PAYUNG HITAM #50: Sisi Lain Wisata di Lembang, Cerita Pahit Pekerja Pariwisata
Lembang dan daerah sekitarnya memiliki beragam tempat wisata yang membuka banyak lapangan pekerjaan. Ada cerita pahit yang dialami para pekerja pariwisata di sana.
Chan
Pegiat Aksi Kamisan Bandung dan Buruh Pariwisata
2 Januari 2025
BandungBergerak.id – Tentu banyak dari kita yang berdomisili di daerah Lembang maupun daerah di sekitarnya mungkin akan sangat frustrasi dengan kemacetan ruas Jalan Lembang atau sekitarnya yang dipenuhi dengan berbagai kendaraan kala akhir pekan maupun libur panjang. Karena bagi pengguna mobil untuk sekadar sampai ke jarak satu kilometer bisa memakan waktu satu jam bahkan lebih dan bagi pengguna motor bisa mencapai sekitar 30 menit.
Lembang dan daerah sekitarnya memiliki beragam destinasi wisata. Bagi pemerintah setempat, perusahaan di sektor pariwisata, maupun masyarakat yang memiliki tempat usaha kuliner bahkan pedagang asongan akan sangat menguntungkan dengan banyaknya wisatawan tersebut.
Lembang memiliki daya tarik tersendiri dengan keindahan alam serta banyaknya destinasi wisata yang sering dikunjungi oleh orang luar kota bahkan dari luar negeri. Keramaian tempat wisata tersebut memberikan banyak lapangan pekerjaan.
Namun terdapat sisi kelam dari para pekerja yang bekerja di sektor pariwisata tersebut. Di sini saya akan bercerita pengalaman saya dan teman saya, bahkan mungkin semua orang yang pernah merasakan bekerja sebagai daily workers, istilah pekerja harian yang belum di angkat menjadi karyawan, serta tenaga casual , sebutan dari bantuan pekerja di sektor pariwisata.
Pada saat buruh pabrik menuntut kenaikan upah dan haknya dengan jaminan yang layak, berbeda dengan para pekerja maupun bantuan tenaga kerja (casual) yang bekerja di hotel, resto dan tempat bermain keluarga khususnya di daerah Lembang atau sekitar Lembang. Tidak terdengar tuntutan soal upah seperti buruh-buruh lainya dikarenakan mereka merasa tidak ada pilihan lagi untuk bekerja. Kurangnya kesadaran membangun serikat maupun edukasi memaksa para pekerja pariwisata menerima aturan yang ada walaupun merugikan.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #48: Aksi Kamisan Bandung, Lebih dari Sekadar Mengingatkan Tragedi KemanusiaanPAYUNG HITAM #49: Friday Football Street, Olahraga dan Ruang Publik sebagai Wadah Positif
Suka Duka Pekerja Pariwisata di Lembang
Saya pernah mengalami sendiri saat bekerja di hotel, resto , dan tempat bermain keluarga di daerah Lembang maupun sekitar Lembang sebagai bantuan tenaga kerja (casual) dan daily workers (DW); bekerja selama 8 jam per shift itu hanyalah formalitas belaka. Bahkan yang lebih parah bisa saja bekerja sampai 12 jam tanpa di hitung sebagai lembur dan itu disebutnya sebagai loyalitas. Ada juga sebagian perusahaan yang menghitung lembur minimal 2 jam dengan bayaran Rp 5 ribu serta paling besar Rp 10 ribu per jam dan itu sangat jarang di daerah Lembang.
Istirahat di jam kerja yang tidak sampai 1 jam bahkan hanya beberapa menit. Terkadang di kala ramai pengunjung atau ada sebuah acara, terpaksa masuk sore pulang malam dan kembali masuk pagi. Bahkan yang pernah saya alami, masuk pagi pulang malam dan masuk lagi pagi. Dihitung-hitung waktu istirahat untuk tidur hanya 5 jam bahkan 4 jam dengan gaji rata-rata Rp 50 ribu per hari atau bahkan paling besar sekitar Rp 100 ribu. Dan gaji Rp 100 ribu itu sangat jarang khususnya di beberapa perusahaan daerah Lembang.
Waktu libur hanya satu hari, tapi saat Hari Raya tidak diperbolehkan libur. Dan jika bekerja di Hari Raya sangat jarang mendapatkan bonus. Terkadang sebagian hotel dan resto ada yang menerapkan aturan memotong gaji pekerja jika memecahkan barang seperti misalnya piring dan gelas.
Ada juga hotel dan resto yang tidak memberikan makan pekerja, kalau dihitung biaya makan bisa sampai Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu. Tak heran jika terkadang ada sebagian pekerja yang makan dari sisa makanan tamu atau tidak makan sama sekali. Lebih parah lagi tanpa adanya jaminan kesehatan dan keselamatan ataupun sangat jarang edukasi tentang SOP (Standar Operasional Prosedur).
Adapun pelajar yang magang atau biasa disebut PKL, rata-rata bekerja di beberapa perusahaan tanpa dibayar dan mereka harus membayar ke perusahaan melalui pihak sekolah dengan aturan kerja yang terbilang ketat serta pekerjaan yang sama dengan para karyawan. Kalau di istilahkan, hanya menjadi tenaga kerja gratis tanpa adanya pelatihan ataupun edukasi dari perusahaan, bahkan penempatan bagian kerja yang tidak sesuai dengan jurusan.
Para pekerja yang sudah di angkat menjadi karyawan yang bekerja minimal 3 tahun dengan gaji rata-rata Rp 2 juta per bulan, dengan servis atau bonus Rp 500 ribu dan paling besar Rp 1 juta. Itu pun terkadang tambahan kerja atau lembur tidak di bayar sama sekali, tergantung kebijakan perusahaan masing-masing.
Ada juga sebagian perusahaan yang tidak memberikan bonus malah menggunakan sistem gaji persentase. Misalnya dia memiliki gaji Rp 2 juta per bulan, jika target perusahaan tidak tercapai –semisal hanya dapat 50 persen dari target, maka gaji yang diterimanya hanya setengahnya yakni Rp Rp 1 juta menyesuaikan pendapatan perusahaan tempatnya bekerja. Terkadang memang mendapat bonus kalau bulan tersebut melebihi target penjualan, tapi itu jarang sekali dan tentunya dengan tanggung jawab dan tuntutan yang lebih besar.
Ada juga cerita dari teman saya yang bekerja 10 jam per hari, libur hanya sehari bahkan kadang tidak libur sama sekali. Upah yang diterimanya Rp 50 ribu per hari, jika melebihi 10 jam kerja di bayar lembur Rp 5 ribu per harinya. Status teman saya itu sebagai bantuan tenaga kerja (casual). Dengan aturan yang menurut dia terbilang ketat serta pemilik perusahaan yang bertindak semena mena. Teman saya di berhentikan dengan alasan 3 kali telat masuk kerja dan itu hanya telat 30 menit dikarenakan ada beberapa alasan, itu pun tidak berturut turut. Tidak ada toleransi serta tidak ada kesepakatan di awal sebelum masuk kerja.
Hal itu memang sangat lumrah khususnya di daerah lembang dan sekitarnya mungkin juga banyak terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia. Apalagi terkadang sering dijumpai sebagian pekerja senior yang menindas terhadap pekerja baru dan mungkin pernah dialami oleh sebagian orang yang bekerja atau pernah bekerja.
Semoga tulisan ini dapat membangun percikan api para pekerja pariwisata untuk menuntut haknya.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung