• Kolom
  • PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #4: Lembaga Keagamaan

PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #4: Lembaga Keagamaan

Pantun Bogor karya juru pantun Aki Uyut Baju Rambeng bercerita tentang lembaga keagamaan di masa Kerajaan Pajajaran berdiri. Bersumber dari data faktual historis?

Topik Mulyana

Dosen dan peneliti Lembaga Pengembangan Humaniora, Pusat Studi Nitiganda, Fakultas Filsafat Unpar, Ketua Padepokan Bumi Ageung Saketi

Foto Arca Domas di Bogor oleh Isidore van Kinsbergen (Dokumen KITLV A665). Barangkali, inilah yang dalam Pantun Bogor disebut pamunjungan atau pamujan, tempat berdoa. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

9 Januari 2025


BandungBergerak.id – Dalam PNPT bagian ketiga, Ki Komara panjang lebar membahas lembaga keagamaan, yaitu para agamawan berikut kedudukan dan tugas-tugasnya serta tempat peribadatan. Sebagaimana tercantum dalam naskah-naskah Sunda kuna (NSK) dan sudah diketahui secara umum bahwa struktur masyarakat Sunda Kuna memiliki pola dasar Tritangtu di Buana, yakni karamaan, karesian, dan karatuan. Yang belum diketahui secara pasti adalah apakah hubungan ketiganya bersifat hierarkis atau setara.

Beberapa ahli  sejarah Sunda berpendapat bahwa hubungan di antaranya secara umum adalah setara, namun hierarkis secara kondisional atau kontekstual, sesuai dengan perannya masing-masing. Jika terkait kemakmuran material atau hal-hal yang langsung terkait dengan kemasyarakatan, maka sang Rama-lah yang paling tinggi. Jika terkait dengan masalah keagamaan atau kerohanian, sang Resi-lah yang paling bertanggung jawab. Terkait tata pemerintahan, sang Ratu/Prabu-lah yang paling berkuasa. Peran setiap unsur ini termaktub dalam NSK Sewaka Darma yang berbunyi “jagat daranan di sang Rama, jagat kreta di sang Resi, jagat palangka di sang Prebu (dunia kemakmuran tanggung jawab Rama, dunia kesejahteraan tanggung jawab Resi, dunia pemerintahan tanggung jawab Prabu)”. 

Demikian juga dalam Pantun Bogor. Disebutkan ada tiga unsur dalam Pemerintahan Negara Pajajaran Tengah, yakni Raja, Lengser, dan Brahmesta. Raja adalah pemimpin tertinggi pemerintahan, Lengser adalah pemimpin tertinggi untuk karamaan, dan Brahmesta merupakan pemimpin tertinggi karesian. Menurut keterangan Aki Uyut Juru Pantun, disebutkan bahwa tahapan kedudukan Brahmesta dalam urusan kenegaraan berada di bawah Lengser dan Raja. Jadi, dalam urusan keduniaan, Pandita Agung Brahmesta berada di bawah Lengser, sementara Lengser berada di bawah raja. Menariknya, Pantun Bogor memiliki kekayaan kosakata untuk para agamawan ini, di antaranya pandita, brahmesta, marakangsah, ganidri, puratri, puun, dan guru tangtu.

Baca Juga: PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #1: Pemisahan Negara dan Agama, Sekularisme ala Sunda Kuna?
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #2: Keraton Pakwan-Pajajaran
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #3: Raja Sunda

Perang Sanékala

Dalam episode “Pakujajar Beukah Kembang”, dikisahkan tentang Perang Sanékala, yakni perang yang terjadi akibat hasutan (adu domba) antara pihak yang memperjuangkan kebenaran dan pihak yang memanipulasi kebenaran. Perang akan terjadi jika kian banyak orang yang memanipulasi kebenaran dan pihak yang memanfaatkannya sehingga terjadi kekacauan. Salah satu penyebab kekacauan itu adalah pemimpin agama yang hanya mementingkan diri sendiri akibat silau oleh godaan duniawi. Akibatnya, banyak masyarakat yang terjerat oleh kebodohan sekaligus yang apatis terhadap masalah agama. Hal itu seperti ujaran Ki Léngsér kepada Prabu Anom berikut.

Baheula, para pandita ari munjung,
Ngan ngorowéco dina basa anu harita ku somah hanteu kaharti!
Nagara téh somahna bodo … babari baé dipadaya,
Diaradukeun para pandita parebutan eusi boboko;

Pada masa sebelumnya, jika para pendeta berdoa
Mereka hanya bergumam pelan dan dalam bahasa yang tidak dimengerti rakyat
Rakyat negara ini bodoh … mudah diperdaya
Diadu domba oleh para pendeta untuk berebut isi bakul

Beruntung, Perang Sanékala yang dijelaskan Lengser tidak akan terjadi selama Pajajaran berdiri. Situasi kacau di bidang keagamaan segera tuntas begitu seorang pendeta bernama Sang Kala Birbung Baya menduduki posisi Brahmesta. Olehnya, ujaran doa yang tadinya pelan dan tidak dimengerti rakyat, kini dikeraskan dan dimengerti rakyat sehingga rakyat berbondong-bondong dan kerap mendatangi Pamunjungan, tempat berdoa (biara). Dengan tuntasnya masalah keagamaan, maka kesejahteraan pun digapai kembali.

Pandita Agung Brahmesta adalah orang paling berkuasa dalam urusan keagamaan. Beliau bertanggung jawab terhadap keselamatan masyarakat, terutama dalam hal kewarasan masyarakat. Hanya melalui dirinya, Dewa diminta perlindungan dan kehendak-Nya untuk menghilangkan segala macam penyakit yang kerap menerjang orang-orang ataupun hewan-hewan piaraan, disingkirkan segala macam hama yang merusak tanaman. Berikutnya, berdasarkan kemampuannya dalam ilmu perbintangan, Brahmesta memberikan petunjuk-petunjuk kepada Raja dalam semua bidang yang ada kaitannya dengan keselamatan negara dan rakyatnya.

Palinggihan (tempat tinggal) Ki Brahmesta berdasarkan keterangan yang diterima berada di Pasir Ki Hara Hiyang, kira-kira di wilayah yang sekarang disebut Lembur Bantar Kemang. Konon, pada masa lalu, di situ terdapat batu sebesar leuit (lumbung padi). Batu tersebut dikelilingi batu-batu dengan permukaan datar sebesar meja. Menurut keterangan yang bisa didapat, kira-kira hingga zaman berganti Tuan Besar (Gubernur Jenderal) oleh Tuan Besar Idenburg, dari sela-sela batu sering keluar asap yang mengeluarkan aroma kemenyan kemuning. A.W.P. Idenburg sendiri jadi Gubernur Jenderal dari tahun 1909 hingga 1916.

Di manakah letak batu tersebut? Hingga saat ini, belum ada yang dapat menunjukkannya. Namun, sempat ada kabar, saat ada seorang Tuan yang mendinamit batu-batu besar di Bantar Kemang, hingga tujuh kali, tak ada satu pun yang meledak. Kemudian, bersamaan dengan meledaknya dinamit yang saat itu dinyalakan kembali, dari atas pohon kiara seperti ada yang melesat ke awang-awang. Saat si Tuan dalam perjalanan pulang usai mendinamit batu-batu tersebut, dia mati dia tengah perjalanan dengan mayat dalam keadaan mata melotot dan lidah terjulur! Lepas dari kebenaran cerita tersebut, paling tidak menunjukkan bahwa tempat itu sangat disakralkan.

Tempat yang didiami oleh Brahmesta dan para pengiringnya disebut Pamujan. Pamujan terletak di atas bukit di hutan songgom (hutan larangan?) yang hanya bisa dimasuki oleh Brahmesta. Pamujan berfungsi juga tempat upacara keagamaan. Dalam bahasa sekarang, “pamujan” secara umum disebut kabuyutan, tempat terdapat batu-batu tadi. Di satu tempat disebut arca domas, di tempat lain sasaka domas, di tempat lain lagi kosala, dan banyak sebutan lainnya.

Golongan-golongan Pendeta dan Tugasnya

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Brahmesta tidak sendirian dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama. Ia dibantu para pendeta lain yang sehari-harinya membantu Brahmesta dalam melaksanakan kewajibannya. Berapa persisnya jumlah para pendeta tersebut, tidak diketahui. Akan tetapi, dijelaskan adanya golongan-golongan pendeta berikut tugas-tugasnya.

1) Marakangsah (Marakamca): melayani Brahmesta dalam upacara-upacara agama.

2) Ganidri: mengurusi api dalam upacara-upacara agama.

3) Puratri: menerima dan mengatur sajen yang dipersembahkan  masyarakat pada waktu upacara agama.

Dalam kehidupan sehari-hari, Brahmesta dan para pengiringnya tidak boleh bergaul dengan rakyat umum, kecuali saat upacara keagamaan. Hal itu dimaksudkan agar wibawa kependetaan mereka tidak hilang.

Di samping para pembantu tersebut, ada pula para pembantu Brahmesta lainnya yang bertugas di luar Pamujan, yaitu

4) Geurang Puun: wakil Brahmesta dalam perhubungan antara Bukit Ki Hara Hiyang dengan Keraton. Tempatnya di wilayah yang sekarang disebut Warung Manggah. Berdasarkan cerita orang-orang tua dahulu, tempat itu merupakan peristirahatan para pedagang yang berasal dari daerah Gunung Putri, Pasir Angin, dll.

5) Para Puun: berdasarkan kata para, jelas bahwa jumlah Puun lebih dari seorang. Tempat-tempat tinggal Para Puun, yaitu Kaun Pandak, Gunung Putri, Jambu Sewu di daerah Puncak, Warung Loa di Gunung Salak, Lebak, dan beberapa tempat lain yang nama-namanya sudah terlupakan.

Geurang Puun hanya berhubungan dengan Keraton, sedangkan Para Puun berhubungan dengan rakyat umum. Oleh sebab itu, Para Puun tidak akan terpengaruh oleh hal-hal yang dapat menurunkan pengaruh dan kewibawaannya. Hal itu disebabkan, dalam istilah sekarang, mereka benar-benar orang-orang yang mumpuni dalam bidang kerohanian, benar-benar memiliki ilmu kebatinan yang mendalam. Maka dari itu, mereka yang jadi Puun tak kurang-kurangnya berpuasa, antara lima hingga empat belas hari dalam sebulan.

Di sisi lain, Para Puun rentan dengan konsekuensi negatif jika mereka tidak mampu mengemban tugasnya dengan baik. Jika terlalu sering gagal dalam menyembuhkan orang sakit atau menyingkirkan hama tanaman, mereka akan dituduh sebagai Puun Sangar, Puun yang sudah menyeleweng dari aturan-aturan kapuuanan.

Mengingat hal tersebut, lembaga kapuunan ini mestilah kuat. Maka dari itu, Para Puun dibantu oleh

  1. Para Pangwereg Agama: mengurus atau mengatur tata krama dalam setiap upacara agama (ngawereg = menggiring, dalam arti ‘mengatur’ atau ‘memerintah’).
  2. Para Guru Tangtu Agama: yang diberi tugas mengurus leuit-leuit yang disebut leuit tangtu (lumbung padi utama).

Berdasarkan cerita orang-orang tua dahulu, di bagian belakang beberapa gunung di Kota Bogor, terdapat tempat tinggal Puun, tapi tidak jelas benar letak persisnya. Ada kemungkinan di antaranya adalah Muara Cicatih dan lembur Cipetir yang keduanya berada di wilayah Cibadak, Sukabumi. Selain itu, Karawang Girang dan Telaga Warna yang berada di wilayah Jongol Girang (bukan Telaga Warna yang di Puncak), di sekitaran Gunung Batu-Gunung Beser, sempat menjadi Kapuunan.

Carita Pantun memang bersifat lisan dan fiktif, namun bukan berarti keterangan-keterangan mengenai kerumpilan (detail) di dalamnya diabaikan begitu saja. Seperti pada PNPT #2 tentang Keraton Pakwan-Pajajaran, saya menyinggung tentang tafsiran Jakob Sumardjo tentang pantun Guru Gantangan yang memberikan rumpil-rumpil tentang denah istana dan Kota Pakwan, Pantun Bogor pun menampilkan rumpil tentang tata pemerintahan, termasuk tata dan lembaga keagamaan di dalamnya. Jika mengacu pada teori fiksi, tidak semua hal di dalam semesta fiksi itu benar-benar murni dari imajinasi pengarang. Sangat mungkin bahan-bahan baku untuk menyusun fiksi merupakan data-data faktual. Hal itu mengingat salah satu kaidah dalam fiksi, yakni hadirnya logika imajiner dan aspek lifelikeness, “kesepertihidupan”, agar cerita itu terasa “hidup”. Jadi, dalam menciptakan Pantun Bogor, sangat mungkin juru pantun Aki Uyut Baju Rambeng menggunakan data-data faktual-historis, termasuk mengenai lembaga keagamaan pada masa Kerajaan Pajajaran berdiri.

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain Topik Mulyana, atau artikel-artikel menarik lainnya tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//