• Berita
  • Mempertahankan Kuliner Asli Sunda, Tantangan Terberat

Mempertahankan Kuliner Asli Sunda, Tantangan Terberat

Bandung kota kuliner. Selalu ada hidangan yang baru setiap saat. Di saat bersamaan, kuliner asli Sunda makin tersisih.

Tetti Teriawati, Direktur Sindang Reret Grup, dan berbagai sajian kuliner Sunda buhun yang disajikan di restoran Nuansa Baru Sindang Reret Ciwidey, Jumat 10 Januari 2025. (Foto: Deni Yudiawan/BandungBergerak)

Penulis Deni Yudiawan12 Januari 2025


BandungBergerak – Sajian makanan dan minuman dari luar negeri semakin banyak menghiasi linimasa media sosial. Generasi muda kita keranjingan. Kuliner kini tak sebatas cita rasa, tapi juga menjadi gaya hidup. Lalu, apa kabar kuliner asli Sunda?

Kuliner Sunda yang dikenal generasi muda saat ini tak jauh dari berbagai olahan aci (tepung kanji) atau seblak. Berbagai olahan goreng-gorengan dengan nama Bandung yang disematkan dikenal luas hingga pelosok nusantara. Padahal, kuliner buhun Sunda sarat gizi penuh cita rasa.

“Orang muda sekarang selalu tampak bangga saat berfoto di restoran Korea. Kalau ke restoran Sunda, paling mereka tahu karena diajak orang tuanya,” kata Tetti Teriawati, Direktur Sindang Reret Group. Berdiri sejak 1973, Sindang Reret menjadi salah satu restoran Sunda yang melegenda di Jawa Barat, khususnya Bandung

Itu sebabnya, Kata Tetti, berbagai inovasi terhadap masakan Sunda tetap harus dilakukan dengan selalu menjaga cita rasa, nilai gizi, dan esensinya. Tak hanya itu, tampilan penyajian hingga tempat makan juga harus disesuaikan dengan tanpa melunturkan nilai-nilai asli Sunda.

Tetti Teriawati merupakan putri sulung pendiri Sindang Reret, pasangan H.S. Hermawan (alm.) dan ltje Sumartini. Ia kini menakhodai empat cabang restoran besar di Ciwidey, Lembang, Surapati, dan Karawang. Selain restoran, salah satu unit bisnis kuliner besar lainnya yang ada di bawah naungan grup itu adalah Katering Destiny.

Tetti dan jajaran pimpinan Sindang Reret ditemui di tengah perhelatan besar, Jumat 10 Januari 2025. Hari itu merupakan pembukaan kembali restoran Nuansa Baru Sindang Reret Ciwidey, Kabupaten Bandung, setelah beberapa bulan ditutup untuk renovasi. Gedungnya berdiri megah. Meski nuansanya sangat modern, arsitektur tradisional Sunda masih dipertahankan. Model atap julang ngapak menjulang tajam di atasnya.

“Zaman boleh berubah, tapi pelestarian budaya Sunda harus tetap dilakukan. Kalau bukan kita yang melakukan, siapa lagi?” katanya.

Baca Juga: Eksistensi Kuliner Lokal dalam Menghadapi Menjamurnya Makanan Cepat Saji
Lebaran di Bandung Dulu dan Kini (2): Kuliner dari Masjid Diantar ke Tetangga Sekampung
Jejak Perpaduan Budaya Kuliner di Masa Hindia Belanda 

Kuliner Sunda Sindang Reret Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jumat 10 Januari 2025. (Foto: Deni Yudiawan/BandungBergerak)
Kuliner Sunda Sindang Reret Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jumat 10 Januari 2025. (Foto: Deni Yudiawan/BandungBergerak)

Masa Sulit 

Tetti mengakui, dunia usaha di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Banyak usaha yang terpaksa gulung tikar karena tak bisa bertahan. Gempuran budaya luar dan pasokan impor semakin memperburuk kondisinya. Banyak orang kemudian melirik usaha kuliner karena dianggap akan selalu dibutuhkan orang. Persaingan menjadi semakin ketat. Beberapa bahkan tak mampu bertahan.

Alhamdulillah, selama 52 tahun kami masih bisa bertahan. Banyak lika-liku perjalanan usaha kuliner yang sangat sulit, termasuk saat Covid. Kuncinya ada di inovasi. Kami bertekad agar masakan Sunda jangan sampai hilang di tengah gempuran makanan luar,” ucap Tetti.

Berbagai inovasi yang dilakukan salah satunya adalah dengan terus memperbaharui menu minimal dalam tiga bulan sekali. Sejumlah lalap-lalapan khas makanan Sunda bahkan ditanam di kebun sendiri karena di pasar semakin langka. Meski demikian, beberapa menu autentik tetap dipertahankan. Bakakak hayam, gepuk, karedok, kasreng, atau cimplung tetap disukai dan difavoritkan pelanggan selama berpuluh-puluh tahun. Resep masakan terus dijaga sebagai bentuk tekad melestarikan kuliner Sunda.

Saung Kecil di Ciwidey 

Perjalanan 52 tahun Sindang Reret di ranah kuliner Sunda ternyata diawali dari sebuah tempat makan berbentuk saung sederhana di Ciwidey. Lokasinya masih sama dengan restoran sekarang. Bedanya, dulu hanya sepetak lahan, tapi sekarang luasnya hingga 2 hektare.

Mendiang H.S. Hermawan bersama istri, ltje Sumartini, merupakan warga lokal Ciwidey. Seiring dengan berjalannya waktu, Sindang Reret tak hanya restoran. Usahanya berkembang menjadi hotel. Area perjamuan yang luas dikembangkan untuk pesta pernikahan atau gathering perusahaan.

Sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan Sunda, kemudian dikembangkan Wisata Desa. Sejumlah delman dipersiapkan untuk membawa para pelancong untuk berwisata ke desa-desa di sekitar Ciwidey. Mereka diajak untuk ikut serta dalam rutinitas warga desa saat bertani atau kehidupan desa lainnya seperti kerajinan membuat golok khas Ciwidey.

Tercatat beberapa kali para pegiat UKM dilibatkan dalam gelaran festival di sana. Diharapkan, upaya itu dapat menciptakan perputaran ekonomi yang lebih besar, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mendukung pertumbuhan perekonomian daerah.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain dari Deni Yudiawan, atau artikel-artikel lainnya tentang Kuliner Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//