• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #17: Ciguriang, Kampung Dobi Dalam Ingatan (15)

MULUNG TANJUNG #17: Ciguriang, Kampung Dobi Dalam Ingatan (15)

Mata air Ciguriang masih berfungsi sebagai sumber air warga. Seiring perjalanan waktu dan tingginya pembangunan, volume air terus menyusut.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Mata air di kampung Ciguriang, Bandung. (Foto: Ernawati Sutarna/BandungBergerak)

12 Januari 2025


BandungBergerak.idSetelah pindah dari tempat tinggal terdahulu di jalan Haji Mesri, keluarga Abah Salim mulai menempati kampung Ciguriang, Bandung di tahun 1965, sebagai salah satu penghuni kampung pertama. Selain keluarga Abah Salim atau warga juga mengenalnya sebagai Abah Ilim atau Abah Elim, ada tiga keluarga lain yang waktu pindahnya bersamaan, yaitu keluarga Ma Eoh, keluarga Mang Parman, dan keluarga Mang Kosim.

Empat keluarga itulah yang pertama kali menghuni kampung Ciguriang. Dengan menghuni rumah bedeng mereka hidup berdampingan sebagai tetangga. Lalu lambat laun penghuni makin bertambah, lalu berkembanglah selayaknya sebuah kampung yang ramai.

Mata air yang berada di tengah kampung, seperti yang sudah diungkapkan di tulisan-tulisan terdahulu suasananya sudah hidup dari semenjak masa pendudukan Belanda. Mata air itu menjadi tempat paara dobi beraktivitas, bukan hanya para dobi yang tinggal di sana, tapi juga para dobi yang tinggal di berbagai tempat di Bandung. Beriringan, para dobi itu berjalan kaki dari tempat masing-masing menuju Ciguriang untuk menyelesaikan tugasnya sebagai tukang cuci. Bukan hanya cucian dan peralatannya yang mereka bawa, tapi juga bekal makan dan minum. Maklum saja waktu yang mereka perlukan unuk mencuci dan menempuh perjalanan pergi pulang tidak bisa disebut sebentar.

Pekerjaan mencuci yang mereka lakukan biasanya berlangsung malam hari sampai menjelang subuh, maka suasana di sekitar mata air akan hangat jika mereka sudah berkumpuldan melakukan kegiatan bersama. Tak hanya suara dentam bantingan cucian di batu penggilasan, atau suara gelontor air dari pancuran saja yang terdengar, tapi juga riuh rendah suara canda tawa serta alunan kawih yang mereka lantunkan bersama. Bayangkan serunya suasana itu mewarnai suasana Bandung yang masih dingin suhu udaranya, masih tebal kabutnya dengan jumlah penduduk yang tidak sepadat hari ini. Waaahhh...

Dan masa berganti, bahkan sampai kemerdekaan menjelang, dan akhirya diraih bangsa ini, mata air itu masih terus berbakti. Tanpa henti memenuhi hajat hidup warga di sekitarnya, dengan air yang melimpah juga berkualitas. Air yang jernih itu mencukupi berbagai kebutuhan warga, mulai dari memasak, mencuci, juga mandi. Tanah di sekitarnya juga subur dan menjadi lahan produktif. Warga menanami lahan yang masih kosong dengan tanaman-tanaman konsumsi seperti singkong, pisang, dan beberapa tanaman kebun lainnya.

Selain untuk memenuhi kebutuhan warga, mata air yang sering disebut balong ini juga mewarnai perjalanan hidup anak-anak laki-laki yang tinggal di sekitarya saat menjelang dewasa. Ketika menjelang upacara sunat, salah satu ritual sebelum dilaksanakan sunat adalah proses berendam di dalam balong, untuk pengantin sunat. Fungsi perendaman itu adalah agar mengurangi rasa sakit ketika proses sunat, karena dengan berendam, membuat badan terasa dingin sehingga mengalami mati rasa atau baal terutama di area kemaluan. Biasanya proses berendam ini dilakukan selain di kolam, atau mata air juga sering dilakukan di sungai. Ini adalah proses bius lokal secara alami yang biasa dilakukan turun temurun.  

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #14: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (12)
MULUNG TANJUNG #15: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (13)
MULUNG TANJUNG #16: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan (14)

Kherkof Kebon Jahe

Di sebelah utara mata air Ciguriang terdapat sebuah lokasi permakaman Belanda yang cukup luas. Permakaman tersebut bernama Kherkof Kebon Jahe. Menurut Us Tiarsa dalam bukunya Basa Bandung Halimunan, Kherkoff Kebon Jahe menjadi salah satu tempat kunjungan warga, karena suasananya yang sejuk dan penataan tanaman dalam makam yang rapi, serta banyaknya ornamen makam bergaya Eropa, patung-patung malaikat dan nisan yang indah menjadi daya tarik tersendiri.  

“Ti mana-mana nu sok arulin di Kerkop téh. Urang Cicendo, Rumahbuta (Wiyata Guna, ayeuna- ed.), Merdeka Lio, Nangkasuni, Torpedo, jeung sajabana, geus karuhan ari urang Kebonkawung mah,” cerita Us Tiarsa.

Sekitar tahun 1970-an, Kerkhof kebon jahe mengalami pembongkaran. Sebagian besar makamnya dipindahkan lokasinya ke beberapa lokasi permakaman lain, di antaranya ke permakaman Pandu dan Tamansari. Sebagiannya lagi mungkin memang telah rusak. Pembongkaran itu disebabkan akan dilakukan pembangunan sarana olahraga di lokasi tersebut. Ya, di  lokasi Kherkof Kebon Jahe dahulu sekarang telah berdiri GOR Pajajaran Bandung.

Pembangunan GOR Pajajaran itu tidak bisa dipungkiri cukup berpengeruh pada volume air di mata air Ciguriang, sedikit banyak ada pengurangan volume air di sana. Bisa jadi, hilangnya tanaman-tanaman peneduh makam juga menyebabkan berkurangnya air tanah di sekitar mata air tersebut.  

Sampai awal tahun 1990-an Ciguriang masih belum pernah mengalami kekeringan, walaupun luas permukaannya dan volume air mulai berkurang. Tapi sampai saat itu kebutuhan air warga masih mampu terpenuhi.  

Semakin hari jumlah penduduk di sana makin bertambah, tentu saja kebutuhan akan air dan sarana MCK pun bertambah, maka sumber air pun bertambah dengan adanya beberapa sumur gali. Sebagian besar warga yang menggunakan Ciguriang biasanya hanya untuk aktivitas mencuci saja, sementara untuk mandi dilakukan di kamar mandi yang dibangun di dekat sumur-sumur tersebut,

Di pertengahan tahun 1980-an, seingat saya ada masa di musim kemarau yang mengakibatkan air tanah di kampung Ciguriang menyusut drastis, sumur-sumur dan mata air Ciguriang juga tidak bisa dimanfaatkan karena volume air yang minim sehingga kualitas air pun memburuk. Saya ingat waktu itu tetangga yang menggunakan jasa PDAM atau menggunakan air ledeng berbagi airnya kepada warga. Bahkan yang masih saya ingat juga, saya sempat mengantre air di sumur pompa Kampung Babakan Baru, yang merupakan kampung tetangga yang letaknya tak begitu jauh dari kampung kami. Dan setelah itu peristiwa kekeringan di tahun-tahun berikutnya juga memaksa kami untuk mengantre air karena tidak terpenuhinya kebutuhan kami.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//