Cerita di Balik Relokasi Pasar Ciparay, Para Pedagang Mengeluhkan Pendapatan Mereka Terus Merosot
Relokasi Pasar Ciparay, Kabupaten Bandung berbuah dampak negatif pada para pedagang. Rata-rata penghasilan mereka turun lebih dari 50 persen.
Penulis Yopi Muharam13 Januari 2025
BandungBergerak.id - Wajah mengerut tampak dari muka Dadang (49 tahun) saat menunggu konsumen untuk manaiki beca motornya (bentor) yang sudah tua, di parkiran pasar Cijagur, Kabupaten Bandung, Kamis, 9 Januari 2025. Sudah dari pagi Dadang menarik bentor dan baru dapat tiga penumpang hingga petang pukul 16.40.
“Baru dapat 30 ribu, a, ini juga,” ujarnya saat ditemui BandungBergerak degan suaranya yang pelan nyaris tak terdengar.
Sudah 25 tahun Dadang ngebentor. Dulunya dia penarik becak, hingga dia memutuskan untuk memodifikasi becaknya menggunakan motor bebek bekas beberapa tahun lalu.
Dadang memilik dua anak. Anak paling tuanya laki-laki, bekerja sebagai buruh di pabrik sepatu di Majalaya. Sedangkan si bungsu perempuan, merupakan guru PAUD. Di sisi lain, istrinya bekerja sebagai buruh kaput di kawasan rumahnya.
Di setang motor Dadang tegantung keresek hitam berisi sayur-mayur yang agak layu, pemberian dari penumpangnya. Dulu saat pasar Ciparay masih beroprasi, dia bisa menarik penumpang lebih dari 10 orang dengan penghasilan 200-300 ribu rupiah.
Sekarang pascapasar diruntuhkan dan para pedagangnya direlokasi ke pasar Cijagur, pendapatan Dadang turun drastis. “Pendapatan menurun teh dari pas pasar dipindahin weh,” lanjutnya, dengan senyum tipis yang datang dari wajahnya.
Dadang tidak sendiri, ada lima teman Dadang yang satu profesi dengannya. Sedangkan tiga temannya sudah pulang lebih dulu. Satunya lagi tengah menongkrong di seberang bentor Dadang.
Paling jauh, ujar Dadang dia pernah mengantar ke Baranangsiang, Kota Bandung. Jaraknya sekitar dua kilometer dari pasar Cijagur dengan estimasi jarak tempuh selama 10-15 menitan. Untuk tarif, tidak menentu. Tergantung orangnya, ujar Dadang. Dia tidak mematok tarif melainkan tergantung kesanggupan penumpang.
“Itu juga yang ngasih ongkos tergantung orangnya,” terangnya.
Dadang menduga merosotnya pendapatannya ini disebabkan karena para konsumen tidak semuanya datang ke pasar Cijagur. Semenjak relokasi dilakukan, puluhan pedagang tidak semuanya beralih ke pasar relokasi ini.
Banyak pedagang memilih untuk membuka lapak di pinggir-pinggir jalan pasar lama. Hal itu membuat para konsumen pun menjadi terpecah. Dari pantauan BandungBergerak, pada siang pukul 14.00 WIB, pasar Cijagur nampak sepi. Banyak kios kosong yang ditinggalkan para pemiliknya begitu saja.
Pasar seluas satu hektare lebih ini di bangun di atas tanah lapang. Rencananya akan dihuni oleh pedagang dengan kategori 630 kios dan 700 lapak. Sejak 28 November tahun lalu, para pedagang sudah mulai memindahkan barang dagangannya ke pasar Cijagur. Sebagiannya lagi memilih untuk menutup kiosnya dan memilih berjualan di rumah.
Baca Juga: Pasar Lama Ciparay Dipenuhi Sampah, ke Mana Peran Aparatur Desa?
