• Berita
  • Ujungberung Dikukuhkan Sebagai Kampung Siaga Bencana, Ada Catatan Minor dari Evaluasi KSB-KBS Sebelumnya

Ujungberung Dikukuhkan Sebagai Kampung Siaga Bencana, Ada Catatan Minor dari Evaluasi KSB-KBS Sebelumnya

Program Kampung Siaga Bencana (KSB) bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam hal kebencanaan. Tetapi program-program KSB di wilayah lain penuh catatan.

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung, Ujungberung, di saat bencana nonalam Pandemi Covid-19, 1 Juli 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Iman Herdiana23 Desember 2024


BandungBergerak.idKecamatan Ujungberung, Kota Bandung baru-baru ini dikukuhkan sebagai Kampung Siaga Bencana (KBS). Kampung Siaga Bencana merupakan program pemerintah pusat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terkait kesiapsiagaan bencana. Namun, KBS-KBS terdahulu memiliki sejumlah catatan untuk dievaluasi karena unsur partisipasi yang kurang jalan.

Penjabat Sekretaris Daerah Kota Bandung Dharmawan menyampaikan, pembentukan KSB Ujungberung merupakan langkah strategis, mengingat kecamatan di Bandung timur ini merupakan wilayah rentan terhadap berbagai jenis bencana, seperti banjir, longsor, serta gempa bumi akibat patahan Lembang.

Dharmawan juga menjelaskan, ada tiga hal yang menjadi fokus KSB, yaitu: peningkatan pengetahuan kebencanaan, agar masyarakat memahami bahaya, risiko, dan mitigasi bencana; pendekatan berbasis budaya, yang memanfaatkan kekayaan budaya lokal untuk menyampaikan pesan mitigasi secara efektif; dan pengorganisasian masyarakat, melalui jejaring yang melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga kebencanaan dan komunitas lokal.

"Acara ini merupakan langkah penting untuk meningkatkan resiliensi masyarakat Kecamatan Ujungberung dalam menghadapi berbagai potensi bencana," ujar Dharmawan, dalam acara peresmian KBS Ujungberung di Lapang Agrowisata, Jalan Ciporeat, Bandung, Kamis, 5 Desember 2024.

Antara Tujuan dan Realitas

Mengutip dokumen pembentukannya, “Kampung Siaga Bencana adalah sebuah wadah penanggulangan bencana berbasis masyarakat yang dijadikan kawasan/tempat untuk program penanggulangan bencana” yang diluncurkan 2011 oleh Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial RI [Muhammad Belanawane S, 2016].

Banyak penelitian ilmiah yang meneliti program Kampung Siaga Bencana. Di antara jurnal-jurnal yang diakses BandungBergerak, menunjukkan ada permasalahan yang sama dari pelaksanaan program ini, yakni efektivitas program dalam membangun warga siaga bencana.

Salah satu penelitian dilakukan Dara Pristina, Kovic Salim, Samuel Christian, Angrenggani Pramitasari dalam jurnal berjudul “Evaluasi Efektivitas Program Kampung Siaga Bencana (KBS) Pegangsaan Dua: Studi Kasus Rw 03, Jakarta ” [Jurnal Pelita Kota Vol. 3, No.2, Agustus 2022 file:///D:/evaluasi%20kampung%20siaga%20bencana%20581-Article%20Text-2050-3-10-20230509.pdf].

Dara Pristina dkk memaparkan, Kelurahan Pegangsaan Dua telah ditunjuk oleh pemerintah kota untuk mengimplementasikan program KSB guna menanggulangi bencana banjir dan kebakaran. Namun, dengan melihat kondisi masyarakat RW 03 Kelurahan Pegangsaan Dua yang masih melakukan upaya siaga bencana yang seadanya tanpa adanya peningkatan kapasitas adaptif.

Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti menyimpulkan, KSB Pegangsaan Dua menjadi komunitas masyarakat yang tidak efektif dalam menyiapkan kesiagaan masyarakat. Mulai dari saat prabencana masih terdapat kekurangan sarana prasarana yang dibutuhkan, gardu sosial yang terlalu jauh, dan kurangnya edukasi kebencanaan pada masyarakat.

“Sampai pada saat pascabencana KSB tidak begitu memperhatikan kemungkinan adanya kebutuhan pemulihan kesehatan fisik dari warga korban banjir. KSB baru menunjukkan perannya pada saat terjadi banjir,” tulis Dara dkk, diakses Senin, 16 Desember 2024.

