• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Permendikbudristek No 46 Tahun 2023, Bagai Sayur Tanpa Garam

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Permendikbudristek No 46 Tahun 2023, Bagai Sayur Tanpa Garam

Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan dirancang untuk menangani persoalan kekerasan di sekolah, tapi tidak untuk mencegahnya.

Bima Agung Prakosa

Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha

Ilustrasi. Mencegah perundungan ataupun kekerasan di sekolah belum diatur payung hukum yang tegas. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

28 Desember 2024


BandungBergerak.id – Genap satu tahun sejak disahkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Tetap saja isu kekerasan masih menjamur di banyak sekolah di Indonesia. Pada awalnya pemerintah berekspektasi jika peraturan ini mampu menjadi tabir pembuka untuk lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman dari segala bentuk kekerasan. Akan tetapi sejak dirilisnya data oleh Pusdatin KPAI perihal 114 kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan sepanjang tahun 2024, dari tahun sebelumnya (2023) yaitu 136 kasus, maka hal ini tentu akan mengubah ekspektasi berlebihan kita semua.

Data Pusdatin KPAI tersebut mengajarkan kita betapa kecilnya pengaruh peraturan pemerintah yang dalam satu tahun sejak diberlakukannya, hanya mengurangi kasus sekitar 10 persen saja. Pasti ada yang salah dalam perencanaan peraturan ini. Para kritikus mengibaratkan peraturan ini bagaikan “sayur tanpa garam”, hanya untuk sebuah kata “gagal” yang tak ingin mereka katakan sebenarnya. Istilah “sayur tanpa garam” seyogyanya digunakan untuk menggambarkan satu kondisi yang tak ideal, bahkan sampai kehilangan elemen pentingnya. Persis seperti peraturan pemerintah yang akan penulis kritik dalam tulisan ini.

Sebelum terisak lebih jauh, perlu kita ketahui bahwa Permendikbudristek PPKSP telah melahirkan dua “bayi lucu” yang berperan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan di Indonesia, secara masif, terstruktur, dan terukur. Bayi pertama bernama Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan, yang kedua yakni Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (STPPK) di lingkup pemerintahan. Keduanya melibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbutristek), pemerintah daerah, hingga seluruh warga di satuan pendidikan untuk secara kolektif memutus rantai kekerasan di satuan pendidikan di Indonesia. Secara teknis, ini adalah gebrakan yang baik, tapi sayang sekali, program ini dinilai tidak optimal karena angka kekerasan di satuan pendidikan masih saja tinggi.

Satu sisi kita terima alasan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang secara gamblang menyebutkan jika masih tingginya kasus kekerasan di satuan pendidikan ini, dipicu oleh belum diimplementasikannya peraturan Permendikbudristek PPKSP di seluruh sekolah di Indonesia secara merata. Tetapi mereka tidak juga berhasil membuktikan jika sekolah-sekolah yang sudah menerapkan peraturan tersebut akan positif terbebas dari kasus kekerasan. Artinya sejauh ini kita boleh berasumsi bahwa peraturan tersebut memang terbukti belum matang.

Satu hal yang menjadi titik sanggah adalah peraturan tersebut telah menafikan peran Tri Pusat Pendidikan di Indonesia. Kita sepakat bahwa dalam pembentukan karakter anak sekolah, diperlukan kerja sama antara lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang didukung oleh peran pemerintah di setiap pergerakannya. Tapi egoisnya pelaksanaan program TPPK dan STPPK yang lahir dari rahim Permendikbudristek PPKSP ini hanya menurutsertakan pemerintah dan sekolah tanpa memperhatikan peran keluarga siswa pelaku atau korban kekerasan. Padahal pada banyak kasus siswa yang terlibat kekerasan pada satuan pendidikan berasal dari latar belakang pengasuhan keluarga yang kurang positif, sehingga masalah yang dialami anak berpengaruh pada pembentukan sikap, mental, dan pola pergaulan anak pada satuan pendidikan.

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa di Persimpangan Neoliberalisme Pendidikan, antara Performativitas Gerakan dan Tantangan Perjuangan Substantif
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Rasa Malu dan Mitos Pemerkosaan yang Melingkupi Tubuh Perempuan Membuat Proses Keadilan Menjadi Semakin Rumit
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa dari Keluarga Kelas Menengah ke Bawah di Persimpangan Mimpi dan Derita

Sukses dalam Penanganan, Gagal dalam Pencegahan

Sebagaimana yang dijelaskan dalam kaidah KBBI bahwa mencegah adalah “berupaya menahan agar sesuatu tidak terjadi”. Sayangnya banyak kalangan yang sering terpeleset memaknai definisi “mencegah”. Mungkin Kemendikbudristek adalah salah satunya. Sebagai contoh, untuk membuat siswa tidak mencuri makanan di kantin lagi, tidak cukup hanya dengan memberi tausiah tentang hukum pidana mencuri, dosa memakan barang haram, dan efek candu dari hedonisme mencuri. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana sekolah dan orang tua mampu mengakomodasi kebutuhan jajan siswa tersebut selama di sekolah. Padahal sekolah bisa   saja membentuk sebuah tim keamanan kantin dengan sistem berbelanja kantin jujur.

Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan tindak pencurian masih akan terjadi, karena sebab fundamentalnya tidak/belum terselesaikan. Dan ketika ada siswa yang masih saja kedapatan mencuri di tengah berlakunya program keamanan kantin ini, bukan berarti program tersebut spontan gagal. Tapi memang secara teknis program tersebut memang tidak menjamin siswa untuk berhenti mencuri. Atau dalam kalimat sederhana, siswa mencuri karena perutnya lapar. Lantas apakah dengan dibentuknya tim keamanan kantin, siswa bisa menjadi kenyang?

Peristiwa yang senada dapat kita temui pada program TPPK dan STPPK ini. Secara penanganan, program ini hampir sempurna. Tahapan demi tahapan dilakukan dengan sistematis mulai dari tahap pengaduan, eksekusi, hingga rehabilitasi dan pemulihan. Anggota TPPK dibentuk dari perwakilan pendidik atau perwakilan orang/wali yang beranggotakan minimal tiga orang. Sedangkan STPPK minimal berjumlah lima orang, terdiri atas unsur perwakilan dinas yang menyelenggarakan fungsi pendidikan, perlindungan anak, bidang sosial, organisasi atau profesi yang terkait dengan anak.

Secara umum, dalam wewenangnya TPPK dan STPPK wajib melakukan pembinaan, pemantauan, pengawasan, serta pencegahan terjadinya tindak kekerasan di satuan pendidikan di masing-masing sekolah/wilayah yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

Lebih jelas tugas TPPK dan STPPK sebagai berikut: (1) Berkoordinasi dengan dinas terkait lembaga layanan ahli atau pihak terkait yang dibutuhkan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. (2) Memastikan pemenuhan hak pendidikan atas peserta didik yang terlibat kekerasan berupa pemberian jaminan layanan pendidikan bagi peserta didik. (3) Memfasilitasi pemenuhan hak pendidikan atas anak yang berhadapan dengan hukum. (4) Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (5) Melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi kepada dinas pendidikan setiap satu kali dalam satu tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

Jika dilihat dari tugas dan wewenang tim TPPK dan STPPK di atas, kita dapat menilai bahwa dibentuknya tim ini memang sangat berpengaruh untuk penanganan kekerasan di satuan pendidikan, tetapi tidak untuk pencegahan. Sebagaimana yang termaktub pada Pasal 1 Permendikbudristek PPKSP, bahwa pencegahan adalah tindakan, cara, atau proses yang dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan kekerasan di satuan pendidikan. Pencegahan dilakukan sebelum suatu perkara itu terjadi, sedangkan penanganan dilakukan setelah terjadinya suatu perkara. Dalam mencegah, suatu kebijakan harus dihasilkan dengan mempertimbangkan sebab-akibat dari suatu kejadian/perkara, dan di sinilah letak keteledoran pemerintah.

Dalam upaya pencegahan, seharusnya pemerintah perlu memahami latar belakangan keluarga siswa korban atau pelaku terlebih dahulu, untuk dianalisis secara komprehensif sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan nantinya. Argumentasi ini didukung oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) yang mendefinisikan bahwa penganiayaan anak berbenih dari serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua dan pengasuh lainnya yang dihasilkan berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Itu artinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh siswa di sekolah bisa jadi karena pola asuh keluarganya yang tidak mencerminkan nilai-nilai pengasuhan yang baik.

Dibutuhkan Pemberdayaan Keluarga Siswa

Dengan berlandaskan pada Tri Pusat Pendidikan, pemberdayaan keluarga siswa sangat penting dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah perlu membangun social capital dengan cara memberdayakan orang tua agar mampu memberikan timbal balik yang positif terhadap psikologi anak.

Terdapat berbagai macam variasi dalam pemberdayaan orang tua sebagai social capital, mulai dari yang memiliki peran terbatas pada perencanaan program seperti di negara Ceko dan Meksiko, sampai dengan peran yang sangat besar seperti membentuk sekolah baru, seperti yang terjadi di Denmark ataupun Qatar (Barrera-Osorio, Fasih, Patrinos, & Santibanez, 2009). Sebagai referensi, pemerintah melalui dinas kependidikan atau dinas perlindungan anak dapat melakukan sosialisasi tata tertib dan program dalam rangka Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan kepada seluruh warga sekolah dan orang tua/wali peserta didik. Program ini bisa dilakukan paling sedikit tiga kali dalam satu tahun untuk pemberdayaan orang tua/wali yang lebih intensif.

Tidak hanya pemerintah, tingginya kasus kekerasan di satuan pendidikan ini menjadi pekerjaan rumah kita semua sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Setiap orang mempunyai hak asasi manusia, oleh karena itu tanamkanlah dalam sanubari kita bahwa setiap manusia, baik tua maupun muda, miskin maupun kaya, dari sudut pandang mata garuda, kita semua sama. Keangkuhan hanya akan menciptakan stratifikasi sosial yang berujung pada tindak pidana kekerasan.

Kita adalah bangsa yang bercermin pada nilai-nilai Pancasila dan menaati aturan hukum yang berlaku. Maka dari itu maraknya tren kekerasan di satuan pendidikan ini perlu kita kembalikan ke peraturan yang sudah ditentukan. Meski terkadang peraturan pemerintah belum cukup menyelesaikan persoalan, selama pintu-pintu kebebasan berpendapat masih dibukakan, itu artinya bangsa ini masih bisa diselamatkan. Istilah “sayur tanpa garam” yang digaungkan penulis tidak lebih dari sekadar kritik terhadap program TKKP dan STKKP Kemendikbudristek yang dinilai gagal dalam perencanaan, sehingga seakan menafikan visi-misinya, angka kekerasan di satuan pendidikan masih saja menunjukkan eksistensinya. Semoga ditulisnya opini ini mampu menjadi garam alami untuk program pemerintah suatu saat nanti, guna mewujudkan lingkungan pendidikan Indonesia yang aman, nyaman, dan terkendali.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//