Pedagang Pasar Ciparay Berjualan di antara Kepungan Pagar Seng
Harga Kios Hasil Revitalisasi Pasar Ciparay Mahal, Memberatkan Para Pedagang
Menambah Pundi-pundi
Di tengah panas matahari yang menusuk kulit, Agus (39 tahun) memilah sampah yang menumpuk di tempat pembuangan sementara (TPS) pasar Cijagur. Sampah yang dapat dia jual semacam kardus atau bekas botol plastik, ia masukan ke karung berwarna putih.
Sudah tujuh tahun Agus bertugas menjadi petugas kebersihan di pasar Cijagur. Menjual bekas sampah yang dilakukannya itu adalah upaya untuk menambah pundi-pundi agar dapur tetap ngebul.
Pekerjaannya di pasar relokasi ini sebenarnya makin ringan. Dulu, di pasar lama dia bisa bekerja untuk mengangkut sampah untuk ditarik ke TPS bisa sampai dua kali. Akan tetapi, sekarang dia hanya menarik sampah untuk diangkut ke TPS seminggu tiga-empat kali.
Di balik lenggangnya dia menarik sampah, ternyata berpengaruh ke pendapatannya. Biasanya sekali menarik sampah, Agus mendapat upah tambahan sebesar 160 ribu rupiah per mobil. Dari upah tersebut dibagi ke delapan petugas kebersihan lainnya. Jika ditotal Agus kebagian 20 ribu rupiah sekali narik sampah. Dulu Agus bisa medapatkan upah sebesar 60-80 ribu rupiah.
“Jadi kalau misalnya ga ada penarikan sampah, enggak ada penghasilan,” terang Agus sembari membuka kepalan tangannya yang hitam akibat mengorek sampah.
Dalam satu bulan dia mendapatkan gaji pokoknya sebesar 800 ribu rupiah per bulan. Angka tersebut masih minim dibandingkan UMK Kabupaten Bandung sebesar 3.757.284,8 rupiah. Padahal UMK di Kabupaten Bandung naik sebesar 6,5 persen dari tahun sebelumnya 2024. Akan tetapi, Agus tidak kecipratan dengan kenaikan tersebut.
Di sisi lain, dia mempunyai dua anaknya yang masih sekolah. Si sulung baru menginjak sekolah menengah atas. Sedangkan si bungsu masih duduk di bangku sekolah dasar.
Agus mulai bekerja dari pukul 08.00 hingga petang. Pada pagi hari, dia langsung menuju TPS untuk menarik sampah yang sudah menggunung. Sedangkan pada siang harinya, dia menarik sampah yang berada di dalam pasar menggunakan gerobaknya.
Agus terbilang masih beruntung. Dia punya sampingan sebagai kuli panggul membantu para pedagang ketika stok dagangan datang. Agus mempunyai dua dunungan (bos), yang satu penjual ikan asin, satunya lagi penjual kelapa dan gula. Tapi intensitasnya hanya dua minggu sekali, tergantung stok barang yang datang.
Tidak hanya itu, dalam seminggu dua kali juga, dia mempunyai piket malam menjadi petugas keamanan di pasar Cijagur. Dia, adiknya, dan dua kerabatnya bersedia ajakan untuk jaga malam. Setiap piket malam, Agus diberi upah sebesar 25 ribu rupiah permalam.
“Jadi kerja dari malam, terus siangnya kerja lagi. Da mau gimana lagi,” tuturnya. “Kalau saya ga rajin berusaha nanti gimana dapet tambahannya?” lanjut Agus.
Hal berbeda dirasakan oleh Dadang. Dulunya sewaktu di pasar Ciparay, dia mempunyai dua dunungan juga. Tetapi nasibnya tidak sama seperti Agus. Pascarelokasi, dua bosnya ini memilih pulang kampung ketimbang berjualan di pasar Cijagur.
“Gara-gara pasar direlokasi, jadi ga punya lagi dunungan,” keluh Dadang.
Dulu sewaktu di pasar Ciparay, Dadang datang ke pasar lebih subuh. Banyak pedagang yang membutuhkan tenaganya. Biasanya dalam sehari dia mendapatkan upah dari kuli bisa nyampe 300 ribu rupiah sehari.
“Dulu mah kan ada dunungan kaya abang acong, si emas. Sekarang mah kan udah pada parulang, ga jualan lagi di sini,” ceritanya.
Dadang terbilang palugada, siap melakukan apa pun tergantung yang menyuruhnya. Contohnya, buruh tani. Di kawasan rumahnya, masih banyak sawah yang subur. Tiap panen dia tak ketinggalan untuk membantu.
“Tapi ga tiap hari, tergantung masa panen,” tutur Dadang. Biasanya upah yang diterimanya bisa sampai 60 ribu rupiah sekali panen.
Dampak ke Pedagang
Seorang pria muda terus mengawasi pintu masuk ke pasar. Setiap ada motor atau mobil masuk, orang muda itu sigap sedia langsung beridiri sembari meniup peluit yang tergantung di lehernya, memberi kode. Ada dua pintu masuk untuk ke menuju ke pasar Cijagur. Pertama di arah samping yang jaraknya dekat dengan kantor kecamatan; sedangkan di sisi lainnya berada di samping kantor Polsek Ciparay.
Tukang parkir itu adalah Ujang (bukan nama sebenarnya). Sedari subuh, Ujang sudah stand by di lapaknya yang berada tepat di jalur utama pasar. Dia mengeluh pendapatannya terus merosot semenjak pasar dipindahkan. Kendati hari sudah menjelang petang, dia baru mengantungi tidak lebih dari 100 ribu.
Biasanya, kata Ujang, pemasukan di pasar lama dalam sehari bisa mencapai 200 ribu. Berkurangnya parkir dia menduga karena banyak pedagang yang belum sepenuhnya pindah ke pasar Cijagur.
“Jauh pisan atuh, a, sareng pendatapan di pasar Ciparay mah,” keluhnya saat ditanyai mengenai pemasukannya.
Di lahan parkiran ini, ada 18 lapak yang dibagi-bagi ke setiap orangnya. Lapaknya ini sudah ditentukan pascapemindahan dari pasar Ciparay ke pasar relokasi Cijagur.
Di sisi lain, di pasar bagian timur, Eti (bukan nama sebenarnya) tengah sibuk membereskan dagangannya berupa sayur mayur yang masih banyak di lapaknya. Dia sedang menunggu anak sulungnya menjemput dan membantu membereskan barang dagangannya.
Sudah 10 tahun lebih dia berjualan di pasar Ciparay. Kepindahannya ke pasar relokasi ini membuat pendapatannya terus menurun sebanyak 50 persen. Dulunya, kata Eti, bisa mendapat keuntungan sebesar satu juta. Keuntungannya itu, Eti belum bersih. Sebab dirinya harus memenuhi kebutuhan sang buah hati yang masih sekolah.
Eti mempunyai tiga anak. Anak pertamanya sudah lulus sekolah. Sekarang anak sulungnya itu sering membantunya di pasar. Sedangkan anak keduanya masih duduk di bangku kuliah di sebuah kampus Kabupaten Bandung. Terkahir, si bungsu masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Kanggo tuang sareng jajan mah aya, tapi kanggo biaya sakola mah nya kitu tea weh,” keluhnya. Eti tidak punya pilihan lain, selain menetap di pasar Cijagur. Keinginannya untuk ngontrak di sebuah ruko diurungkannya, sebab pasti biayanya sangat tinggi.
“Tos weh didieu dugi ka pasar itu beres. Da mung ngontrak di payun sabaraha meureun hargina ge. Moal ka bayar a,” ungkapnya. “Kapaksa weh didieu. Dipajeng-pajengken,” lanjutnya.
Sama seperti Ujang, Eti menduga merosotnya omzet yang diterimanya sebab para pedagang yang menolak direlokasi malah membikin pasar tandingan. Dia berharap agar para pedagang dapat berjualan bersama dengan pedang lainnya di pasar Cijagur, agar penjualan tersentral di pasar relokasi ini.
“Nya mudah-mudahan sing enggal kadarieu (pedagang) atuh da korong wae ieu teh,” harapnya, sekalian menutup obrolan dengan BandungBergerak.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang Pasar Ciparay