• Berita
  • BALIK BANDUNG 2024: Korupsi, Upah Murah, Kemacetan, Transportasi Publik, dan Sampah

BALIK BANDUNG 2024: Korupsi, Upah Murah, Kemacetan, Transportasi Publik, dan Sampah

Tahun baru 2025 bukan tahun kemenangan meskipun ada pemimpin baru hasil Pilkada 2024. Pekerjaan menggunung, mulai dari korupsi, upah murah, kemacetan.

Jalan Layang Pasupati atau Jalan Mochtar Kusumaatmadja di Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/3/2022). Pembangunan infrastruktur memerlukan koordinasi pemerintah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana30 Desember 2024


BandungBergerak.id - Sepanjang 2024, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung banyak meraih sejumlah capaian yang bisa menjadi bekal di tahun baru 2025. Di samping itu, capaian-capaian tersebut tidak menutupi kelemahan-kelemahan yang terjadi sepanjang tahun 2024, mulai dari kasus korupsi yang melibatkan pucuk pimpinan Pemkot, masih bermasalahnya di sektor pengupahan atau tenaga kerja, meningkatnya kemacetan, semakin melemahnya transportasi publik, dan tentu saja pekerjaan rumah bertahun-tahun, yaitu sampah.

Catatan minor tersebut juga menjadi bekal atau pil pahit untuk jalan roda pemerintahan Kota Bandung di bawah pemimpin baru hasil Pilwalkot 2024 kemarin. Yang pasti, tugas Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung di 2025 tidaklah mudah. Dan warga Bandung pasti tidak ingin pemimpin barunya mengulangi kesalahan pemimpin-pemimpin Kota Bandung sebelumnya.

Korupsi

Kota Bandung berturut-turut diguncang kasus korupsi sejak 2023 dan 2024. Bahkan sebelum tahun-tahun itu. Maret 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan eks-Sekda Kota Bandung Ema Sumarna sebagai tersangka baru atas kasus korupsi program smart city Kota Bandung. Kasus ini merupakan hasil pengembangan dari operasi tangkap tangan KPK setahun sebelumnya terhadap Wali Kota Yana Mulyana.

Korupsi di tubuh pemerintahan Kota Bandung bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, Wali Kota Dada Rosada dan Sekda Edi Siswadi tersandung kasus suap hakim bansos. Tak heran jika Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK 2023 yang menempatkan Kota Bandung pada peringkat kedua terendah di Jawa Barat, dengan skor integritas 65,48—turun 9,8 persen dari tahun sebelumnya (Dokumen Aspirasi Wargi Bandung 2029, data hasil diskusi, survei, dan kolaborasi Demokrasi Kita).

Tren Kemiskinan Menurun, tapi Kelas Pekerja tak Bahagia   

Baru-baru ini, Pemkot Bandung merilis tren penurunan angka kemiskinan di Kota Bandung (2024) sebesar 3,27 persen dengan 64.337 kepala keluarga (KK). Angka ini menurun dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Tahun 2023 angka kemiskinan 3,98 persen, tahun 2022 saat pandemi Covid-19 angka kemiskinan 4,25 persen, tahun 2021 angka kemiskinan tercatat sebesar 4,37 persen.

Pj Sekretaris Daerah Kota Bandung Dharmawan mengatakan, berdasarkan rancangan teknokratik RPJMD, untuk tahun 2029, target angka kemiskinan dalam rancangan RPJMD 2024-2029 dipatok pada kisaran 2,74-2,81 persen.

“Angka ini membutuhkan kerja keras seluruh jajaran TKPK dan dukungan dari berbagai pihak,” ungkapnya, saat membuka Rapat Koordinasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kota Bandung tahun 2024 di Hotel Grandia, Senin 2 Desember 2024, dikutip dari siaran pers.

Namun, Dokumen Aspirasi Wargi Bandung 2029 yang disusun forum kolaborasi Demokrasi Kita mencatat, 70 dari warga Bandung yang bekerja di sektor formal menerima gaji di bawah UMR dengan rata-rata pendapatan 3,6 juta rupiah per bulan. Di Bandung, sektor pekerjaan formal umumnya memberi upah dan kondisi kerja yang lebih baik ketimbang sektor informal, di mana 40 persen warga Bandung bekerja.

Para pekerja informal tersebut di antaranya ada pedagang keliling, pekerja warung, pekerja lepas, bahkan tak jarang, pekerja keluarga yang tidak dibayar. Selain tenaga kerja yang mayoritas terhimpit upah murah dan kondisi kerja rentan, 8,8 persen angkatan kerja Bandung tercatat menganggur.

“Apabila dibandingkan dengan Kota metropolitan lain di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta, tingkat pengangguran Kota Bandung adalah yang paling tinggi. Dari segi biaya hidup, secara rata-rata, 40 persen pendapatan Wargi Bandung sudah habis hanya untuk kebutuhan makan sehari-hari,” demikian hasil survei Demokrasi Kita.

Baca Juga: Pusparagam 2024: dari Bencana Gempa Sumedang ke Bencana Banjir Bandung Sela
Bara Warga di Kampung Pulo Kuntul
Wonoja Bandung Terus Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan

Sejumlah jurnalis berkumpul menunggu keterangan resmi Pemkot Bandung di Balai Kota, Sabtu (15/4/2023), terkait operasi tangkap tangan KPK terhadap Wali Kota Bandung Yana Mulyana, Jumat (14/4/2023). (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)
Sejumlah jurnalis berkumpul menunggu keterangan resmi Pemkot Bandung di Balai Kota, Sabtu (15/4/2023), terkait operasi tangkap tangan KPK terhadap Wali Kota Bandung Yana Mulyana, Jumat (14/4/2023). (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Macet, Transportasi Publik Kedodoran

Kota Bandung kerap diromantisasi karena sejarah panjangnya dan memiliki posisi strategis di Priangan. Di balik itu, tak salah juga jika warga Bandung mengutuk hari-hari yang penuh kemacetan. Bandung sebagai kota macet bahkan sudah lama melekat.

Berdasarkan dokumen “Bandung Macet: Infrastruktur Atau Tak Teratur?” [dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Bandung Ke-206, Direktorat Jenderal Kajian dan Aksi Strategis Kementerian Luar Negeri Lembaga Kepresidenan Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung-2016], salah satu penyebab kemacetan Kota Bandung adalah karena tak berdayanya sistem transportasi publik.

“Saat ini belum terdapat sistem transportasi massal yang dapat menampung orang dalam jumlah besar untuk rute dalam kota selain angkutan kota (angkot). Angkot sendiri sebenarnya merupakan angkutan umum yang diperuntukkan bagi penduduk desa karena kapasitasnya hanya untuk 16-20 orang, sangat kecil jika dibandingkan dengan penduduk Kota Bandung yang jumlahnya mencapai 2.395.000 pada tahun 2010 (UNdata, 2016),” demikian hasil kajian Unpar, diakses Selasa, 31 Desember 2024.

Pada tahun 2014, kajian Unpar membeberkan, Kota Bandung menduduki peringkat ketujuh sebagai kota termacet se-Indonesia, yaitu dengan tingkat kemacetan 14,3 km per jam dan VC ratio 0.85 (volume kendaraan 8.5 meter persegi untuk setiap kapasitas jalan 10 meter) menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Darat Yugi Hartiman dalam Noor (2014).

Kajian ini khawatir Bandung akan menjadi kota yang tidak memberikan kenyamanan terhadap penduduknya dan kemudian ditinggalkan. Kota yang minim penduduk menyebabkan pasar menjadi tidak kompetitif, akibatnya ekonomi daerah menjadi tidak bergairah dan kota sulit untuk berkembang, apalagi untuk bersaing dengan kota-kota lainnya.

Sampah

Kota Bandung berjuluk Paris van Java, tapi itu dulu. Kini, selain macet Bandung juga kerap dihantui lautan sampah. Kota berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa ini tidak memiliki tempat pemrosesan akhir (TPA) sendiri. Seluruh sampah kota dibuang ke TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat. Celakanya, TPA Sarimukti sudah kelebihan daya tampungnya. Bahkan pada musim kemarau, beberapa kali TPA ini dilanda kebakaran hebat. Diduga kuat kebakaran terjadi karena gas metan yang muncul dari tumpukan sampah organik dan bercampur dengan sampah plastik.

Para aktivis lingkungan sudah lama merekomendasikan agar Pemkot Bandung dengan sumber dayanya mampu memilah sampah organik dan nonorganik. Namun sampai saat ini proses pemilahan belum signifikan.

Lutfi Pamungkas, fasilitator pelatihan Zero Waste Solution mengatakan, terdapat dua pokok masalah yang cukup serius dalam pengelolaan sampah, yakni kebijakan yang belum baik dan penegakan hukum yang lemah. Pengelolaan sampah di Indonesia relatif hanya memindahkan “masalah” dari satu tempat ke tempat lain dengan sistem kumpul-angkut-buang, sehingga menyebabkan timbulan sampah yang cukup signifikan di TPA dan tidak ada pengolahan yang berarti.

“Kondisi demikian saling berkait kelindan dengan krisis iklim yang sedang dihadapi. Selain itu krisis iklim yang terjadi akibat dari ekonomi linear yang selama ini berjalan, dimana setiap tahapnya menimbulkan dampak lingkungan dari industri ekstraktif hingga konsumsi dan menjadi sampah,” papar Lutfi, diakses dari laman YPPBB.

Dokumen Demokrasi Kita mencatat, Kota Bandung tengah menghadapi krisis sampah serius akibat terbatasnya kapasitas TPA Sarimukti, satu-satunya tempat pembuangan sampah di Bandung Raya. Sebanyak 59 persen responden survei menilai pengelolaan sampah menjadi masalah utama yang perlu diperhatikan, terutama bagi kaum perempuan dan lansia. Tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menangani masalah ini mencapai 71 persen.

Salah satu akar permasalahannya adalah tingginya volume sampah organik yang seharusnya dapat diolah secara mandiri, tetapi masih saja dibuang ke TPA. Dengan produksi sampah harian sekitar 1.279 ton, hanya mampu menampung 190 trip truk, sedangkan 50 trip lainnya (200 ton) menumpuk di TPS atau area publik, sehingga mencemari lingkungan dan meningkatkan risiko ledakan gas metana serta longsor di TPA Sarimukti.

*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Bandung dalam tautan berikut ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//