• Kolom
  • JAARBEURS BANDUNG 1920-1941 #1: Jaarbeurs Tempo Dulu

JAARBEURS BANDUNG 1920-1941 #1: Jaarbeurs Tempo Dulu

Jaarbeurs adalah pekan raya tahunan yang terselenggara dua selama dasawarsa di zaman kolonial. Salah satu bukti kejayaan orang Belanda dan Eropa terakhir di Bandung.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Gedung Jaarbeurs di Bandung pada tahun 1932. Sumber: KITLV 158106 (digitalcollections.universiteitleiden.nl).

10 Januari 2025


BandungBergerak.id – Di Bandung waktu ini tidak ada pekan raya yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Namun, bila berjalan kaki ke Jalan Aceh dan tiba di Gedung Kodiklat (Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan) TNI AD, di atas bangunan yang menghadap ke arah Taman Saparua dan GOR Saparua itu kita akan membaca kata Jaarbeurs terpampang besar.

Jaarbeurs terdiri atas dua kata bahasa Belanda, yaitu “jaar” yang berarti tahun dan “beurs” yang berarti “bursa”. Gabungan keduanya mengandung arti bursa tahunan alias pekan raya tahunan yang sesuai pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008) adalah “pasar malam besar dan bermacam-macam pameran (baik dari dalam negeri maupun luar negeri) dan pertunjukan”.

Bila merujuk pengertian tersebut, berarti dulu di sekitar Gedung Kodiklat pernah ada pekan raya. Sejak kapan hingga kapan Jaarbeurs dihelat di Bandung? Saya punya jawabannya setelah membaca beberapa pustaka. Di antaranya ada skripsi Yudi Hamzah (Jaarbeurs dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Masyarakat Bandung, 1920-1941, 2007), tesis Hafsah Wisananingrum (Redupnya Gemerlap Parijs van Java, dari Jaarbeurs ke Pameran Industri Jawa Barat 1920-1964, 2011), dan skripsi Ai Santineu (Jaarbeurs 1920-1941: Media Promosi Industri dan Ekonomi Masyarakat Bandung, 2015).

Dari ketiga hasil penelitian itu, saya tahu pekan raya tahunan di sekitar Jalan Aceh itu diselenggarakan selama dua dasawarsa, suatu rentang waktu yang terbilang panjang, bila dihitung dengan usia manusia. Umur penyelenggaraan bursa tahunan itu setara umur mahasiswa S1 di tingkat dua. Periode 1920 hingga 1941 adalah masa-masa akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, karena setahun berikutnya Indonesia berganti penguasa, bala tentara Jepang. Dengan kata lain, Jaarbeurs adalah salah satu bukti kejayaan orang Belanda dan umumnya Eropa terakhir di Bandung. Khusus dari Hafsah, saya jadi tahu bahwa Jaarbeurs terus dijalankan setelah Indonesia merdeka dalam bentuk Pameran Industri Jawa Barat, meskipun dengan beberapa catatan.

Sebagaimana judulnya, skripsi Yudi memperlihatkan hubungan antara penyelenggaraan Jaarbeurs dengan masyarakat di sekitar Bandung yang menerima dampaknya. Dalam kesimpulannya, ia antara lain menyebutkan “Dengan mengadakan Jaarbeurs di Bandung, pemerintah sebenarnya telah melakukan dua hal sekaligus, pertama, adalah menyelamatkan perekonomian negeri induk. Hal ini karena ketika itu perindustrian Belanda hancur akibat Perang Dunia I, sehingga untuk memasarkan hasil industri dalam negeri Belanda pemerintah mengadakan Jaarbeurs sebagai sarana untuk memperkenalkan dan memasarkannya. Kedua, adalah dengan mengadakan Jaarbeurs di Bandung maka pemerintah telah mendorong negeri jajahan agar tidak terlalu bergantung pada negeri induk”.

Adapun alasan mengapa memilih Bandung, kata Yudi, adalah karena “letaknya yang strategis dan iklimnya yang nyaman” serta “ketika itu sedang giat membangun berbagai sarana dan prasarana kota”. Kedua alasan tersebut yang memicu dipilihnya Bandung. Khusus pengaruhnya, Yudi bilang bahwa dengan diselenggarakannya Jaarbeurs, pengunjung bumiputra dapat mengenal barang-barang modern dan hiburan serta permainan dari dalam dan luar negeri.

“Hal ini,” tulis Yudi, “membuat masyarakat pribumi yang datang ke Jaarbeurs dapat melihat secara langsung kemajuan teknologi modern ketika itu. Kondisi seperti ini tentu saja menjadikan masyarakat pribumi bisa mengenal lebih dekat kemajuan-kemajuan yang terjadi, yang juga mengakibatkan berubahnya budaya mereka”.

Hafsah Wisananingrum antara lain menyatakan bahwa Jaarbeurs berhasil menjadi “simbol bagi Kota Bandung baik dari sisi bangunan ataupun kegiatannya yaitu “memberikan kontribusi yang besar bagi terciptanya sebuah tradisi masyarakat kota yang berasal dari etnis yang berbeda”. Hafsah lebih jauh mengatakan setelah Indonesia merdeka, Jaarbeurs “terus berlanjut dengan konteks yang berubah mengikuti rezim yang berkuasa” dengan catatan “reproduksi simbolik hanya berlaku untuk kegiatan namun tidak pada bangunannya”.

Sementara Ai Santineu perhatiannya lebih terarah kepada dampak ekonomi dan pariwisata dari penyelenggaraan Jaarbeurs. Kata Ai dalam kesimpulannya, “Penyelenggaraan Jaarbeurs di kota Bandung ini memiliki dampak yang besar. Jaarbeurs menjadi salah satu media besar yang digunakan sebagai ajang promosi ke masyarakat luas. Kepopuleran jaarbeurs Bandung juga sering digunakan sebagai ikon dalam iklan-iklan perusahaan, hotel maupun penyedia jasa lainnya sebagai pemikat konsumen. Di dalam sektor pariwisata, agenda Jaarbeurs memiliki daya tarik yang dapat mendatangkan wisatawan-wisatawan yang secara khusus datang ke Bandung untuk menghadiri acara tersebut”.

Baca Juga: BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #12: Perempuan Kedua di Dewan Kota Bandung
BIOGRAFI JACOB ROELOF DE VRIES 1847-1915 #16: Meninggal Dunia di Hilversum
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #45: Semula Disatukan dengan Sepakat, Akhirnya Dilebur Menjadi Tjahaja

Mengungkap Masa Lalu

Skripsi Yudi dan Ai merupakan dua tulisan yang mencoba mengungkap sejarah masa lalu penyelenggaraan pekan raya yang berakhir pada 84 tahun lalu di sekitar Jalan Aceh, Jalan Saparua, Jalan Banda, Jalan Sumbawa, dan Jalan Belitung itu. Sebelum mereka agaknya belum ada yang secara khusus menyusun buku mengenai gelaran Jaarbeurs antara 1920-1941, kecuali membahasnya sekilas lintas. Seperti yang dilakukan oleh Haryoto Kunto dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986) dan Sudarsono Katam dalam Album Bandoeng Tempo Doeloe (2005). Sementara dalam bahasa Sunda Sjarif Amin memotretnya dalam tulisan ““Nayuban jeung Jaarbeurs”” dalam Keur Kuring di Bandung (1983).

Haryoto mengatakan, “Pada saat Jaarbeurs diselenggarakan, Bandung dibanjiri wisatawan luar kota. Sehingga Jawatan Kereta Api Negara (Staats Spoorwegen atau S.S), mengadakan rangkaian kereta malam khusus (nacht-trein), buat mengantar pulang para peng- unjung pasar malam ke Bogor dan Batavia” (1986: 336). Setali tiga uang, Sudarsono menyebutkan bahwa “Jaarbeurs merupakan objek wisata yang diselenggarakan setahun sekali” (2005: 57).

Dengan tersedianya akses terhadap sumber pustaka lawas yang lebih luas sekarang, saya tertarik untuk menulis mengenai Jaarbeurs. Berbagai pustaka lawas dalam bentuk buku, buklet, koran, majalah, dan lain-lain yang semuanya berformat elektronik, memungkinkan saya untuk lebih memperkaya tinjauan-tinjauan yang telah dilakukan oleh para penulis sebelumnya mengenai Jaarbeurs. Dengan mudah, sekarang saya dapat menelusuri edisi-edisi koran AID De Preanger-bode, De Koerier, Sipatahoenan, Sinar Pasoendan, Galih Pakoean, Pemandangan, Sin Po, Mooi Bandoeng, Groot Bandoeng dan lain-lain yang terbit pada rentang 1916 hingga 1941 untuk memperkaya pengetahuan kita seputar Jaarbeurs.

Apalagi bila ditambah berbagai publikasi Vereeniging Nederlandsch-Indische Jaarbeurs, perhimpunan penyelenggara gelaran pekan raya di Bandung.  Hampir setiap tahun mereka menerbitkan publikasi terkait Jaarbeurs dalam berbagai bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Melayu, bahkan Sunda! Contohnya untuk tahun kedua, mereka menerbitkan buklet bertajuk Tweede Nederlandsch-Indische jaarbeurs te Bandoeng (eiland Java) van 19 September tot en met 9 October 1921 (bahasa Belanda); Second Netherl.-Indian industrial fair at Bandoeng (isle of Java) from September 19th till October 9th 1921 (Inggris); Zweite Niederländisch-Indische Mustermesse in Bandoeng (Insel Java) vom 19ten September bis zum 9ten October 1921 (Jerman); dan Deuxième Foire d'échantillons aux Indes néerlandaises à Bandoeng (île de Java) du 19 septembre jusqu'au 9 octobre 1921 (Prancis).

Penggunaan berbagai bahasa internasional tersebut berarti penyelenggara hendak menjangkau publiknya seluas mungkin, seakan-akan menyeru para penutur Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis untuk berkunjung ke Bandung dan turut berpameran dalam perhelatan Jaarbeurs. Sedangkan penggunaan bahasa Melayu sudah tentu hendak menjangkau publik di Hindia Belanda dan bahasa Sunda untuk menghimbau masyarakat setempat agar sama-sama meramaikan acaranya.

Hiburan Orang Eropa dan Bumiputra

Saya ingin mendalami ihwal hiburan yang ditampilkan selama Jaarbeurs, mengingat banyaknya ragam yang ditampilkan, tetapi juga kontrasnya antara hiburan bagi orang Eropa dan buat bumiputra. Kata Ai Santineu, “acara hiburan paling banyak diperuntukkan bagi orang-orang Eropa. Acara hiburan pribumi tidak terlalu banyak dan biasanya dilaksanakan malam hari. Acara hiburan bagi orang-orang Eropa tersebut biasanya berupa pertunjukan musik, dansa, karnaval, berbagai perlombaan dan lain sebagainya. Perlombaan tersebut biasanya berupa lomba pesta kostum, Miss Jaarbeurs, perlombaan olahraga dan lain-lain. Hiburan bagi pribumi biasanya berupa perlombaan dan pertunjukkan kesenian daerah. Perlombaan yang dilaksanakan biasanya berupa lomba keroncong, menari dan memanah”.

Hal ini sesuai dengan yang ditulis Sjarif Amin. “Rupa-rupa kongkur saenyana mah, nu di sebut Jaarbeurs teh. Kongkur ngibing, kongkur penca, kongkur kroncong, kongkur papanahan” (Sebenarnya yang disebut dengan Jaarbeurs adalah berbagai perlombaan. Lomba menari, lomba pencak silat, lomba keroncong, dan lomba memanah), katanya dalam Keur Kuring di Bandung (1983: 50-51). Demikian pula hakikat dari barang dagangan, cara menyajikan, cara berdandan dan dandanan pun menurut Sjarif Amin sesungguhnya perlombaan selama dikaitkan dengan Jaarbeurs.

Oleh sebab itu, ia tiba pada kesimpulan bahwa orang yang masuk ke Jaarbeurs berarti turut berlomba, seraya sekaligus merangkap sebagai juri bagi yag lain. Maksudnya, saling menilai, dan memilih (“Nu asup ka Jaarbeurs hartina milu kongkur. Tapi bari ngarangkep jadi juri ka nu lian. Awewe ka lalaki, lalaki ka awewe. Silih peunteun, silih pilih,” 1983: 50-51)

Dengan adanya pustaka yang berbahasa Sunda dan Indonesia, saya berharap tulisan berseri yang akan saya kerjakan dapat menjadi pembanding bagi pemberitaan berbahasa Belanda mengenai hiburan-hiburan yang ditujukan bagi bangsa Belanda. Namun, yang lebih penting lagi, memperlihatkan sudut pandang bumiputra terhadap Jaarbeurs. Dengan kata lain, seri tulisan ini akan membahas seputar jenis hiburan bumiputra serta perkembangannya dari tahun ke tahun sejauh tersedia data dan informasinya.

Meski demikian, pada tulisan-tulisan awal saya akan membicarakan terlebih dulu gagasan penyelenggaraan pekan raya di Bandung, perwujudannya, pembangunan kompleksnya secara permanen, serta ihwal lainnya. Setelah itu, barulah saya akan mencicil perkembangan hiburan yang ditampilkan di Jaarbeurs serinci mungkin. Jadi, nantikan saja tulisan berikutnya ya!

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Atep Kurnia, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//