Penelitian tentang KSB lainnya, kali ini lebih dekat dengan Kota Bandung, dilakukan Septian Dwi Pangestu dan Muhammad Fedryansyah dalam jurnal berjudul Masyarakat Melalui Kampung Siaga Bencana Di Desa Cihanjuang Kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang (Jurnal Pekerjaan Sosial, 2023 file:///D:/kampung%20siaga%20bencana%2047267-186127-1-PB.pdf].

Peneliti menemukan bahwa dalam aspek monitoring dan evaluasi program KSB di Desa Cihanjuang belumlah berjalan secara formal dengan melibatkan kegiatan yang terstruktur. Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan fakta bahwa proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan selama ini hanya dilakukan oleh pihak internal KSB saja dan tidak bersifat formal yang melibatkan seluruh kepengurusan. Baik itu pada tingkat KSB dalam lingkup desa maupun keseluruhan satu kecamatan.

“Tidak adanya pelaksanaan monitoring dan evaluasi mengakibatkan tidak adanya laporan resmi kegiatan maupun tolak ukur dari keberhasilan pelaksanaan program mitigasi yang dijalankan selama ini. Melalui hasil penelitian yang telah dikemukakan terdapat tiga masalah utama yang terjadi dalam implementasi kegiatan mitigasi bencana melalui KSB di Desa Cihanjuang yaitu: menurunnya keaktifan dan keterlibatan masyarakat, regulasi anggaran kegiatan, dan minimnya komunikasi dan kerjasama antar pihak,” papar peneliti.

Baca Juga: Belum Ada Solusi Ampuh Mengatasi Gunung Sampah Pasar Caringin
Buruh Jabar Mengawal Kenaikan UMK 2025 Minimal 6,5 Persen
Laga Riverside Forest FC di Liga Empat, Tetap Mengkampanyekan Sepak Bola untuk Rakyat

Kebijakan dari Atas

Meski bertujuan memberdayakan (partisipasi) masyarakat untuk sadar akan pentingnya kewaspadaan terhadap bencana, program Kampung Siaga Bencana kental dengan kebijakan pusat dari atas ke bawah. KBS sendiri merupakan program pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial.

Muhammad Belanawane S, peneliti Puslitbang Kesos Kementerian Sosial RI dalam jurnalnya [SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September - Desember, Tahun 2015] menganalisa bahwa KSB memiliki sisi ironis.

“Konsep yang coba diterapkan secara top-down ini sebenarnya tidak disadari (atau sengaja diabaikan?) semata untuk meraih output program yang ditargetkan,” tulis Muhammad Belanawane S.

Analisa tersebut berkaca dari hasil penelitian Muhammad Belanawane S di KSB Umbulharjo.

“Ketika KSB di-launching [pertama kali diluncurkan], di ruangan ini juga. Acaranya besar dan rame. Banyak pejabat. Sampai Pak Menteri [Sosial ketika itu, Salim Segaf Al-Jufri] datang jauh-jauh membuka dari Jakarta. Ada pemotongan pita merah, papan nama KSB yang ditutup [kain] tirai terus dibuka pak Menteri. Banyak warga yang diundang [ke Balai Desa] ndak tahu hadir untuk acara apa. Kami baru tahu setelah tirainya dibuka. Setelah itu, berbulan-bulan tidak ada berita apa-apa [tentang KSB,” demikian kata responden yang dikutip Muhammad.

Menurut Muhammad, kehebohan seremonial yang diikuti ketidakjelasan komunikasi seperti yang dinyatakan informan di atas merupakan paradoks yang besar untuk KSB sebagai sebuah program ambisius berskala nasional yang mengklaim untuk mempromosikan partisipasi sipil.

Saat berkunjung ke sejumlah kantor pemerintah daerah lokal di Umbulharjo, Muhammad terkejut dengan kenyataan di mana hampir semua petugas yang ditemui di sana, termasuk seorang pejabat lokal, tidak mengetahui eksistensi KSB kecuali sedikit sekali yaitu sekedar keberadaannya di Cangkringan.

Menurut Muhammad, rezim pembangunan kebencanaan yang dipraktikkan melalui instrumen kebijakan ‘berbasis-komunitas’ KSB di Umbulharjo tidak mampu menggerakkan partisipasi masyarakat karena tidak dengan tegas melepaskan aparatus birokrasinya, sehingga operasionalisasi program hanya bergerak sebatas teknis-prosedural, atau yang sebelumnya kita sebut pendekatan teknokratik.

Dengan kata lain, unsur partisipasi dari KSB tidak terjadi karena program yang ditawarkan masih sangat kental dengan kebijakan pusat-daerah.

*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Bencana dalam tautan berikut ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//