi pemain utama di pasar energi terbarukan global.
IETO merupakan laporan tahunan yang diterbitkan IESR sejak 2018 untuk memantau perkembangan dan arah transisi energi di Indonesia. IESR menilai, lahirnya Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan target di 2045.
Selain itu, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang diklaim sebagai RUPTL hijau, nyatanya tidak membawa perubahan berarti. Sebagian besar proyek pembangkit energi terbarukan yang harus dieksekusi 2021-2025 belum dilelang, konstruksi dan beroperasi. Hingga 2024, capaian target bauran energi terbarukan hanya berkisar di 13,1 persen, padahal target semula adalah 23 persen di 2025.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan, transisi energi di Indonesia pada 2024 masih dalam tahap konsolidasi sebagai hasil pergantian kepemimpinan nasional dengan target dan prioritas baru dan kondisi ketidakpastian ekonomi global dan Indonesia. Berdasarkan pengukuran kesiapan bertransisi (Transition Readiness Framework/TRF) yang dikembangkan IESR, konsistensi kebijakan dan kepemimpinan dipandang para pelaku bisnis sebagai salah satu penghambat terbesar dalam agenda transisi energi di Indonesia.
Hal yang sama juga terpantau di TRF 2024. Meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, regulasi yang kurang menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung.
Fabby menyebut, tahun 2025 mendatang menjadi titik kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang reformatif untuk mempercepat transisi energi yang adil dan efisien. Ia menyayangkan strategi pemerintah yang berfokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang belum matang, mahal dan berisiko, dibandingkan teknologi energi surya, dan angin, serta battery atau penyimpan energi yang sudah tersedia di pasar dan harganya semakin kompetitif.
“Kabar baiknya, Presiden Prabowo Subianto dalam forum KTT G20 Brazil menyatakan bahwa Indonesia akan mengakhiri PLTU batu bara pada 2040. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan amanat di dalam Perpres 112/2022 untuk mempensiunkan PLTU batu bara lebih awal dari umur keekonomiannya. Misi ini bukanlah hal yang mustahil jika dilengkapi dengan upaya melakukan reformasi kebijakan, regulasi besar-besaran dan perencanaan sistem ketenagalistrikan yang terpadu, sehingga dapat memastikan ketahanan energinya dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 8 persen, seperti yang dicita-citakan Pemerintahan Presiden Prabowo,” jelas Fabby dalam peluncuran IETO 2025, Kamis, 5 Desember 2024.
Baca Juga: Menanti Pensiun Dini PLTU Batu Bara di Jawa Barat, Bercermin dari Dampak Mematikan Polusi di India
Catatan Kritis PLTU Sukabumi, Menuai Petaka dari Batubara
PLTU di Jawa Barat sebagai Penyumbang Polusi Udara
Masih Setia pada Energi Kotor
Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara menyebutkan, semua sektor masih bergantung secara signifikan pada bahan bakar fosil yang didominasi oleh penggunaan batubara, LPG, dan BBM. Di sektor ketenagalistrikan, 81 persen energinya berasal dari energi fosil pada 2023. Tidak hanya itu, PLTU di luar wilayah usaha PLN (captive), kapasitasnya berkembang menjadi 21 GW di 2023 sehingga berkontribusi naiknya emisi sebesar 27 persen di tahun yang sama.
Sementara, energi terbarukan hanya memiliki kontribusi bauran energi yang sangat kecil. Misalnya, di sektor industri, energi terbarukan hanya menyumbang 6,52 persen dari total energi yang digunakan. Raditya menyebut, pemerintah perlu progresif mengurangi subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan subsidinya ke energi terbarukan. Ia juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan pengawasannya pada PLTU captive dan mendorong industri beralih ke energi terbarukan.
“Pernyataan Presiden Prabowo tentang pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 harus segera direalisasikan, dimulai dari PLTU yang paling tidak efisien, alih-alih melengkapi PLTU dengan teknologi CCS/CCUS. Dari analisis kami, pensiun dini PLTU Cirebon-1, misalnya, akan membutuhkan biaya pengurangan karbonnya sekitar USD 31-40/tCO2e, lebih rendah dibandingkan CCS yang mencapai USD 62-324/tCO2e,” jelas Raditya yang juga merupakan penulis IETO 2025.
Analis Pertanian, Kehutanan, Tata Guna Lahan, dan Perubahan Iklim IESR, Anindita Hapsari menyatakan, tanpa langkah strategis dan ambisius untuk menurunkan emisi di semua sektor, Indonesia berisiko menghadapi pemanasan global lebih dari tiga derajat celcius. Ia mendorong pemerintah untuk merancang pendekatan yang terencana dan bertahap dengan melibatkan seluruh pihak, untuk mendukung transisi energi Indonesia.
Anindita menekankan pada strategi jangka pendek untuk menangani isu yang mendesak, dan jangka panjang untuk membangun fondasi sistem energi rendah karbon yang berkelanjutan dan selaras Persetujuan Paris.
Secara jangka pendek, pemerintah perlu mulai melakukan beberapa hal. Di antaranya, menegakkan kepatuhan dalam memastikan implementasi kebijakan yang ada, seperti pengetatan standar emisi bahan bakar, dan penerapan bangunan hijau. Pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk mempercepat adopsi teknologi rendah emisi, seperti elektrifikasi kendaraan darat dan implementasi mekanisme perdagangan karbon. Selain itu, pemerintah harus memprioritaskan dan akselerasi pengadaan energi terbarukan.
Sementara secara jangka panjang, pemerintah perlu membangun infrastruktur energi terbarukan dan memperkuat infrastruktur jaringan listrik untuk mendukung integrasi energi terbarukan. Pemerintah juga harus menyusun mekanisme pasar yang mendorong efisiensi dan keberlanjutan energi. Yang terakhir, pemerintah pusat perlu memperkuat peran daerah dalam implementasi kebijakan transisi energi, seperti pengelolaan sumber daya lokal dan perencanaan energi regional.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional