• HAM
  • Atmakusumah Astraatmadja, Jurnalis Pejuang Kebebasan Pers di Indonesia

Atmakusumah Astraatmadja, Jurnalis Pejuang Kebebasan Pers di Indonesia

Tulisan Atmakusumah Astraatmadja berkali-harus berurusan dengan militer. Ia turut melahirkan Undang Undang Pers di era reformasi.

Atmakusumah Astraatmadja mengebuskan napas terakhirya di RSCM Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025. (Sumber Foto: X Aliansi Jurnalis Independen)

Penulis Yopi Muharam11 Januari 2025


BandungBergerak.idAwal 2025 dibuka dengan berkabungnya dunia pers tanah air. Atmakusumah Astraatmadja mengebuskan napas terakhirya di RSCM Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025. Atma meninggal di usia ke-86. Menurut penuturan anak-anaknya, Atma mempunyai masalah pada ginjalnya.

Jurnalis senior Andreas Harsono menulis obituari Atmakusumah Astraatmadja di Project Multatuli dalam tulisan berjudul: ‘Atmakusumah Astraatmadja, Pejuang Kebebasan Pers dan Jurnalisme Bermutu’. Menurut Andreas, Atmakusumah merupakan sosok berpengaruh bagi kebebasan pers di Indonesia. Almarhum merupakan salah satu orang yang turut berjuang mendirikan Aliansi Jurnalis Indepenen (AJI) pada 7 Agustus 1994 silam. Pendirian AJI ini dilatarbelakangi pemberedelan tiga media besar: Tabloid Detik, Tempo, dan Editor oleh rezim Orde Baru.

Pria kelahiran Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, 20 Oktober 1938 ini sudah malang melintang di dunia perjunalistikan. Tahun 1957, selepas lulus di bangku sekolah menengah atas, di usianya yang terbilang muda Atma sudah bergabung menjadi wartawan Indonesia Raya Minggu.

Andreas menceritakan, dalam kiprahnya di Indonesia Raya Minggu, Atma pernah menulis feature tentang lima pemenang Magsaysay, termasuk Mochtar Lubis, Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya. Saat itu, Mochtar sedang mendekam di penjara.

Dalam catatan Andreas, tulisan feature yang dikemas Atma pada 1958 ini mengundang sejumlah perwira Polisi Militer mendatangi kantor redaksi yang meminta untuk tidak melanjutkan laporannya. Tidak lama, harian Indonesia Raya kembali dibredel oleh pemerintahan Sukarno, setelah sebelumnya dibredel pada 29 Desember 1949.

Saat itu, lanjut Andreas, harian Indonesia Raya benar-benar berheti terbit. Tercatat selama berdiri, Indonesia Raya sudah enam kali dibredel. Pascapembredelan yang kedua ini, Atma merasa tidak aman berada di bawah pengawasan sensor militer.

Setelah menjadi wartawan, Andreas menuturkan, Atmakusuma memutuskan kuliah jurusan jurnalistik sembari bekerja sebagai penyiar di Radio Republik Indonesia. Lalu Atma juga tercatat pernah menjadi wartawa di Duta Masyarakat Minggu, harian yang dikelola oleh Nadlatul Ulama. Lagi-lagi dalam laporannya yang menulis tentang film, Atma dibidik oleh sensor militer. Harian Duta Mayarakat diancam akan dibredel.

Atmakusumah kuliah jurnalisme sembari bekerja sebagai penyiar Radio Republik Indonesia. Dia lantas bekerja untuk Duta Masyarakat Minggu, harian milik Nahdlatul Ulama, tapi berurusan lagi dengan sensor militer soal tulisan tentang film. Duta Masyarakat diancam akan dibredel. Nama wartawan muda ini diperhatikan oleh sensor militer.

Perjalanan Sang Tokoh

“Kiprahnya dalam dunia perjunalistikan membawa Atmakusumah Astraatmadja menjadi sosok yang berpengaruh bagi kebebasan pers di Indonesia,” tulisa Andreas Harsono. Bekali-kali dia dibidik sensor militer. Akan tetapi, ia tak patah arang untuk melanjutnya profesinya sebagai juralis.

Pada tahun 1961, menurut Andreas, di usianya yang ke-23, Atma meninggalkan Indonesia menuju Melbourn, Australia. Di sana dia menjadi penyiar radio Australia seksi Indonesia. Atma bekerja di stasiun radio itu selama tiga tahun. Lalu melanjutkan kariernya juga sebagai penyiar di Deutsche Welle, radio Jerman di Koeln.

Sebelum berpulang ke negaranya, Andreas bercerita, Atmakusumah Astraatmadja sempat bekeliling ke berbagai negara di Eropa menggunakan vespanya.  Hingga dia memutuskan kembali pada tahun 1965. Saat itu, pecah tragedi 30 September. Pada keesokan harinya, 1 Oktober 1965, Atma bekerja di Antara.

Menurut Andreas, pascameletusnya tragedi yang melibatkan pasukan khusus pengawal Presiden Sukarno Tjakrabirawa dan Partai Komunis Indonesia itu, terjadi ketegangan di meja Antara. Sebab militer mebidik orang-orang yang dianggap kiri atau Sukarnois –sebutan untuk pendukung Sukarno – untuk ditangkapi, bahkan dibunuh. Beberapa wartawan saat itu dikeluarkan.

Setelah terbit Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), lanjut Andreas, tangan kekuasaan beralih dari Orde Lama digantikan Orde Baru yang dipimpin Suharto. Dua tahun semenjak Suharto resmi menjabat Presiden Republik Indonesia, saat itu, Mochtar Lubis mengajak Atma membangun kembali harian Indonesia Raya. Atma menyanggupi.

“Atmakusumah ditunjuk langsung sebagai redaktur pelaksana. Di saat dia menjabat, Atma pernah memimpin liputan yang mengungkap korupsi di badan-badan usaha milik negara, salah satunya perusahaan minyak dan gas (Pertamina). Penerbitan kasus tersebut membuat oplah harian Indonesia Raya meningkat dari 20.000 per hari menjadi 22.000,” tulis Andreas.

Pada tahun 1974, saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta, demonstrasi pecah. Peristiwa tersebut dinamakan sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari). Mengutip dari Tempo, Usman Hamid dalam Penyelewengan Hukum dan Teror Propaganda (2013) menuliskan, peristiwa ini mengakibatkan 11 orang meninggal, 177 orang luka berat, 120 orang luka ringan, dan 755 orang ditahan.

Saat kerusuhan terjadi, harian Indonesia Raya tak luput meliput. Dampaknya harian Indonesia Raya kembali dibredel oleh orde baru dengan pencabutan izin cetak pada 21 Januari. Pemimpin redaksi, Mochtar Lubis dan wakil pemimpin redaksi, Enggak Bahuddin ditahan hampir satu tahun karena dianggap menjadi biang kerusuhan.

“ Tidak ada alasan penahanan keluar dari mulut tiga jaksa yang menjemputnya,” tulis Tri Joko Her Riadi dalam tulisannya BUNGA DI TEMBOK: Mochtar Lubis sebagai Tahanan Orde Baru.

Baca Juga: Realitas Kebebasan Pers di Jawa Barat tak Sebebas Hasil Survei Dewan Pers
Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022, Lemahnya Komitmen Negara dalam Melindungi Pers
Dewan Pers: RUU Penyiaran Upaya Kesekian Pemerintah dan DPR Menggembosi Kebebasan Pers

Perjuangan Kebebasan Pers

Andreas Harsono menceritakan, setelah pembredelan harian Indonesia Raya, Atmakusumah Astraatmadja mencoba melamar kembali sebagai press assistant di Kedutaan Amerika Serikat. Di sana dia akan bekerja di majalah Titian.

Akan tetapi, lanjut Andreas, Atma tidak diterima begitu saja. Saat itu, atase pers kedutaan Amerika menemui direktur jendral Dapartemen Penerangan untuk bertanya soal Atma. Dari sana ditemukan bahwa Atma termasuk 11 wartawan yang di-blacklist bekerja di surat kabar apa pun di Indonesia. Akhirnya Atma bekerja di majalah tersebut dengan nama samaran Ramakresna.

Pekerjaannya di majalah tersebut membawa Atma berkenalan dengan berbagai wartawan di belahan negara. Di majalah Titian Atma bekerja selama 18 tahun. Pada tahun 1992 dia mendapat tawaran untuk menjadi instruktur Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo, Jakarta untuk melatih wartawan Indonesia agar lebih terampil.

Atma memungkapkan lebih dari 20.000 wartawan telah dia ajar di berbagai daerah Indonesia termasuk Timor Leste,” tulis Andreas.

Memasuki fase pertengahan tahun 90an, Detik, Tempo, dan Editor dibredel. Izin penerbitannya dicabut oleh Menteri Penerangan. Pembredelan itu memicu pecahnya aksi unjuk rasa di Jakarta dengan melibatkan massa aksi dari jurnalis, mahasiswa, hingga masyarakat. Atma pun marah. Baginya kebebasan pers harus dijunjung. Media berhak melawan tudingan yang dilakukan oleh pemerintah.

Saat unjuk rasa pecah di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) – lembaga yang diasuh oleh Mentri Penerangan – menurut Andreas, Atmakusuma sedang berada di dalam gedung Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo. Gedungnya menyatu dengan kantor PWI.

Atma lantas mendatangi massa aksi. Menurut kesaksian Andreas Harsono, dari Human Rights Watch sekaligus salah satu orang yang berjuang mendirikan AJI, Atma awalnya tidak bisa keluar. Polisi mengira Atma menjadi sasaran massa aksi. “Polisi khawatir dia diamuk demonstran,” ujar Andreas, dalam tulisannya.

Peristiwa tersebut menjadi cikal bakal pendirian AJI. Namun pemerintah Orde Baru tidak tinggal diam. Tiga orang anggota organisasi Ahmad Taufik, Eko Maryadi, dan Danang K. Wardoyo ditangkap atas tuduhan menerbitkan surat kabar tanpa izin bernama Independe dan juga dianggap melanggar aturan wadah tunggal organisasi pers.

Pada 1998, Suharto turun dari kekuasaannya yang ia kuasai selama 32 tahun. Era reformasi ini melahirkan Undang Undang Pers 1999 serta Kode Etik Wartawan Indonesia. Atma terlibat dalam perancangannya. Saat Dewan Pers dibentuk sebagai amanat dari UU Pers, Atma ditunjuk sebagai ketua Dewan Pers pertama (2000-2003).

Atma bekerja keras di balik layar untuk membentuk UU Pers yang menolak kewenangan pemerintah untuk membredel, menyensor, atau memberi izin kepada pers.

“Saat itu adalah masa yang penuh kekerasan dari Aceh sampai Papua, termasuk pembunuhan ribuan orang Madura di Kalimantan serta kekerasan di Kepulauan Maluku. Rapat-rapat soal rancangan selalu diwarnai dengan diskusi tentang berbagai kekerasan serta bagaimana media kurang terampil dalam meliputnya,” terang Andreas Harsono.

Perjuangan sang pelektak batu kebebasan pers ini, tak lepas dari buku-buku bacaanya. Lukas Luwarso dalam bukunya berjudul Menjaga Kebebasan Pers: 70 tahun Atmakusumah Astraatmadja yang dikutip oleh Herlambang di laman Tempo mengatakan Atma mempunyai kegemaran membaca karya sastra.

Di antara bacaanya seperti karya  William Shakespeare, Pramoedya Ananta Toer, hingga Idrus. Bahkan, Atma merupakan pengagum pemikiran Karl Marx. Pernah Atma hendak menerbitkan salah satu bukunya ditolak oleh penerbit, karena dianggap turut menyebarkan ide Karl Marx yang erat kaitannya dengan komunisme.

“Meski tak menyukai ide komunisme yang menggunakan kekerasan dan teror untuk mencapai tujuannya, saya mengagumi Marx sebagai pemikir,” begitu katanya (Luwarso, 2008).

Sejumlah Penghargaan

Andreas Harsono mencatat, tahun 2000 Atmakusumah Astraatmadja mendapat penghargaan Ramon Magasaysay dari Filipina. Pengahar tersebut merupakan hadiah bergengsi di Asia. Atma dianugrahi penghargaan tersebut sebab kiprahnya selama tiga dekade memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia.

Dia menjadi penerima penghargaan Magasaysay ketiga setelah  Mochtar Lubis (1958) dan Pramoedya Ananta Toer (1995). Belakangan, di tahun 2021, Watchdoc Media Mandiri juga mendapatkan Magsaysay.

Tahun 2008 Atma juga diberi anugrah Penghargaan Kebebasan Pers oleh AJI, karena dedikasinya dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia. Di tahun 2023 lalu, Dewan Pers memberikan anugerah Lifetime Achievement untuk Atma.

Atma dipilih tanpa adanya nomine lain karena kiprahnya dalam dunia pers nasional dan internasional tidak perlu diragukan lagi. “Saya persembahkan penghargaan ini kepada senior-senior dan kawan-kawan saya yang telah mendahului saya,” ungkap Atma  saat menerima penghargaan di Hotel JW Marriott, Jakarta, Jumat, 10 November 2023.

Selain itu, Atma juga sudah menerbitkan beberapa buku, di antaranya adalah Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (2002), Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi (2009), serta Pers Ideal untuk Masa Demokrasi (2018), termasuk biografi yang disunting Lukas Luwarso, Menjaga Kebebasan Pers: 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja (2008).

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharamatau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Pers

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//